Konsep dan Implementasi “Tasamuh” Dalam Masyarakat Majemuk (Prinsip Kebhinekaan)
Implementasi Tasâmuh Dalam Kemajemukan
Fathurrahman Kamal
- Rekam Jejak Toleransi (Tasamuh) dalam Islam
Adanya konsep tentang Ahli Kitab dalam Islam, umpamanya, samasekali tak dimiliki oleh agama-agama lain. Bahkan, keunikan konsep tersebut diakui oleh para ahli di luar Islam, seperti dinyatakan oleh Cyril Glassé, “…the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions.“(…kenyataan bahwa sebuah Wahyu [Islam] menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama). Selain itu dampak sosio-keagamaan dan sosio-kultural konsep tersebut memposisikan Islam sebagi ajaran yang pertamakali memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama kepada manusia. Bertrand Russel, seorang ateis radikal yang sangat kritis kepada agama-agama, misalnya, mengakui kelebihan Islam atas agama-agama yang lain sebagai agama yang lapang atau “kurang fanatik” sehingga sejumlah kecil tentara muslim mampu memerintah daerah kekuasaan yang amat luas dengan mudah berkat konsep Ahli Kitab.[1]
Pertama-tama, yang kita jadikan acuan dalam sikap tasamuh dan membangun kehidupan ko-eksistensi antar umat beragama ialah firman Allah dalam surah Mumtahanah/60 : 8-9 berikut ini :
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Tampak bahwa ayat tersebut menjadi prinsip tata kelola dan etika kemajemukan yang dicontohkan Rasulullah SAW berbasis pada wahyu yang memberikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap pluralitas masyarakat masa itu, di samping nilai-nilai kebersamaan, keadilan, toleransi, kejujuran dan keterbukaan. Yatsrib, yang kemudian diganti namanya menjadi Al-Madînah adalah satu wilayah yang selama berabad-abad tidak saja dihuni oleh komunitas Anshar (Aws dan Khazraj), komunitas Ahlu Kitab dari Yahudi dan Nashrani, tapi juga qabilah-qabilah yang beraneka ragam. Tribalisme Arab dan kecenderungan berperang masyarakat Arab menjadi semacam aksioma, yang tak perlu diragukan. Namun demikian, kemajemukan masyarakat Madinah dikelola dengan baik terutama melalui sebuah konsensus bersama yang digagas Rasulullah yang kemudian dikenal dengan Shahîfat al-Madînah (Piagam Madinah). Konsensus ini menjadi aturan kehidupan bersama dan hubungan antar komunitas yang majemuk itu. Piagam Madinah berisikan dasar-dasar masyarakat partisipatif dengan ciri utama menjalankan misi pertahanan bersama dan toleransi beragama.
Perhatikan dokumen berikut ini : [2]
Wajah masyarakat muslim yang kosmopolitan dan universal ditegakkan atas prinsip-prinsip moral yang menjadi konsensus bersama bagi segenap komunitas yang berada di teritorial Islam. Dalam hal ini, sekali lagi, dalam konteks kemanusiaan Rasulullah s.a.w. tidak membeda-bedakan muslim-non muslim. Semua menjunjung tinggi common flatform yang telah disepakati. Lihatlah klausal-klausal yang tertera pada Piagam Madinah (mîtsâq al-Madînah), yang menurut para pakar sejarah dan tata negara merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Keadilan dijunjung tinggi. Hidup egaliter menjadi nuansa keseharian. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pernik-pernik peradaban kosmopolitan dan universal ini hanya dapat dicapai oleh Islam, mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya di dunia. Rasulullah s.a.w. menegaskan kehancuran umat terdahulu karena mempermainkan keadilan. Keadilan meletakkan manusia sejajar, tanpa memandang status dan jabatan. Sabda beliau,
إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد وايم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها [3]
Pada tataran relasi antar-manusia dengan ragam keyakinan yang bebeda (teologis), Al-Qur’an mengajarkan kita agar tidak menjadi masyarakat yang kerdil dan tertutup sebagaimana doktrin rasialisme kaum Zionis “the people of God” (sya’bullâh al-mukhtâr). Bahkan dalam tataran keyakinan sekalipun, Islam tak pernah menerapkan ‘paksaan’ dan intimidasi teologis sebagaimana fakta sejarah Kristen dan Gereja pada abad pertengahan silam. Islam mengajarkan toleransi yang luhur atas dasar tanggungjawab di hadapan Allah s.w.t. Islam samasekali tidak membenarkan model ritual dan keyakinan mereka, namun mereka dapat menunaikannya secara aman. Tidak ada teror atas simbol keagamaan dan ritual tersebut.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَليمٌ[4]
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ[5]
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ . لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ .[6]
Prinsip-prinsip keadilan dan apresiasi yang tinggi terhadap fakta pluralitas masyarakat telah menjadikan masyarakat profetik Madinah tampil melampaui zamannya yang sarat dengan tribalisme Arab. Ini pula yang berimplikasi pada kohesivitas antar kelompok dan individu, terlebih sesama kaum beriman sebagaimana dicontohkan dalam catatan mu’âkhât (mempersaudarakan) kaum Muhajirin dan Anshar. Terhadap hak-hak non muslim lebih lanjut dapat kita cermati pada konsep hak-hak Ahl Dzimmah berikut ini; a) perlindungan mereka dari tindak kezaliman dari internal umat Islam[7]; b) perlindungan jiwa dan fisik mereka[8]; perlindungan harta; c) perlindungan kehormatan; d) jaminan masa tua dan kemiskinan. Selain perlindungan hak-hak sipil bagi ahlu dzimmah tersebut, merekapun diberi hak untuk menjalankan akidah dan kepercayaan agamanya secara aman dan bebas (kebebasan teologis). Perhatikan penjelasan Imam Ibnu Katsir berikut ini[9]:
Di antara tuntunan Islam ketika menyaksikan jenazah, berdiri sejenak. Suatu ketika, Rasulullah SAW melihat jenazah melintas seraya beliau berdiri. Seorang sahabat menyampaikan bahwa itu adalah jenazah orang Yahudi. Barangkali sahabat tersebut heran dengan sikap Nabi terhadap non muslim. Dengan tegas beliau menjawabnya, “Bukankah dia seorang (manusia)?”.[10]
عن ابن أبي ليلى : أن قيس بن سعد وسهل بن حنيف كانا بالقادسية فمرت بهما جنازة فقاما فقيل لهما إنها من أهل الأرض فقالا إن رسول الله صلى الله عليه و سلم مرت به جنازة فقام فقيل إنه يهودي فقال أليست نفسا
Perhatikan pula suasana yang amat dramatis dan dapat dicermati pada saat fathu Makkah, dimana Makkah yang menjadi icon kedigdayaan budaya dan tradisi jahiliyah takluk ke pangkuan Islam tanpa pertumpahan darah. Bahkan, saat inilah Islam menunjukkan semangat perdamaian dan kosmopolitannya. Dalam suasana masyarakat Arab musyrik panik dan penuh ketakutan terhadap kekuatan militer Islam yang tak tertandingi, terlebih memori kolektif mereka tentang kezaliman yang berpuluh tahun dilakukannya atas diri Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para pengikutnya, justru pidato bersahaja, penuh perdamaian dan semangat kemanusiaan mereka dengarkan dari manusia agung ini :
يا معشرقريش، إن الله قد أذهب عنكم نخوة الجاهلية وتعظمها بالآباء، الناس من آدم و آدم من تراب (يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ-الحجرات:13). يامعشر قريش، ماترون أنى فاعل بكم؟”-قالوا:خيرا، أخ كريم وابن أخ كريم-“فإنى أقول لكم كما قال يوسف لإخوته (لاَ تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ-يوسف :92)، اذهبوا فأنتم الطلقاء“[11]
Pidato kemenangan tersebut mengandung makna yang luar biasa; pertama, deklarasi prinsip persamaan hak dalam Islam. Perlu dicatat bahwa, teori persamaan hak baru dikenal dalam hukum positif manusia pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke 19. Artinya, Islam telah mendahuluinya beratus-ratus tahun ; kedua, pengakuan dan apresiasi Islam yang tinggi atas kemajemukan dan eksistensi suku bangsa di dunia, dengan demikian Islam tidak melegalkan penindasan dan penjajahan masyarakat dunia, siapa, di mana, kapan dan atas nama apapun. Prinsip ini berimplikasi lebih jauh pada potret dan orientasi masyarakat muslim yang universal dan kosmopolitan. Dalam struktur masyarakat Islam, manusia tidak lagi dipandang berdasarkan paradigma etnik dan religio-kultural. Tidak pula dipilah berdasarkan sosio-geografisnya. Satu-satunya parameter yang kompatibel dengan semangat tauhid ialah ketaqwaan yang aktual dalam tataran kehidupan pribadi, sosial serta berimplikasi positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara
Kehidupan Rasulullah SAW dan pesona tamaddun (peradaban) terbaca di atas merupakan bukti otentik dari ajaran menegakkan kebenaran dan keadilan (al-haqq wa al-‘adl) kepada siapapun jua secara benar, adil dan proporsional. Bahkan, makrokosmos pun berporos pada dua hal ini :
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ . أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.[12]
Karena itu, para Rasul diutus untuk menegakkan keadilan itu : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS Al-Hadid/57:25). Berkata mesti adil, “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu” (QS Al-An’am/6:152). Mengadili mesti adil, “(Allah memerintahkan) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (QS Al-Nisa’/4:58). Menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.” (QS Al-Nisa’/4:135). Lawan keadilan ialah kezaliman, karenanya ia diharamkan oleh Allah SWT, bukan saja atas makhluq, bahkan atas diriNya sendiri, “Wahai hamba-hambaKu, sungguh Aku telah haramkan kezaliman itu atas DiriKu sendiri, dan Aku jadikan ia haram di antara kalian maka, janganlah kalian saling menzalimi.”[13] Dalam konteks ini, mujaddid besar Ibnu Taymiyah mengatakan,”Ketika para pengikut Nabi-nabi adalah orang-orang yang berilmu dan menegakkan keadilan, maka sudah barang tentu perkataan umat Islam dan siapa saja yang comitted terhadap sunnah bersendikan ilmu dan keadilan, ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang kafir dan pelaku bid’ah. Karenanya, lanjut Ibnu Taymiyah, Rasulullah bersabda, “ada tiga jenis qadli; dua qadli di neraka dan satu di surga. Seorang qadi yang mengatahui kebenaran dan mengadili dengan kebenaran tersebut, dialah yang di surga. Kedua, qadli yang mengetahui kebenaran, tapi mengkhianatinya, ia mengadili dengan menyelisihi kebenaran tersebut. Orang ini tempatnya neraka. Dan seorang lagi mengadili manusia atas dasar kejahilan, ia di neraka.” Maka, kalaulah orang yang mengadili manusia pada urusan harta, jiwa dan kehormatan, jika tidak berilmu dan tidak pula adil mesti di neraka, lalu bagaimana dengan seseorang yang mengadili manusia pada urusan keyakinan dan agama, pokok-pokok keimanan, ma’rifat Allah (pengetahuan tentang Allah) tanpa ilmu dan keadilan?.”[14]
Sikap toleransi keberagamaan yang dicontohkan Rasulullah, tidak berhenti sepeninggal beliau. Namun juga dilestarikan oleh khulafâ’ al-râsyidûn seperti yang catat oleh sejarawan dan sosiolog muslim Ibnu Khaldûn tentang politik kemajemukan yang dilaksanakan secara cerdas oleh Khalifah ‘Umar Ibn Khaththâb ketika menginjakkan kakinya di Bayt al-Maqdis. Politik kemajemukan sarat dengan muatan toleransi, apresiasi terhadap keyakinan beragama masyarakat Aelia, nir-kekerasan dan intimidasi teologis. “’Umar Ibnu Khaththab datang ke Syam, dan mengikat perjanjian perdamaian dengan penduduk Ramalla atas syarat mereka membayar jizyah. Kemudian Ia perintahkan ‘Amr ibn ‘Ash dan syarahbil untuk mengepung Bayt al-maqdis. Setelah pengepungan itu membuat mereka sangat menderita, mereka minta perdamaian dengan syarat bahwa keamanan mereka ditanggugn oleh ‘Umar sendiri. ‘Umar pun dating kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan untuk mereka yang sebagian isinya adalah : “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari ‘Umar ibn khaththab kepada penduduk Aelia bahwa mereka aman atas jiwa dan anak keturunan mereka, juga wanita-wanita mereka, dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dirusak.” Selanjutnya Ibnu Khaldûn menuturkan,” ‘Umar ibn Khaththâb masuk Bayt al-Maqdis dan sampai di Gereja Qumamah lalu berhenti di plazanya. Waktu shalatpun tiba maka ia berkata kepada Patriak,”Aku hendak shalat.”Jawab Patriak,”Shalatlah di tempat Anda.” ‘Umar menolak kemudian shalat di anak tangga yang ada pada gerbang gereja, sendirian.Setelah selesai dari shalatnya Ia berkata kepada Patriak,”Kalau seandainya aku shalat didalam Gereja, maka tentu kaum muslim kelak sesudahku akan mengambilnya dan berkata,’Disini dahulu ‘Umar shalat’. Dan ‘Umar menulis (perjanjian) untuk mereka bahwa pada tangga itu tidak boleh ada jamaah untuk shalat dan tidak pula akan dikumandangkan azan padanya…”[15] Sikap yang sedemikian simpatik juga tak luput dari catatan dan pengakuan para penulis Barat sendiri. Diantaranya adalah Michoud dalam bukunya Sejarah Perang Salib. Ia menyatakan “Muhammad telah melarang Panglima-panglima perangnya untuk membunuh pendeta-pendeta karena mereka melakukan ritual kepada tuhan. Ketika Umar memasuki Yerussalem tidaklah Ia menyakiti orang Nasrani.”[16]
Imam Bukhari meriwayatkan pidato dan pesan bersahaja Khalifah Umar Ibn Khathab, “Wahai umat Islam, aku berpesan agar kalian berbuat baik kepada ahli dzimmah, mereka itu merupakan janji dan jaminan Allah dan rasulNya, juga dari mereka kalian mendapatkan rizki untuk orang-orang yang kalian tanggung.” Demikian pula seorang sahabat Abdullah Ibnu Rawahah, ketika beliau ditugaskan Nabi SAW untuk menimbang buah-buahan yang dihasilkan oleh orang-orang Yahudi di Khaibar. Tampak mereka hendak menyogok Ibnu Rawahah, serentak beliau berkata,”Hai masyarakat Yahudi, sungguh anda semua makhluk Allah yang paling aku benci, kalian telah membunuh para Nabi, berdusta atas nama Allah; meskipun demikian, sungguh kebencianku ini takkan membuatku berlaku zalim atas kalian. Maka berkatalah orang-orang Yahudi itu, ‘Sikap seperti inilah yang membuat langit dan bumi menjadi tegak berdiri.”(HR Ahmad). Imam Muslim meriwayatkan, suatu ketika, seorang sahabat, Hisyam ibn Hakim ibn Hizam, berkunjung ke Himsh (Syria). Ia menyaksikan seseorang yang sedang menjemur beberapa orang yang sedang bermasalah dalam urusan jizyah di bawah terik matahari. Ia pun berkata, “aku bersaksi, sungguh Rasulullah SAW pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia (tanpa sebab yang dibenarkan agama).
Seorang sejarawan Kristiani, Sir Thomas Walker Arnold [17] dalam bukunya yang sangat terkenal “The Preaching of Islam” menulis sebagai berikut : “Dari hubungan-hubungan mesra yang terjalin di antara orang-orang Kristian dan orang-orang Islam dari Bangsa Arab dapatlah kita membuat keputusan bahwa kekuatan tidak menjadi faktor yang memalingkan manusia memeluk Islam. Muhammad sendiri telah mengadakan satu kesepakatan dengan suku Kristian dan berjanji bertanggungjawab untuk melindungi mereka, beliau juga telah memberi kepada mereka kebebasan untuk mengerjakan syiar-syiar agama mereka dan seterusnya beliau telah memberi kebebasan kepada pegawai-pegawai gereja untuk menikmati hak-hak dan kuasa-kuasa tradisional mereka yang lama dalam suasana aman dan tenteram.” Pada bagian lain ia menyatakan, “Dari contoh-contoh yang telah kami kemukakan tadi mengenai sikap toleransi yang ditunjukkan oleh orang-orang Islam yang menang itu terhadap orang-orang Arab yang beragama Kristian di abad pertama Hijrah dan terus berlanjut pada generasi-generasi yang silih berganti selepasnya, dapatlah kita membuat kesimpulan yang tepat bahwa suku-suku Kristian itu telah memeluk agama Islam dengan pilihan bebas dan kerelaan hati mereka sendiri. Di samping itu kedudukan orang-orang Arab Kristian yang hidup di zaman sekarang di tengah-tengah masyarakat Islam merupakan satu bukti yang jelas terhadap sikap toleransi itu.”[18]
Jauh setelah itu, suasana kehidupan masyarakat pada masa kekuasaan Dinasti Umawiyah di Andalusia (Spanyol) diapresiasi oleh para sarjana non muslim lainnya. Menurut Max Dimont, kedatangan Islam ke Spanyol sungguh merupakan rahmat yang mengakhiri kezaliman keagamaan Kristen. Penaklukan Spanyol oleh Bangsa Arab pada tahun 711 telah mengakhiri pemindahan agama kaum Yahudi ke Kristen secara paksa yang telah dimulai oleh Raja Recared pada abad keenam. Dibawah kekuasaan kaum muslim selama 500 tahun setelah itu muncul Spanyol untuk tiga agama dan “satu tempat tidur”. Kaum Muslim, kaum Kristen dan kaum Yahudi secara bersama menyertai satu peradaban yang cemerlang, suatu percampuran yang mempengaruhi “garis darah: justeru lebih banyak daripada mempengaruhi afiliasi keagamaan[19]
Kemajemukan (pluralitas: bukan “pluralisme” yang bersendikan relativisme), pengakuan dan apresiasi terhadap kemajemukan dengan demikian memiliki pijakan teologis-normatif sekaligus bukti historis yang otentik dalam ajaran Islam yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam mewujudkan peradaban universal yang beradab, khususnya pada masalah hubungan antar agama dan pemeluk-pemeluknya di era kemajemukan seperti kita rasakan saat ini. Terlebih dalam konteks keIndonesiaan yang majmuk dan pluralistik dengan keanekaragaman suku, adat, dan budaya. Konsep tasamuh dalam Islam tidak berarti menista dan melebur keyakinan ataupun keimanan (akidah) kita dengan agama-agama lain (pluralisme). Bukan pula bermakna “sinkretisme”[20], atau “rekonsepsi” (reconception)[21] ataupun juga “sintesis”[22]. Ajaran tasamuh tidak dapat pula dimaknai sebagai “paralelisme”.[23] Semua model beragama yang penulis sebutkan ini sejatinya bermuara pada satu fakta : merelatifkan konsep ketuhanan dan menyamakan semua agama.
Dalam sebuah dialog bersama tokoh-tokoh agama di Jakarta, M Natsir, mantan Perdana Menteri RI mengatakan bahwa, perdamaian nasional hanya bisa dicapai kalau masing-masing golongan agama, di samping memelihara identitas masing-masing juga pandai menghormati identitas golongan lain. Lanjutnya,”Apakah kita ini, yang memeluk bermacam-macam agama, yang sudah sama-sama berjuang dan ingin terus menegakkan Negara Republik ini sebagai Negara kita bersama, bisa mencari dan mendapat satu modus Vivendi, yang menjamin keragaman hidup antar agama, dengan tidak mengkhianati keyakinan agama kita masing-masing.”[24] Inilah pandangan hidup Islam tentang kemajemukan yang dicontohkan oleh tokoh Islam sekaliber Pak Natsir.
Dalam realitas kehidupan yang pluralistik dan majemuk seorang muslim harus konsisten dengan afiliasi (intimâ’) dan loyalitas (walâ’) kepada konsep keyakinannya (Islam, iman dan ihsan). Bahkan pada saat berdialog dengan Ahli Kitab, sekalipun mereka berpaling dari seruan keimanan yang benar (tauhid), identitas sebagai muslim mesti dijunjung tinggi, bukan malah sebaliknya, bersikap ambivalen ataupun melakukan kompromi teologis.” Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”[25]
- Proposisi Untuk Kerukunan & Toleransi
Sebagai alternatif konseptual bagi pluralisme agama yang kini semarak disebarkan di tengah-tengah umat Islam Indonesia, sekaligus sebagai landasan yang kokoh bagi kehidupan bangsa yang majemuk dan pluralistik dalam suasana ko-eksistensi dan penuh toleransi (tasamuh), penulis mengajukan beberapa proposisi berikut ini:
Pertama, sebagai muslim yang baik kita meyakini bahwa setiap manusia dari sudut pandang penciptaannya (ontologis) memiliki kemuliaan (karâmah), apapun ras, warna kulit, suku, bangsa termasuk agamanya, sesuai dengan firman Allah : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(Al-Isra’ : 70). Maka hak kemuliaan sebagai manusia ciptaan Allah wajib untuk dilindungi dan dipelihara, kecuali dengan pelanggaran yang telah ditentukan dalam syariat Islam.
Kedua, bersikap apresiatif terhadap fakta keragaman dan berlapang dada, karena perbedaan keyakinan dan agama merupakan sesuatu yang qodrati dari Allah SWT : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”[26]. Karenanya, tidaklah mungkin bagi seorang muslim melakukan intimidasi, pemaksaan, apalagi teror terhadap orang lain untuk masuk ke dalam Islam.Firman Allah, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?.[27] Juga firmanNya, ““Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[28] Juga firmanNya, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”[29]
Ketiga, memahami bahwa perintah dakwah dalam Islam bertujuan terwujudnya transformasi dan perubahan kepada kebaikan dan kebenaran, baik pada level pribadi dan masyarakat, dilakuan dengan cara persuasif dan komunikasi yang elegan, bukan indoktrinasi. Disertai sebuah pemahaman bahwa, Allah tidak membebani kita untuk bertanggungjawab atas kekufuran orang-orang kafir atau kesesatan orang-orang yang sesat. Masalah terpenting ialah, dakwah telah kita sampaikan, sebagaiman firman berikut : “Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya”[30] Juga firmanNya,” Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: “Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya. Firman lainnya, “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).”[31] Dengan demikian, seorang muslim akan hidup secara nyaman dengan kelapangan dada dan kerelaan hati.
Keempat, bahwa Allah memerintahkan dan mencintai keadilan; berlaku proporsional, menyeru kepada kemuliaan akhlaq serta mengharamkan kezaliman, meskipun terhadap orang-orang musyrik. ” Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[32].
Kelima, dalam konteks dialog antar agama, tidak mengklaim bahwa semua agama benar (pluralisme), dengan dalih apapun, termasuk teori kesatuan transenden agama-agama Schoun yang dielaborasi lebih lanjut oleh pemikir muslim, Nurcholish Madjid dengan gagasan-gagasan inklusif-pluralisnya. Karena pemikiran seperti ini merupakan bagian dari kekerasan dan teror teologis (al-‘unfu wa al-irhab al-‘aqadiy) yang sesungguhnya di lawan oleh semua agama di dunia.
Keenam, berpegang pada sikap amanah serta jujur dalam beragama; tidak saja pada ritual-ritual murni, tapi juga dalam hal-hal yang potensial mencampur-adukkan ajaran agama-agama seperti natalan dan do’a bersama atas nama kebersamaan, kebangsaan atau kearifan lokal dan seterusnya. Toleransi tidak bermakna kesediaan mengikuti ritual dan peribadatan di luar keyakinan masing-masing umat beragama. Dus dengan demikian, masing-masing pemeluk agama merasa legowo dan tidak ada yang merasa tidak dihormati, apalagi dilecehkan, hanya karena sesama anak bangsa berpegang teguh dengan keyakinan dan keimanannya masing-masing.[33]
Ketujuh, di luar wilayah keimanan (akidah), Islam mengajarkan tentang komitmen persaudaraan kemanusiaan (al-musâwâh, bukan humanisme sekuler) secara adil dan penuh hikmah dalam wujud kerjasama dalam urusan-urusan dunia (mu’amalat dunyawiyah). Tanpa mencampur-aduk ajaran agama-agama. Fakta sejarah kehidupan Nabi dan masyarakat Madinah menjadi tauladan tasamuh yang sesungguhnya. Bukan seperti klaim pluralisme agama yang berorientasi kepada penyamaan agama-agama di dunia serta menafikan karakter yang khas pada masing-masing agama tersebut. Hal demikian, selain bertentangan dengan syariat Allah SWT, juga telah mengabaikan dan menistakan hak asasi manusia untuk meyakini agamanya masing-masing.
[1] Nurcholish Madjid, Islam Agama….hlm. 59.
[2] Dr.Mahdy Rizqullâh Ahmad, As-sîrah an-Nabawiyah fi Dlaw’il Mashâdir al-Asliyah, Dirâsah Tahlylîyah (Riyâd: Markaz Al-Malik Fayshal lil Buhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyah, 1992), Cet. I. hlm. 306-307.
[3] ”Sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian ialah perilaku mereka yang hanya menjatuhkan hukuman terhadap pencuri (koruptor) dari kalangan masyarakat lemah dan tidak memberikan sangsi apa-apa terhadap pencuri (koruptor) dari kalangan elit. Demi Allah, jika Fathimah anaknya Muhammad mencuri niscaya aku potong tangannya.” (HR Bukhari & Muslim)
[4] “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tak kan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS Al-Baqarah/2:256)
[5] ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”( QS. Al-An’am/6:108)
[6] ” Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”( QS Al-Kafirun/109:1-6)
[7] HR Bukhari
ألا من ظلم معاهدا أو انتقصه أو كلفه فوق طاقته أو أخذ منه شيئا بغير طيب نفس فأنا حجيجه يوم القيامة
[8] Shahih Bukhari, باب إثم من قتل معاهدا بغير جرم, III/1154
من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما
Perhatikan pula instruksi Khalifah Ali Bin Abi Thalib kepada para Penguasa-penguasa daerah berikut ini (Lihat : Abu Yusuf, Kitab Al-Kharaj, hal.1, 16)
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al’Adzim, I/294
[10] HR Muslim
[11] Wahai masyarakat Quraisy! Sesungguhnya Allah telah mengenyahkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang, manusia dari Adam dan Adam (diciptakan) dari tanah. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Al-Hujurat:13) Wahai sekalian orang Quraisy, apa yang mesti ku lakukan menurut pendapat kalian?. Mereka menjawab, ‘Yang baik-baik, sungguh engkau adalah saudara yang mulia, putera dari saudara kami yang mulia.’ Rasulullah bersabda, “sungguh aku berkata kepada kalian semua sebagaimana Nabi Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya, “Tiada cercaan bagi kalian pada hari ini,” pergilah kalian, karena kalian semua adalah orang-orang yang bebas!. (Shafiyyu al-Rahman al-Mubârakfury, al-Rahîq al-Makhtûm, Bahtsun fî al-Sîrati al Nabawiyyah [Riyâdh : Maktabah al-Muayyid, 1418 H], hlm. 405)
[12] QS Ar-Rahman : 7-9
[13] HR Muslim
[14] Ibnu Taymiyah, Al-Jawab al-shahih Liman Baddala Din al-Masih I/22. Lihat pula, Mohammad Shalih bin Yusuf al-‘Aliy, Inshaf Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah wa Mu’amalatuhum li Mukhalifihim (Jeddah: Dar al-Andalus al-Khadlra’, 1416 H), hal. 18
[15] Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun ]Beirût:Dârul Fikr, 1401 H/1981 M[ , Jilid 2, hlm. 268-269
[16] Dikutip oleh Umar Hasyim dalam Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama [Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979], hlm. 182
[17] Thomas Walker Arnold (1864-1930), orientalis Inggris terkemuka memulai karir ilmiah di Universitas Cambridge, bekerja sebagai peneliti di Universitas Aligarh India selama 10 tahun dan menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Lahore.
[18] Lihat, Muhammad Qutb, Salah Faham Terhadap Islam (Kwait: Shahaba Islamic Press, 1985), hal. 260-267
[19] Nurcholish Madjid, Kata Pengantar dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan ]Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992[ Cet. Kedua, hlm. xxvii
[20] Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari Terang Asli yang Satu dan sebagai ombak dari samudera yang Satu. Aliran ini disebut pula Pantheisme, Pan-komisme, Universalisme atau Theo-panisme. Jalan ini tidak dapat diterima sebab dalam ajaran Islam, misalnya, Khaliq (sang Pencipta) adalah samasekali berbeda dengan makhluq (yang diciptakan). Dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa seseorang berbakti dan mengabdi.
[21] Sebuah paham bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka konfrontasinya dengan agama-agama lain. Obsesinya adalah bagaimana sebenarnya hubungan antara agama-agama yang terdapat di dunia ini, dan bagaimana dengan cara rekonsepsi tersebut dapat terpenuhi rasa kebutuhan akan satu agama dunia. Pandangan ini tidak dapat diterima karena jalan rekonsepsi ini memposisikan agama sebagai produk pemikiran manusia. Padahal agama secara fundamental diyakini sebagai wahyu Tuhan.
[22] Yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan ke dalam agama sintesis tersebut. Pendekatan ini tidak dapat diterima karena, setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak mudah untuk diputuskan begitu saja. Dengan kata lain masing-masing agama telah terikat secara kental kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri. Pendekatan ini tidak dapat diterima karena, setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yqang tidak mudah untuk diputuskan begitu saja. Dengan kata lain masing-masing agama telah terikat secara kental kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.
[23] Pandangan dan sikap yang menganggap bahwa semua kepercayaan yang berbeda-beda, meskipun berliku-liku dan bersimpangan, sesungguhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada masa akhir penziarahan manusia [eschaton]. Tentang pandangan-pandangan ini lihat, A. Mukti Ali, Kuliah Agama Islam di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara Lembang (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1973), hlm. 17-24 sebagaimana dikutip oleh Faisal Islmail, “Islam, Pluralisme dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia” dalam jurnal Unisia, No. 33/XVIII/I/1997, hlm. 61-63
[24] M Natsir, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama di Indonesia (Jakarta : Media Dakwah, 1983), hal. 9-10, 15
[25] Alu-‘Imran : 64 (قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ)
[26] Al-Ma’iadah : 48
[27] Yunus : 99
[28] Al-Baqarah : 256
[29] Al-Kafirun : 1-6
[30] Al-‘Ankabut : 18
[31] Surah Syura:15
[32] Surah Al-Ma’idah : 8
[33] Baca, Ahmad Azhar Basyir, Manusia, Kebenaran Agama & Toleransi (Yogyakarta : Perpustakaan Pusat UII, 1981).