Liberalisme

Tabligh

Liberalisasi Pemikiran

Sebagai Tantangan Dakwah*

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi, PhD

 

Muhammadiyah sebagai suatu organisasi yang mulanya bergerak dalam bidang sosial kini diwarnai oleh tumbuh berkembangnya lembaga sekolah dan universitas. Dengan berkembangnya beberapa universitas di kota-kota besar, Muhammadiyah semakin menunjukkan jati dirinya bukan hanya gerakan social biasa, tapi sebagai gerakan pembangunan peradaban. Sebab asas peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan dan universitas berperan bersar dalam membangun ilmu pengetahuan yang kemudian berkembang menjadi sistim-sistim kehidupan. Namun, tantangan gerakan ini cukup besar, sebesar amal yang telah dilaksanakannya. Secara umum tantangan Muhammadiyah sebagai lembaga dakwah dan pengembangan peradaban sekurangnya ada dua: internal dan eksternal. Tantangan internal yang berupa kejumudan, fanatisme, taqlid, bidah khurafat dan sebagainya telah diselesaikan dengan baik meskipun perlu terus dilakukan, namun tantangan yang lebih besar lagi adalah menentukan arah pengembangan ilmu pengetahuan Islam di lingkungan Muhammadiyah melalui universitasnya agar sejalan dengan program pengembangan peradaban Islam. Termasuk dalam hal ini adalah mekanisme disseminasi ilmu pengetahuan dari elit social kepada masyarakat awam. Sedangkan tantangan eksternalnya adalah tantangan bagi solusi tantangan internal tersebut, yaitu tantangan pemikiran yang menghadang pembenahan arah pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu tantangan internal tidak dapat diselesaikan secara seporadis dan karena itu perlu ditangani secara simultan dengan tantangan eksternal. Makalah ini membahas tantangan eksternal di lingkungan Muhamadiyah yang berupa liberalisasi pemikiran yang akhir-akhir ini menerpa hampir seluruh organisasi Islam.

 

  1. Pintu-pintu Liberalisasi

Liberalisasi sebenarnya bukan gerakan baru di Barat, tapi intensitasnya baru dirasakan umat Islam setelah peristiwa dramatis 11 september 2001. Dan banyak pintu-pintu yang digunakan untuk meliberalkan pemikiran keagamaan umat Islam. Gerakan yang selama ini dirasakan umat Islam adalah program globalisasi, modernisasi, dan westernisasi yang tidak hanya diarahkan kepada umat Islam tapi juga kepada bangsa-bangsa dan peradaban lain.  Namun, yang lebih kongkrit dari itu adalah gerakan 1) Missionarisme 2) oritentalisme dan 3) Kolonialisme. Ketiganya merupakan gerakan pemikiran yang mengusung prinsip-prinsip atau elemen-elemen pandangan hidup Barat. Berikut ini diungkapkan bagaimana ketiga bentuk gerakan tersebut bekerjasama menghadapi ummat Islam dan kini menjadi tantangan umat Islam.

Ketika Barat kolonialis masuk kenegara-negara Islam ia membawa serta misi agama, politik, ekonomi dan kebudayaan. Namun tidak banyak yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal ini dapat dicermati dari fakta sejarah bahwa gerakan kolonialisme selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan missionaris Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain dari serangan pemikiran. Kerjasama missionaries, orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, seperti yang dikutip oleh Dr. Aqib Suminto berikut ini:

“……kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.” [1]

 

Peran Snough Hurgronye sebagai orientalis dalam memuluskan penjajahan Belanda di Indonesia merupakan bukti kongkrit kerjasama antara orientalisme, missionarisme dan kolonialisme Barat. Targetnya lagi-lagi berkaitan dengan pemikiran, yaitu untuk merubah cara berfikir ummat Islam.

1) Missionarisme

Gerakan missionarisme awal mulanya tidak ada indikasi penyebaran pemikiran, sebab fokus utamanya adalah konversi. Namun kini strateginya kini di arahkan pada “pengubahan” (distorsi) pemikiran ummat Islam. Strategi ini telah lama diikrarkan oleh Samuel Zwemmer seorang orientalis yang menjabat direktur organisasi misionaris dan yang juga pendiri Jurnal the Muslim World. Pada tahun 1935 pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem Zwemmer mengatakan bahwa:

Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum Muslimin, namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya.

Di dalam mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas: menghancurkan peradaban lawan (baca: peradaban Islam) dan membina kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu dilakukan agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri.[2]

 

Harry Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam, mengungkapkan pernyataan seorang misonaris Kristen: “Boleh jadi, dalam beberapa tahun mendatang, sumbangan besar misionaris di wilayah-wilayah Muslim akan tidak begitu banyak memurtadkan orang muslim, melainkan lebih banyak menyelewengkan Islam itu sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan.”  Dr. Cragg, seorang misionaris terkenal asal Inggris, menyatakan:“Tidak perlu diragukan bahwa harapan terakhir misi Kristen hanyalah melakukan perubahan sikap umat Muslim, sedemikian rupa sehingga mereka mau bertoleransi.”[3]

Apa yang disampaikan Zwemmer 70 tahun yang lalu itulah kini yang ditrapkan Barat untuk strategi perangan pemikiran terhadap ummat Islam. Oleh sebab itu gerakan Kristenisasi berkembang dari konversi kepada gerakan distorsi dan perang pemikiran.

 

 

2) Orientalisme

Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme baru abad ke 18. (The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hal.200).  Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks, dan sekurang-kurangnya terdapat dua motif utama: Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi lahir. Disitu tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada ditangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah. Muhammd pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi Ibrahim, sebab mereka bukan menyerang Islam yang dibawa Nabi, tapi Ka’bah yang merupakan khazanah millah Ibrahim itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan missionarisme.

Kedua adalah motif politik. Islam bagi Barat adalah peradaban yang dimasa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan hanya sekedar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi.  Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam.  Jadi motif kajian-kajian orientalis itu bersifat politis, yaitu untuk tujuan kolonialisme.

Motif yang hampir serupa juga terjadi dikalangan missionaris. Jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Michael Zwemmer tahun 1920, misalnya pada mulanya terang-terangan untuk media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Tapi kemudian jurnal itu menjadi jurnal kajian Islam yang serius dan ilmiyah, meskipun tetap menggunakan framework yang sama. Montgomery Watt yang dianggap orientalis moderat misalnya, ketika menulis al-Qur’an dan Sunnah mencoba meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur’an dan Hadtih itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an.[4] Inilah contoh bias orientalis yang paling nyata.

Kajian orientalis terhadap Hadith yang juga bias itu misalnya dapat ditemui dalam metodologi Harald Motzki dalam mengkaji hadith Sahifah Hammam Ibn Munabbih. Motzki yang dianggap obyektif itu ternyata juga ambigu. Ia seakan-akan mengkritik metode kajian Joseph Schacht, namun sejatinya tidak beda dan tetap mempertahankan sikap orientalismenya .

Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi kajian ilmiyah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada ‘kaca mata’ dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris. Tapi motivasi ini ditutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.[5] Tidak heran jika orientalis kemudian dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiyah yang ‘khas’, bahkan menjadi sebuah framework pengkajian. Meskipun ilmiyah, tapi jika cara pandang dan tujuannya diwarnai oleh latar belakang agama dan politik serta worldview Barat atau nilai-nilai peradaban Barat, kajian mereka itu lebih cenderung salah.  Ini juga membuktikan bahwa ilmu memang tidak bebas nilai.

Oleh sebab itu menganggap orientalis dimasa kini obyektif dan ilmiyah hanya benar dipermukaannya. Kajian akademis dan ilmiyah terhadapnya membuktikan sebaliknya. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh pendahulunya. Dan orientalis terdahulu itu diwarnai oleh pengalaman manusia Barat. Framework kajian filsafat para orientalis, misalnya, malah tidak pernah bergeming dari asumsi bahwa Islam tidak memiliki filsafat.[6] Nama filsafat Islam, substansinya dan framework kajiannya semuanya berdasarkan cara pandang orientalis yang khas, dan tentu tidak dalam perspektif Islam. Demikian pula dalam kajian Kalam.

Perlu disadari bahwa kajian outsider tentang suatu agama dan peradaban, termasuk Islam, betapapun obyektif dan akademisnya, ia tetap saja menyisakan bias. A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan hal-hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Tapi yang aneh adalah ketika para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam itu direformasi.[7]

Kajian dan sekaligus serangan orientalis terhadap Islam dan sejarahnya memang sangat canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah untuk membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data dan seringkali bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan tujuan dan kepentingan tertentu.

Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam The World, The Text and the Critic (1983) yakin bahwa Orientalis dan Barat adalah diskrimatif.  Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat kental.  Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Edmund Leach setuju, sekali stigma “other” itu melekat maka selain bangsa Eropah tetap asing dan bahkan inferior. Ringkasnya, katanya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman imperialisme dan persengketaan kultural ( cultural hostility).  Zaynab al-Ghazzali malah lebih keras dari itu, katanya memisahkan agama dari politik atau Islam dari hukum syariah adalah tindak kriminal. Di kalangan pemikir Barat sendiri framework orientalis diberi stigma sebagai “exotic cum barbaric norm”.

Selain dari itu, ciri-ciri kajian orientalis adalah parsial, artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler dst. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat.

Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren dikalangan sementara cendekiawan Muslim.  Nampaknya, mereka berfikiran bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan pintas untuk “reformasi”, “pembaharuan” atau “liberalisasi” pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau ulama “tradisional”,  pemikiran hasil “adopsi” itu nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam.  Padahal, sifat “baru”nya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari fondasi asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan. Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam secara komprehensif, kreatif, dan appresiatif sehingga kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan Barat.

Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu – yakni bangsa-bangsa Timur Tengah dan Asia –  dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian “membantu” membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama  dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk program missionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.[8]

Akar gerakan orientalisme dapat ditelusur dari kegiatan mengkoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori oleh para teolog Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggeris adalah diantara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang dan melembaga menjadi program formal di perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau jurusan dari universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di Barat yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of Islamic Studies, Universitas Chicago, universitas Edinburgh, University of Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement of Middle Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggeris mendirikan Centre for the Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya.  Program-program kajian keislaman di universitas-universitas Barat tersebut merupakan tradisi yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh dibidang masing-masing. Sekedar untuk menyebut beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam beberapa bidang tertentu:

 

1) Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard  J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman dll. 2) Bidang Hadith Josep Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck, Nicholson, WD. Van Wijagaarden.  3)  Bidang Fikih Waell Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck, John Burton,  4) Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel Huntington, Bob Hefner, William Liddle, Greg Burton dll. 5) Bidang al-Qur’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser, Otto Pretzl, Arthur Jewffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell, Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg.[9] Dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan semua disini.

Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:

1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient).

2) Bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam.

3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.[10]

 

Ketiga kesimpulan Edward Said diatas adalah benar adanya, artinya studi Islam di Barat yang ada sekarang ini menggunakan cara pandang (framework) Barat dan oleh sebab itu jika tulisan para orientalis itu dikaji secara kritis maka akan menunjukkan beberapa kerancuan konsep. Gambaran tentang cara pandang (framework) Barat ini sebenarnya sangat kompleks, tapi secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mereka memandang Islam dan peradabannya. Cara Barat melihat Islam sebagai din, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, al-Qur’an sebagai wahyu dan kalam Tuhan, cara memahami hadith, sikap mereka terhadap otoritas ulama berbeda sama sekali dengan cara pandang Islam dan ummat Islam.

Namun, tantangan yang dihadap ummat bukan hanya dari pikiran para orientalis, tapi cencekiawan Muslim yang mengikuti cara berfikir orientalis dalam memahami Islam. Kini yang mengatakan semua agama sama, al-Qu’ran bukan wahyu Allah, Ajaran Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya bukan lagi orientalis, tapi para cendekiawan Muslim sendiri. Produk dari kuatnya tradisi oritentalisme itu adalah terbitnya karya-karya mereka yang kemudian dirujuk dan bahkan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Akhirnya, oritentalisme juga memproduk cendekiawan Muslim yang tidak kritis terhadap Barat dan bahkan mengikuti saja cara berfikir mereka. Kini muncul cendekiawan Muslim di berbagai Negara Islam yang  mengusung ide-ide yang merupakan agenda Barat. Untuk sekedar menyebut beberapa berikut ini nama-nama mereka:

Teologi, Filsafat dan Pluralisme agama: Rene Guenon, Fritjhof Schuon, Martin Ling, Syed Hussein Nasr, Muhammad Sachidina, Hasan Askari, Mahmud Ayyub, Farid Eschack Hermeneutika: Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Gender dan feminisme: Aminah Wadud Muhsin, Fatimah Mernisi, Nawal Sa’dawi  Islam Kiri: Hasan Hanafi, Asghar Ali dll. Fiqih: Abdullah Ahmad al-Naim, Muhammad Syahrur. Dsb

Sekedar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan ide orientalis sampai kepada pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam  [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)].  Ide ini diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka  ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi).  Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dank arena itu ummat Islam tidak terlalu fanatic berpegang pada al-Qur’an; dan agar ummat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa.

Namun secara obyektif perlu diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis ada yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiyah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadith dan sebagainya. Oleh karena itu ummat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Ummat Islam perlu bersikap kritis dalam mengkaji karya-karya orientalis itu. Dan untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang setanding dengan mereka.

3)  Kolonialisme

Seperti disebutkan diatas bahwa orientalis pernah bekerjasama dengan kolonialis dan missionaris.  Pengertian kolonialisme dalam hal ini menyesuaikan dengan kondisi paska perang dunia kedua, yang bergeser dari pendudukan menjadi penguasaan dalam bidang-bidang tertentu secara strategis. Kolonialisme kini tidak mesti berarti exploitasi sumber daya manusia dan alam seperti dizaman penjajahan, tapi monopoli dalam perdagangan, penguasaan sistim ekonomi dan politik, liberalisasi perdagangan dsb. Untuk itu kolonialis berkepentingan untuk menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga ide-ide atau pemikiran Islam dan ummat Islam sejalan dengan pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya kepentingan ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat berjalan dengan baik.

Gerakan kolonialisme berupa liberalisasi dapat dibuktikan dari agenda pemerintahan George W Bush yang lalu dalam menghadapi apa yang ia sebut terorisme.  Menjelang pemilihannya untuk periode kedua majalah Times memuji keberhasilan Bush dalam upaya liberalisasi masyarakat Negara-negara Timur Tengah dalam berbagai hal. Meski Indonesia tidak disebut disitu, namun liberalisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dapat dirasakan. Karena ternyata apa yang dirasakan di Indonesia adalah persis seperti pelaksanaan dari saran-saran Cheryl Benard, dari Rand Coorporation, kepada pemerintah Amerika. Liberalisasi pemikiran kegamaan dalam Islam dimaksudkan agar ummat Islam tidak lagi terikat pada doktrin-doktrin keagamaan yang dapat bertentangan dengan pandangan hidup dan kebudayaan Barat.

Strategi bagaimana agar ide-ide dan pemikran umat Islam sejalan dengan kolonialis, dan bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis, sebaiknya kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003). Buku yang ditulis oleh Cheryl Bernard[11] ini menjelaskan tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan apa yang mereka istilahkan dengan “terorisme dan fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004),  The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror (2005).

Cheryl Bernard menulis ini dibawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa obyektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu diseluruh dunia”. Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson Foundation. Di lembaga ini Cheril menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research Division) dimana suaminya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi. Yang jelas divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah Amerika bagaimana menghadapi “fundamentalisme” dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam.

Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran tertentu. Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia memberi masukan kepada pemerintah Amerika, pertama tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret kedalam nilai-nilai Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam konteks nilai-nilai Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM, poligami, hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah minoritas, pakaian wanita, hak-hak suami-istri dsb. masuk kedalam pemikiran umat Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan lihat dibawah ini,  dilaksanakan dengan baik di Indonesia.

Untuk membuktikan adanya serangan yang berbentuk politik atau memakai kendaraan politik, berikut ini dipaparkan strategi bagaimana menghadapi Islam yang tertuang dalam buku tersebut. Laporan itu membagi ummat Islam menjadi 4 kelompok dan memberi masukan bagaimana seharusnya sikap pemerintah Amerika terhadap keempat kelompok tersebut:

  1. Fundamentalis, yaitu kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi, dan kultur Barat kontemporer. Mereka menginginkan negara autoritarian dan murni untuk melaksanakan hukum dan nilai-nilai moral Islam, tapi mau menggunakan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka.
  2. Traditionalis, yaitu kelompok yang menginginkan masyrakat konservatif, curiga terhadap modernitas, innovasi dan perubahan.
  3. Modernis, yaitu kelompok yang menginginkan agar dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka ingin memodernisir Islam agar sejalan dengan zaman.
  4. Sekularis yaitu kelompok yang mengingkan dunia Islam menerima pemisahan gereja dan negara, sebagaimana yang terjadi pada demokrasi industri Barat, dimana agama diposisikan sebagai urusan pribadi

Untuk menghadapi kelompok-kelompok tersebut diatas Cheryl Benard memberi saran-saran bagaimana menghadapi masing-masing kelompok. Diakhir saran-saran ia mengingatkan agar kebijakan yang diambil disesuaikan dengan strategis tidaknya isu yang berkembang. Saran-saran untuk menghadapi keempat kelompok tersebut dapat disimak sbb:

  1. Pertama-tama dukung modernis, dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik dan diangkat secara ketengah-tengah public sebagai mewakili wajah Islam kontemporer.
  2. Dukung kelompok sekularis berdasarkan kasus per kasus
  3. Dorong institusi sipil dan kultural serta program-programnya.
  4. Dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat diantara mereka. Didalam kelompok tradisionalis kita harus mendukung secara selektif mereka yang lebih sesuai dengan masyarakat sipil modern. Misalnya, beberapa mazhab-mazhab Fiqih lebih dapat disesuaikan dengan pandangan kita tentang keadilan dan hak azazi manusia daripada yang lain.
  5. Musuhi kelompok fundamentalis secara aktif dengan menghantam kelemahan mereka dalam pandangan keislaman dan ideologi mereka, yaitu dengan mengeskpos hal-hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat baik anak muda yang idealis ataupun pengikut tradisionalis yang saleh, seperti korupsi, kekerasan, kebodohan, pelaksanaan Islam yang bias dan jelas salah dan ketidak mampuan mereka memimpin dan memerintah.

Untuk pelaksanaan saran-saran diatas Cheryl memerincikan langkah-langkah yang lebih kongkrit dalam bentuk yang ia sebut “rekomendasi”. Rekomendasinya terdiri dari 5 poin, sbb:

  1. Hancurkan monopoli fundamentalis dan tradisionalis dalam mendifinisikan, menjelaskan dan menafsirkan Islam.
  2. Tunjuk cendekiawan modernis yang tepat untuk membuat website yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan menawarkan pandangan hokum Islam kaum modernis.
  3. Dukung cendekiawan modernis untuk menulis buku-buku teks dan mengembangkan kurikulum.
  4. Terbitkan buku-buku pengantar dengan disubsidi agar dapat diperoleh seperti karya-karya penulis fundamentalis.
  5. Manfaatkan media regional yang popular, seperti radio, untuk memperkenalkan pemikiran dan praktek Muslim modernis untuk membuka pandangan internasional tentang apa itu Islam dan dapat berarti apa

Langkah-langkah Strategis

Selanjutnya berdasarkan rekomendasi diatas maka Cheryl menyarankan agar pemerintah Amerika mengambil 4 langkah-langkah strategis sbb:

 

 

 

1) Membangun kepemimpinan modernis

  1. a) Ciptakan role model dan pemimpin. Modernis yang terpojokkan harus di rehabilitasi sehingga bisa tampil sebagai pemimpin pembela hak-hak sipil yang berani. Terdapat preseden dalam soal ini yang menunjukkan bahwa hal ini dapat berjalan. Nawal al-Sadaawi, telah dikenal didunia internasional karena penhinaan, pelecehan dan upaya yang terus menerus untuk mengadilinya karena prinsipnya sebagai modernis dalam isu yang berkaitan dengan kebebasan berbicara, kesehatan masyarakat, dan status wanita di Mesir. Sima Samar, Menteri Urusan Wanita ad interim Afghanistan, yang telah menginspirasi banyak orang karena keberanian pendiriannya dalam soal HAM, hak-hak wanita, hukum sipil dan demokrasi, yang karena itu ia mendapat ancaman hukuman mati dari kelompok fundamentalis. Di diseluruh dunia Islam masih banyak lagi tokoh-tokoh yang kepemimpinannya dapat disoroti. Masukkan Muslim modernis dalam peristiwa-peristiwa politik, untuk mencerminkan realitas keberadaan mereka secara demografis. Cegah upaya-upaya secara berlebihan untuk meng-islamkan umat Islam dan sebagai alternatifnya kenalkan kepada mereka gagasan bahwa Islam hanyalah salah satu bagian dari identitas mereka.

Maksud usulan diatas merujuk kepada gagasan al-Azmeh, dari bukunya yang berjudul Al-Azmah, Islam and Modernities, London: Verso Publications, 1993. al-Azmeh sendiri adalah seorang “Muslim Eropah”

  1. b) Dukung konsep masyakarat sipil (civil society) didunia Islam. Konsep ini menurut Cheryl sangat penting dalam situasi-situasi krisis dan paska konflik dimana masyarakat memerlukan kepemimpinan yang demokratis. Daerah perkotaan dan di organisasi sosial merupakan infrastruktur bagi pendidikan politik dan kepemimpinan yang moderat dan modern.
  2. c) Kembangkan gagasan gagasn Islam Barat: Islam Jerman, Islam AS dsb. Ini bukan sekedar sebutan identitas tapi juga memerlukan konsekuensi ideologis yang melibatkan pemikiran dan prakteknya dalam komunitas-komunitas itu. Gagasan yang seperti ini bagi Cheryl sangat menarik dan karena itu perlu didukung agar gagasan ini dapat diekspresikan dan dibukukan.

 

 

 

2). Teruskan serangan terhadap fundamentalis

  1. a) Lakukan deligitimasi individu dan kedudukan kelompok ekstrimis Islam. Publikasikan perilaku dan pernyataan amoral dan hipokrit dari apa yang disebut otoritas fundamentalis. Tuduhan amoralitas dan kebejatan orang Barat merupakan bagian dari senjata fundamentalis, tapi mereka sendiri rawan dalam masalah ini.
  2. b) Dukunglah jurnalis Arab dalam media populer untuk melakukan laporan investigatif tentang kehidupan dan kebiasaan individu serta korupsi pemimpin fundamentalis. Publikasikan kejadian tentang kebrutalan mereka, seperti peristiwa matinya anak sekolah di Saudi dalam kebakaran ketika polisi moral melarang petugas pemadam kebakaran untuk mengevakuasi anak-anak tersebut dari sekolah mereka yang kebakaran, hanya alasan bahwa anak-anak tersebut tidak mengenakan jilbab. Selain itu juga kemunafikan mereka yang tercermin dari lembaga-lembaga agama Saudi, yang melarang pekerja-pekerja imigran untuk membuat pas foto anak-anak mereka yang baru lahir, atas dasar bahwa Islam melarang gambar manusia, sedangkan di kantor-kantor mereka dihiasi oleh gambar besar Raja Faisal dsb. Peranan organisasi amal dalam membiayai teror dan ekstrimisme telah mulah terkuak seja peristiwa 11 September, tapi masih perlu terus diselidiki secara publik.

3) Promosikan Nilai-nilai Modernitas Demokrasi Barat secara agresif

  1. a) Ciptakan dan propagandakan suatu model Islam yang kaya dan moderat dengan mengidentifikasi dan membantu secara aktif negara-negara atau kawasan atau kelompok yang memiliki pandangan yang betul. Publikasikan keberhasilan-keberhasilan mereka. Deklarasi Beirut untuk Keadilan, tahun 1999 (Beirut Declaration for Justice) dan Piagam Aksi Nasional Bahrain (the National Action Charter of Bahrain) misalnya merupakan terobosan baru dalam pelaksanaan hukum Islam dan harus disebar luaskan.
  2. b) Kritik kesalahan tradisionalis. Tunjukkan hubungan sebab akibat antara tradisionalisme dan kemunduran, demikian juga hubungan kausalitas antara modernitas, demokrasi, perkembangan dan kemakmuran. Apakah fundamentalisme dan tradisionalisme menawarkan masa depan masyarakat Islam yang sehat dan sejahtera? Apakah mereka berhasil dalam menjawab tantangan masa kini? Apakah mereka membandingkan dengan model struktur masyarakat yang lain? Rencana Pembangunan PBB (United Nation Development Plan- UNDP) secara jelas menunjukkan hubungan antara struktur sosial yang stagnan, penindasan terhadap wanita, rendahnya kualitas pendidikan dan kemunduran. Poin ini harus disebarkan kepada masyarakat Muslim (hal 63)
  3. c) Munculkan Pentingnya Sufisme. Dukunglah negara-negara yang memiliki tradisi tasawwuf yang kuat, untuk memfokuskan pada bagian sejarah mereka dan untuk memasukkan kedalam kurikulum sekolah. Berikan perhatian yang lebih banyak kepada Islam Sufi. Hal ini akan menjauhkan mereka dari masalah dunia dan menekankan pada masalah akherat.

4) Fokuskan pada Pendidikan dan Remaja

Orang dewasa yang setia dan pengikut gerakan Islam radikal tidak mungkin dipengaruhi dengan mudah untuk merubah pendirian mereka. Tapi, generasi yang akan datang dapat dipengaruhi jika misi demokrasi Islam dapat dimasukkan kedalam kurikulum sekolah dan media masa di negara-negara tertentu. Fundamentalis radikal telah berusaha secara massif untuk memperoleh pengaruh dalam pendidikan dan nampaknya mereka tidak mungkin merubah pendirian mereka tanpa perjuangan. Usaha yang sebanding dengan itu akan sangat dibutuhkan untuk memerangi pendirian mereka ini.

 

Langkah-langkah Praktis

Lebih jauh lagi agar langkah-langkah strategis diatas dapat direalisasikan menjadi sebuah gerakan pemikiran maka Cheryl memberi saran-saran praktis seperti hal-hal dibawah ini:

1) Dukunglah pertama-tama kelompok modernis dan sekularis dengan cara sbb: a) menerbitkan dan menyebarkan karya-karya mereka; b) mendorong mereka untuk menulis khusus untuk orang awam dan anak muda; c) perkenalkan pandangan mereka kedalam kurikulum pendidikan Islam; d) berikan ruang publik untuk mereka; e) sebarkan pandangan dan pendapat mereka dalam masalah-masalah yang fundamental dalam penafsiran agama kepada orang awam, agar bersaing dengan pendapat dan pandangan fundamentalis dan tradisionalis, yang telah memilik website, penerbitan, sekolah, institut dan media yang lain untuk menyebarkan pandangan mereka; f) posisikan modernisme sebagai pilihan remaja Islam; g) memberi kemudahan dan mendukung kesadaran tentang sejarah dan kultur sebelum Islam dan non-Islam, melalui media masa dan kurikulum sekolah dinegara-negara tertentu; h) mendorong dan mendukung lembaga-lembaga sekuler dan sipil, serta program-programnya.

2) Dukunglah kelompok tradisionalis melawan fundamentalis dengan cara-cara sbb: a) mempublikasikan kritik-kritik tradisionalis terhadap kekerasan dan ekstrimisme fundamentalis dan mendorong tumbuhnya perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis; b) Cegahlah  persatuan antara tradisionalis dan fundamentalis; c) doronglah kerjasama antara modernis dengan tradisonalis yang memiliki pandangan yang lebih dekat kepada modernis, perbanyak literatur tentang figur modernis dalam lembaga-lembaga tradisionalis; d) bedakan sektor-sektor yang terdapat dalam tradisionalisme; e) perkuat dukungan kepada mereka yang mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap modernisme – seperta mazhab Fiqih Hanafi yang bertentangan dengan mazhab lain dalam masalah agama. Dengan mempopulerkan mazhab ini maka kita dapat memperlemah otoritas penguasa agama Wahabi; f) doronglah popularitas dan penerimaan sufisme.

3) Hadapi dan tantang kelompok fundamentalis dengan cara-cara sbb: a) menantang dan mengekspose ketidak akuratan pandangan mereka dalam soal penafsiran Islam; b) bongkar hubungan mereka dengan kelompok dan aktifis illegal; c) Publikasikan akibat dari perilaku kejahatan mereka; d) tunjukkan ketidak mampuan mereka memerintah untuk kepentingan pembangunan masyarakat mereka secara positif; e) arahkan misi ini khusunya untuk anak-anak muda, masyarakat tradisionalis yang saleh, Muslim minoritas di Barat dan kepada wanita; f) hindarkan rasa respek atau pemujaan terhadap tindak kejahatan kelompok fundamentalis,  ekstrimis dan teroris, ketimbang menuduh mereka sebagai pahlawan jahat, lebih baik menuduh mereka sebagai orang yang bermasalah dan penakut; g) mendorong  para wartawan untuk menyelidika isu korupsi, kemunafikan dan tidak amoral kelompok fundamentalis dan terosis.

4) Dukung sekularis dengan selektif, dengan cara sbb: a) doronglah pengakuan bahwa fundamentalisme adalah musuh bersama; cegahlah persatuan sekularis dengan gerakan anti-kekuatan Amerika, seperti nasionalisme dan ideologi kiri; b) dukunglah ide bahwa agama dan negara itu dalam Islam dapat dipisahkan, dan bahwa hal ini tidak membahayakan keimanan. .

Dari strategi diatas jelas sekali bahwa dari keempat kelompok tersebut yang mendapat dukungan adalah kelompok modernis (termasuk mereka yang menamakan diri “Islam Liberal”, karena dianggap sesuai dengan peradaban Barat. Lebih lengkap dinayatakan begini:

Dari semua kelompok, kelompok ini (modernis) adalah yang paling bersahabat terhadap nilai-nilai dan jiwa masyarakat demokratis modern. Modernisme, dan bukan tradisionalisme, adalah yang membantu Barat. (Misi kelompok) ini menyangkut perlunya menyimpang, memodifikasi dan mengesampingkan secara selektif elemen-elemen doktrin keagamaan yang orisinal. Kitab Perjanjian Lama tidaklah berbeda dari al-Qur’an dalam menghukumi perilaku dan mengontrol sejumlah peraturan dan nilai-nilai yang tidak dapat dipahami secara literal oleh masyarakat masa kini. Ini tidak masalah, sebab saat ini hanya sedikit sekali orang yang mempertahankan agar kita semua hidup yang secara literal sama dengan Bible. Sebaliknya, kita sepakat pada visi bahwa misi yang sebenarnya dari Yahudi dan Kristen itu mengungguli (makna) literal teks, yang sebenarnya telah kita anggap sebagai sejarah dan legenda belaka. Ini adalah persis seperti pendekatan yang diambil oleh modernist Muslim.[12]

Yang pasti orientalisme dan kolonialisme Barat mempunyai hubungan dan bahkan kesamaan obyek. Obyek kajian orientalis adalah Negara-negara Timur, khususnya Islam dan sasaran politik kolonialisme adalah juga Negara-negara Islam. Sementara itu Kristen yang gagal di Barat juga mengarahkan misinya ke Timur.

Orientalisme sangat berguna bagi memudahkan jalan kolonialisme, dan untuk kepentingan itu Barat membuat program khusus melalui agensi-agensinya, yaitu yayasan-yayasan yang bertugas khsusus menjalakan misi tersebut. Diantara yayasan yang aktif saat ini adalah  The Asia Foundation (Amerika) yang diantara programnya disebutkan begini:

Recognizing the importance of reinforcing inclusive and pluralist values within Indonesia’s Muslim majority population, The Asia Foundation has been supporting a diverse group of mass-based Muslim groups since 1970s. In the context of an increasingly diverse Islamic society in Indonesia, The Foundation now support over 30 Muslim non-Government organization (NGO), in their efforts to promote the concept that Islamic values can the basis for a democratic political system, non-violance, and  religious tolerance. In the area of civic education, human right, intercommunity reconciliation, gender equality, and inter-faith dialogue, the Foundation works with these NGO’s and mass-based organization in their effort to make Islam a catalyst for democratization in Indonesia.  ……The programs include training for religious leaders, studies examining gender issues and human rights in Islam, civic education course at Islamic institute, Muslim women’s advocacy centers and the strenghthening the pluralist and tolerant Islamic media.[13]

 

Terjemahannya bebasnya adalah sbb:

Menyadari akan pentingnya nilai-nilai inklusif dan pluralis dalam masyarakat Muslim Indonesia yang mayoritas, The Asia Foundation telah memberikan bantuan kepada berbagai ormas Islam sejak tahun 1970an. Dalam konteks masyarakat Islam Indonesia yang semakin berragam, The Asia Foundation kini membantu lebih dari 30 kelompok LSM dalam upaya mereka mempromosikan konsep bahwa nilai-nilai Islam itu dapat menjadi asas bagi sistim politik demikratis, anti-kekerasan dan toleransi beragama. Dalam kaitannya dengan pendidikan sipil, HAM, penyatuan antar komunitas, persamaan gender, dialog antar agama, Yayasan ini bekerjasama dengan LSM-LSM yang ormas-ormas dalam usaha mereka menjadikan Islam sebagai media untuk demokratisasi di Indonesia…..Program-programnya  termasuk training tokoh-tokoh agama, kajian tentang issu gender dan hak azazai manusia dalam Islam, pelajaran tentang pendidikan sipil pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, pusat pembelaan terhadap wanita Muslim dan memperkuat media Islam yang pluralis dan toleran.

Dari pernyataan diatas jelas sekali bahwa program yayasan asing itu adalah untuk memperkenalkan elemen penting dalam peradaban Barat seperti persamaan, persamaan gender, hak azazi manusia, pluralisme agama, demokrasi dan lain-lain yang kesemuanya berdasarkan pada cara berfikir (worldview) Barat. Selain daripada itu, disebutkan pula bahwa The Asia Foundation bersama USAID (US Agency for International Development) juga mempunyai program reformasi pendidikan di seluruh Indonesia baik pendidikan formal maupun informal, termasuk reformasi pendidikan di pesantren. Dalam reformasi itu nanti akan diajarkan mata pelajaran perbandingan agama, pendidikan sipil, pengembangan kurikulum, workshop-workshop, training pedagogi, dan kursus serta tutorial tentang prinsip-prinsip pluralisme dan demokrasi. Semuanya, menurut mereka, disusun berdasarkan pada ajaran Islam, akan tetapi masalahnya berubah menjadi justifikasi Islam terhadap paham-paham tersebut. Sebab dalam Islam tidak terdapat paham pluralisme, yang ada hanyalah pengakuan adanya pluralitas. Islam mengakui adanya kebinekaan agama dan kepercayaan tapi tidak mengakui kebenarannya.

  1. Materi Liberalisasi

Jika geralam missionarisme, orientalisme dan kolonialisme tersebut diatas dicermati, ternyata didalamnya mengandung pemikiran yang kini digunakan untuk program liberalisasi pemikiran Islam. Diperkuat dengan doktrin postmodernisme liberalisasi pemikiran dan peradaban Islam menggunakan materi-materi yang berupa relativisme, pluralisme agama, sekularisme, humanisme, dekonstruksi, persamaan, feminisme & gender, individualisme, demokrasi dan lain-lain. Untuk mengetahuai ide-ide tersebut akan dijelaskan beberapa yang penting sbb:

a). Kritik terhadap al-Qur’an[14]

Selain menanamkan doktrin relativisme langkah liberalisasi paling strategis adalah melakukan kritik terhadap al-Qur’an yang merupakan sumber kekuatan Islam. Ini juga merupakan skenario berdasarkan pengalaman Barat Kristen. Artinya pengalaman missionaris dalam mengkaji dan mengkritik Bibel itu digunakan untuk mengkaji dan mengkritik al-Qur’an. Perintisnya yang mulai menerapkan metodologi Bibel secara sistematis ke dalam studi al-Qur’an adalah Theodore Nöldeke, dengan karyanya Sejarah al-Qur’an (Geschichte des Qorans).[15] Nöldeke kemudian didukung dan diikuti jejaknya oleh Pendeta Edward Sell (m. 1932), salah seorang tokoh misionaris terkemuka di Madras, India. Ia juga menjadikan karya Nöldeke itu sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an. Ia sendiri pada tahun 1909 menulis Historical Development of the Qur’an.[16]

Kaitan antara kritik terhadap al-Qur’an dengan pengalaman mereka terhadap Bibel dapat dicermati dari pernyataan Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) sbb:

Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”[17]

Di Eropah komunitas Kristen (Christian community), telah berpengalaman dalam menghimpun Perjanjian Baru (New Testament) dengan memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apocalypse. Mereka kemudian menyamakan dengan mushaf-mushaf dalam sejarah al-Qur’an dengan korpus-korpus. Mushaf ‘Abdullah ibn Mas‘ud di Kufah dianggap sebagai al-Qur’an edisi mereka (their Recension of the Qur’an). MuÎÍaf AbË MËsÉ, dianggap korpus penduduk Basra dan MuÎÍaf MiqdÉd ibn al-Aswad sebagai korpus penduduk Damaskus, sedangkan MuÎÍaf Ubay sebagai korpus penduduk Syiria.[18] Menurut Arthur Jeffery sikap umat Islam terhadap mushaf pada waktu itu paralel sekali dengan sikap pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri beragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Hanya saja ia menyayangkan sikap para sarjana Muslim yang belum melakukan kritik teks kepada al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Ia dengan terus terang meyatakan:

Apa yang kita butuhkan, adalah tafsir kritis yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an.”[19]

Akibat penerapkan biblical criticism dalam studi al-Qur’Én, para orientalis  melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’Én seperti:  al-Qur’Én telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’Én disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah karena telah mengkodifikasi al-Qur’Én; al-Qur’Én ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik; al-Qur’Én adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’Én; tidak ada di dalam al-Qur’Én yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’Én, menyamaratakan qira’Éh mutawÉtirah dengan qira’Éh shÉdhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’Én dan lain sebagainya. Dari hasil kajian kritis tersebut kesimpulannya adalah perlunya diwujudkan al-Qur’Én edisi kritis.[20]

Upaya ini kemudian di adopsi oleh seorang dosen UIN Makassar yang menulis sebuah makalah berjudul Edisi Kritis al-Qur’an, yang didalamnya menyatakan bahwa al-Qur’an Mushaf Usmani meninggalkan sejumlah masalah tulisan dan bacaan yang mendasar. Selain itu ia juga menulis buku berjudul Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an yang didalamnya ia meragukan kesempurnaan Mushaf Usmani dan menurutnya tidak layak disucikan.[21]

Dari kesimpulan bahwa al-Qur’an itu adalah hasil dari rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan Usman Ibn Affan, pendukung liberal meniru dengan menyatakan

….al-Qur’an sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi perangkap bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.[22]

Demikian pula asumsi para orientalis dari generasi ke generasi bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad juga di “telan” begitu saja oleh para sarjana Muslim. Pernyataan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad dapat dilacak dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam  [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)].

Muhammad Arkoun meniru pernyataan orientalis tersebut menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka  ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi). Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dan karena itu ummat Islam tidak perlu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar ummat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa. Lebih detail mengenai pengaruh orientalis terhadap studi al-Qur’an Adnin Armas MA membuktikan dalam bukunya berjudul “Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an” (Kajian Kritis).[23]

Jika jejak orientalis dalam mengkritik al-Qur’an ditiru maka akibatnya al-Qur’an akan bermasalah dan menjadi seperti Bibel. Kritik terhadap Bible (Biblical Criticism), bukan tanpa konsekuensi. Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme modern. Alasannya lugas dan logis. Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakekat Tuhan dan kemudian tentang kebenaran eksistensi Tuhan sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Itulah akibatnya jika konsep Tuhan harus dicari dengan hermeneutik dan kritik terhadap teks Bible. Bahkan, tindakan-tindakan seperti menginjak asma Allah, melempar mushaf al-Qur’an ke lantai di depan kelas, dan mempersoalkan otentisitas al-Qur’an sudah mulai terjadi dikampus-kampus Islam.

Kritik terhadap al-Qur’an ini juga berkaitan dengan proses penerapan metode hermeneutika dalam memahami al-Qur’an. Sebab yang pertama-tama harus dilakukan dalam penggunaan hermeneutika ini adalah perubahan status teks al-Qur’an dari teks ilahi menjadi teks basyari (manusia). Jika status teks sudah diturunkan menjadi bersifat manusiawi yang meruang dan mewaktu maka dengan hermeneutika seseorang dapat melakukan perubahan teks (nash) dan juga perubahan makna-makna aslinya untuk dapat didekonstruksi sesuai dengan konteks sosial yang tidak lain adalah humanisme.

  1. b) Penyebaran doktrin relativisme

Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras, seorang Sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. (man is the measur of all things). Doktrin ini berpegang pada prinsip bahwa kebenaran itu sendiri adalah relatif terhadap pendirian subyek yang memutuskan. Relativisme juga dianggap sebagai doktrin global tentang semua ilmu pengetahuan. Disini aspek-aspek sang subyek yang menentukan apa makna kebenaran itu, dapat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, kultural, sosial, linguistik, psikologis.[24] Dengan tersebarnya doktrin ini tidak sedikit cendekiawan Muslim yang lalu berkesimpulan bahwa manusia tidak ada yang tahu kebenaran, yang tahu hanya Allah. Bahkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah kalam Allah yang absolut, tapi ucapan Nabi sebagai manusia yang relatif. Doktrin relativisme ini juga berkaitan dengan doktrin sofisme yang mempunyai implikasi yang dalam terhadap epistemologi Islam. Jika doktrin ini diterima oleh seorang Muslim maka struktrur ilmu pengetahuan dalam Islam dan bahkan agama Islam itu sendiri sudah tidak ada artinya apa-apa lagi, karena semua relatif. Beragama menjadi sia-sia belaka, karena tidak ada kebenaran yang pasti yang bisa dipegang.  Dengan berpegang pada doktrin ini maka ummat Islam tidak lagi masalah apakah mengikuti cara berfikir Islam atau Barat yang sekuler dan liberal.

c). Penyebaran paham Pluralisme Agama

Makna pluralisme agama paska fatwa MUI banyak diperdebatkan orang. Namun perlu diketahui bahwa menurut definisi resmi mereka pluralisme adalah teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). Ia terkadang juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya.  (no view is true, or that all view are equally true).[25]  Dalam aplikasinya terhadap agama maka pandangan ini berpendapat bahwa semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Paham pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu: aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global theology). Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung gerakan globalisasi, dan paham yang kedua inilah yang kini ujung tombak gerakan westernisasi.

 

Karena pluralisme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam respon yang timbul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung menjustifikasi. Akhirnya yang terjadi justru peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran modernisasi dan globalisasi. Caranya adalah dengan memaknai kembali konsep Ahlul Kitab dengan pendekatan Barat. Jika perlu makna itu di dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia mengusulkan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks  ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-Kitab itu didekonstruksi agar lebih kontekstual. Disitu ayat-ayat tentang Ahlul Kitab dijadikan alat justifikasi, meskipun terkadang dieksploitir tanpa memperhatikan konteks historis dan metodologi tafsir standar. Mindset seperti ini jelas sekali telah terhegomoni oleh pemikiran Barat.

Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat ekslusif ummat beragama, khususnya Islam. Artinya dengan paham ini ummat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah. Menurut John Hick, tokoh pluralisme agama, diantara prinsip pluralisme agama menyatakan bahwa agama lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama  (Other religions are equally valid ways to the same truth).

Di Indonesia faham ini disebar luaskan pertama-tama oleh Sekolah Tinggi Teologi Kristen, dan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Jadi, pengembangan Teologi Pluralis itu sendiri sebenarnya merupakan pelaksanaan dari teori Samuel Zwemmer untuk melemahkan umat Islam. Dengan teologi semacam itu, umat Islam sudah terjebak untuk tidak meyakini kebenaran agamanya.

Penyebatan paham pluralisme agama adalah salah satu agenda liberalisasi pemikiran. Pluralisme agama adalah inovasi teologis, yang dibawa oleh agamawan liberal, yaitu bentuk finalnya adalah pluralisme agama. Dalam kaitannya dengan gerakan Postmodernisme, maka jelaslah bahwa paham (Pluralisme agama) ini dianut oleh mereka yang menerima aliran-aliran filsafat postmodern, khususnya dekonstruksionisme  Kelompok agamawan Liberal dalam agama-agama ini, tidak lagi mengklaim bahwa agama mereka adalah sempurna dan absolute

  1. Penyebaran gagasan kawin antar agama

Dampak yang lebih kongkrit dan berbahaya dari paham pluralisme adalah diplokamirkannya praktek kawin beda agama. Untuk itu para cendekiawan Muslim mencoba merobah konsep ahlul kitab dalam al-Qur’an dan Hadith, dengan memasukkan semua agama sebagai ahlul kitab. Ini dimaksudkan untuk suatu kesimpulan bahwa semua agama adalah sama benarnya. Karena semua agama sama maka muncullah hukum baru yang membolehkan wanita Muslim kawin dengan laki-laki Kristen. Masalah perkawinan beda agama ini tercantum dalam “Universal Declaration of Human Right” pasal 16 ayat 1. Pasal itu berbunyi: “Pria-dan wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan, atau agama, memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.”

Sebenarnya pasal ini telah ditolak oleh ummat Islm melalui Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dalam Memorandum tersebut ditekankan perlunya “kesamaan agama” dalam perkawinan bagi muslimah . Ditegaskan pula: “Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesamaan agama bagi setiap muslimat.” Jika dilacak lebih jauh maka penerimaan paham pluralisme agama berarti penerimaan agama lain sebagai sama benarnya dengan Islam. Malangnya, gagasan ini mendapat sambutan yang positif dari sekolompok cendekiawan Muslim yang didukung oleh universtias Paramadina. Buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina adalah hasil dari pemikiran pluralisme agama yang disebarkan Barat. Islam mengakui adanya pluralitas agama (keberagaman agama) tapi menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama).[26]

  1. Mendekonstruksi Syariah

Salah satu cara agar Islam dapat difahami sesuai dengan pemikiran Barat, khususnya doktrin humanisme adalah dengan mendekonstruksi syariah. Dan ini dilakukan dengan merubah cara menafsirkan teks keagamaan. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa diantara saran-saran Cheryl Bernard yang sangat taktis untuk proyek liberalisasi pemikiran keagamaan dalam Islam adalah a) menghancurkan monopoli fundamentalis dan tradisionalis dalam mendifinisikan, menjelaskan dan menafsirkan Islam b)  Menantang dan mengekspos ketidak akuratan pandangan mereka dalam soal penafsiran Islam.

Diantara strategi merubah penafsiran itu adalah dengan : a) Menekankan kontekstualisasi Ijtihad (dokonstruksi Syariah) b) Menekankan komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan c) Mengembangkan paham pluralisme sosial dan pluralisme agama.[27]

Banyak cara untuk menekankan kontekstualisasi ijtihad. Diantaranya adalah dengan meletakkan al-Qur’an sebagai respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu, sehingga sifatnya kontekstual. Alasannya, al-Qur’an tidak turun di ruang yang hampa, ia dipengaruhi oleh budaya ketika ia turun. Bahkan Nasr Hamid menyatakan bahwa al-Qur’an itu sendiri merupakan produk budaya.  Sekilas ini benar, tapi konsekuensi logisnya al-Qur’an menjadi tidak universal. Ia turun dalam situasi sosial budaya Arab dan zaman sekarang tidak dapat difahami seperti ketika ia diturunkan. Dari argumentasi ini kelompok liberal dapat membawa ayat-ayat secara kontekstual. Dalil usuliyah yang berbunyi al-Ibratu bi umumillafz, la bi khususi al-sabab (Perintah itu karena adanya kata-kata umum dan bukan karena sebab khusus) dibalik menjadi al-Ibratu bi bi khususi al-sabab la umumillafz (Perintah itu karena adanya sebab khusus dan bukan karena kata-kata umum). Maksud dari sebab khusus adalah konteks budaya. Jadi perintah dan  larangan dalam al-Qur’an itu harus dipahami dalam kontek budaya ketika ia diturunkan. Padahal, larangan meminum khamr, memakan daging babi, berjudi dan berzina tidak berdasarkan kontek budaya. Pembagian warisan laki-laki dua kali lipat perempuan juga demikian. Dengan merubah orientasi hukum secara kontekstual maka banyak sekali hukum yang dedekonstruksi.

Selain itu dekonstruksi syariah dilakukan dengan mempersoalkan maslahah. Argumentasinya begini : karena  tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk menciptakan maslahah kepada ummat manusia maka maqasid syariah itu lebih utama daripada Syariah. Menurut kelompok liberal, setiap tindakan yang mengandung maslahah itu pasti mengandung syariah. Padahal yang benar adalah bahwa setiap hukum syariah itu mengandung maslahah. Disini yang dibidik kaum liberal adalah makna maslalah, sebab ia dapat dibawa kepada konteks sosial budaya dan akhirnya dibawa kepada doktrin humanisme. Targetnya adalah membawa hukum Islam agar sejalan dengan doktrin-doktrin kebudayaan Barat yang melulu berdasarkan prinsip humanisme.

Selain meletakkan ayat-ayat secara kontekstual dan menekankan maslahah daripada syariah, kaum liberal mengkaitkan ijtihad para ulama dalam bidang hukum dengan kondisi sosial budaya ketika ijtihad itu dihasilkan. Oleh sebab itu pemikiran ulama itu relatif karena terikat oleh ruang dan waktu. Lagi-lagi relativisme digunakan disini. Dengan cara berfikir seperti ini hasil pemikiran ulama dimasa lalu yang sangat berharga itu dianggap tidak relevan lagi zaman sekarang. Padahal semua ilmu pengetahuan didunia ini menghargai pemikiran pemikir masa lalu. Tanpa pemikiran ilmuwan dimasa lalu ilmu tidak akan berkembang. Tapi mengapa semangat untuk menafikan otoritas ilmuwan Islam dimasa lalu begitu besar.

Dengan menafikan otoritas ulama banyak hal yang dapat mereka lakukan. Ijtihad para ulama yang telah menentukan mana ayat muhkamat dan mana yang mutasyabihat juga ikut dinafikan. Makna yang sudah pasti dalam al-Qur’an itu dicari konteksnya akhirnya menjadi ambigu, sedangkan ayat-ayat yang ambigu yang sejalan dengan paham liberal dijadikan muhkamat.

  1. Penyebaran faham Feminisme dan Gender.

Gerakan feminisme dan Gender berasal dari pandangan hidup Barat atau muncul dari kondisi sosial budaya masyarakat Barat. Inti gerakan ini adalah untuk merubah pandangan dan keyakinan masyarakat Timur maupun Barat, bahwa perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan itu ditentukan oleh kondisi sosial budaya. Oleh sebab itu konstruk gender yang sedemikian itu dapat dirubah melalui perubahan konsepnya di masyarakat. Maka dari itu Wilson mendefinisikan Gender sebagai “suatu dasar untuk menentukan pembeadaan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.”[28] Gerakan gender tidak mempersoalkan perbedaan identitas laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis atau jenis kelamin, tapi mengkaji aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya.[29]

Meskipun demikian, gerakan yang berasal dari doktrin equality (persamaan) dalam segala hal di masyarakat pada akhirnya semakin menampakkan ciri-ciri budaya Baratnya dari pada unsur kemanusiaannnya. Salah satu teori femenisme (Feminsme Radikal) misalnya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam soal hak sosial dan juga seksual. Artinya kepuasan seksual dapat juga diperoleh dari sesama perempuan. Dan oleh karena itu lesbianisme dan homoseksualisme dapat diberi hak hidup. Implikasinya, perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki, dalam soal kebutuhan materi tapi juga dalam soal kebutuhan seksual. Akibat terpengaruh oleh ide-ide ini seorang Muslimah dari Canada bernama Irsyad Manji di datangkan ke Indonesia untuk menyebarkan faham ini. Demikian pula buku-buku Aminah Wadud, Fatimah Mernissi, Binti Syati’ dan sebagainya banyak dierjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

  1. g) Disseminasi paham dan kepercayaan masyarakat Barat yang terdiri dari prinsip-prinsip kebebasan (liberalisme), persamaan, individualisme, demokrasi dan lain-lain. Paham dan kepercayaan ini di adopsi secara amatiran (baca sesuka hati) tanpa proses epistemologi yang jelas kedalam alam pikiran keagamaan Islam. Hasil dari usaha ini sudah tentu kerancuan pemikiran dan ketidakjelasan struktur konsepnya.

III. Sikap Muslim

Tantangan ini perlu disikapi dengan kritis dan direspon secara akademis. Sebab tantangan ini adalah bagian dari apa yang selama ini dikenal di dunia Islam dengan ghazwul fikri, perang pemikiran.  Media untuk itu sudah tentu tidak berupa senjata fisik, tapi lebih berupa kerja-kerja intelektual.  Pemikiran biasanya disebar luaskan melalui berbagai media, baik media elektronik, media masa, seminar-seminar, workshop-workshop, bahkan kini telah masuk kedalam bangku-bangku kuliah di perguruan tinggi Islam.  Selain itu, mulut para cendekiawan Muslim juga menjadi senjata yang sangat ampuh untuk peperangan ini, karena dengan melalui mereka ide-ide itu akan diterima masyarakat sebagai pemikiran baru dalam Islam atau pembaharuan pemikiran.  Padahal,  seperti yang akan dibuktikan dalam makalah ini, pemikiran liberalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama tidak berasal dari Islam atau khazanah intelektual Islam.  Akar tantangan pemikiran ini adalah gabungan pemikiran orientalis, missionaries dan politik kolonialis.  Jadi,  program liberalisasi pemikiran kegamaan Islam saat ini sebenarnya ditunggangi oleh program liberalisasi Negara-negara Barat yang ternyata berkaitan dengan gerakan liberalisasi bidang ekonomi,  demokratisasi masyarakat Muslim, penyebaran doktrin persamaan dan sebagainya.

Istilah ghazwul fikri atau “perang pemikiran” sebenarnya hanyalah ekspresi kasar dari perbedaan pemikiran.       Perbedaan pemikiran memiliki spektrum yang sangat luas. Perbedaan pemikiran yang terjadi antara dua atau lebih bangsa atau peradaban terjadi  disebabkan oleh perbedaan cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Hal ini dipengaruhi oleh kultur, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain. Perbedaan atau gesekan antara satu peradaban dan worldview inilah yang disebut dengan Ghazwul fikri yang disekenarionkan dan diteorikan Samuel P Huntington menjadi “clash of civilization” (benturan peradaban). Perbedaan ini pada tingkat kehidupan sosial menyebabkan konflik, clash atau dalam bahasa Peter Berger, collision of consciousness (tabrakan persepsi). Pada tingkat individu, mengakibatkan terjadinya pergolakan pemikiran dalam diri seseroang dan pada dataran konsep, mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan (confusion) konseptual. Perang pemikiran pada tingkat inidividu inilah yang kini dirasakan ummat Islam Indonesia. Jadi perang pemikiran dalam skala besar saat ini terjadi antara peradaban Islam dan kebudayaan Barat atau pandangan hidup (worldview) Islam dan Barat.

Meskipun gambaran tentang ghazwul fikri ataupun clash of civilizaiton dianggap skenario yang tidak menyenangkan banyak pihak, namun ia mempunyai unsur-unsur kebenaran yang sulit ditolak. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa ummat manusia terkotak-kotak oleh bangsa-bangsa dan peradaban. Karena masing-masing peradaban memiliki karakter yang berbeda-beda, maka dalam pergaulan antar umat manusia di dunia, perbedaan itu mempengaruhi cara berfikir manusianya. Jika perbedaan cara berfikir tidak dapat di “dipertemukan” maka konflik atau perang pemikiran tidak dapat dielakkan. Selain itu, thesis Huntington merupakan deklarasi ataupun eksposisi Barat, bahwa Barat akan berhadapan dengan peradaban yang berbeda dan akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan.  Bagi orang Islam,  asumsi tentang clash justru berguna bagi pengakuan dan legitimasi akan adanya perbedaan antara peradaban Barat dan Islam dan independensi mereka dari Barat.[30]

Masalah pemikiran adalah masalah yang berkaitan dengan ilmu, dan masalah ilmu berkaitan dengan ibadah. Jika terjadi kerancuan pemikiran maka mengkounter atau meng-islah permikiran tersebut adalah termasuk dalam bab ibadah. Kerancuan pemikiran yang disebabkan oleh masuknya anasir peradaban diluar Islam bukan terjadi pada masa sekarang saja, tapi sejak periode awal peradaban Islam bangkit dan berkembang. Dalam situasi perang pemikiran seperti ini Islam sebagai agama yang salih likulli zaman wa makan telah memiliki mekanisme tersendiri untuk merespon. Namun perlu diingat bahwa perang pemikiran memerlukan rentang waktu yang lebih lama, ia bahkan boleh jadi berlangsung sepanjang satu generasi. Maka dari itu dalam perang pemikiran yang dipicu oleh globalisasi dan westernisasi ini ummat Islam tidak perlu membawanya kepada peperangan fisik. Apa yang harus dilakukan ummat Islam sebaiknya bersifat institusional dan secara praktis dapa diperrincikan sbb:

 

  1. Menanamkan kesadaran dikalangan ummat Islam dan sekaligus menunjukkan bukti-bukti ilmiyah bahwa paham-paham dari peradaban Barat yang berupa sekularisme, liberalisme, feminisme, pluralisme agama, relativisme dsb. yang saat ini sedang melanda dunia Islam tidak sesuai dan bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
  2. Memperluas tradisi dan materi bahth al-masa’il dari pemikiran para ulama di masa lalu dalam berbagai bidang, kepada pemikiran-pemikiran orientalis dan kalau mungkin pemikiran Barat secara umum yang menjadi tantangannya.
  3. Semua lembaga ummat Islam, baik pendidikan, dakwah, ekonomi dan lain-lain perlu memikirkan secara serius langkah kaderisasi ummat dalam bidang agama, agar 20 tahun yang akan datang di Indonesia nanti tidak akan ada lagi cendekiawan Muslim yang berfikir dalam framework Barat sehingga justru menghujat Islam dan ulama’nya.
  4. Badan-badan usaha ummat Islam dan juga pengusaha-pengusaha Muslim perlu ikut berjuang dengan hartanya untuk mendukung langkah-langkah yang diambil oleh lembaga pendidikan dan lembaga dakwah Islam.
  1. Kesimpulan

Akhirul kalam, perlu disadari bahwa pemikiran mempunyai peran penting dalam pembangunan peradaban Islam, sebab dalam Islam pemikiran selalu mendahului perilaku individu, ilmu selalu mendahului amal. Rusaknya amal disebabkan oleh rusaknya ilmu. Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong (al-Ghazzali). Amal tanpa ilmu lebih cenderung merusak daripada memperbaiki. Oleh sebab itu dalam menghadapi perang pemikiran prioritas utama perlu diberikan kepada peningkatan ilmu pengetahuan Muslim dalam berbagai bidang ilmu agama. Tradisi keilmuan yang dikembangkan dari pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Wallahul musta’an.

Siman,  20 Februari, 2008

* Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Tabligh dan Dakwah  Khusus, PP.Muhammadiyh, di Gedung LPMP, Semarang, 21 Februari 2009.

[1] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, 1985, hal. 26.

[2]  Ali Gharisah, Wajah Dunia Islam Kontemporer, Pustaka Al Kautsar, 1989, hal. 41

[3] Lihat dalam Maryam Jameela, Islam dan Orientalisme, 1994, hal 8-9, 51-52.

[4]  M. Watt, Muhammad at Mecca, Edinburgh University Press, Edinbrugh, 1960, 103; Lebih detail lagi tentang kajian orientalis terhadap al-Qur’an tulisan dapat dibaca kajian Adnin Armas berjudul Metodologi Orientalis Dalam Studi al-Qur’an. Gema Insani Press, 2004.

[5] Lihat Dr. Afaf, al-MushtashrikËn wa Mushkilat al-×aÌÉrah, Dar al-NahÌah al-‘Arabiyyah, Cairo, 1980, hal. 33-34.

[6] Hamid Fahmy Zarkasyi,  “Framework Kajian Orientalis dalam Kajian Filsafat”, Journal ISLAMIA, vol, 8, thn, 2, 2006.

[7] lihat Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, hal. 41.

[8] Lihat Edward Said, Orientalism, New York: Vintage, 1979, 1-3,5.

[9] Perlu dicatat dalam beberapa kasus nama-nama dan bidang kepakaran orientalis terkadang bertumpang tindih (overlap), ada yang menguasai lebih dari satu bidang.

[10] Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999, hal. 5)

[11] Cheryl Bernard adalah sosiologis yang pernah menulis novel-novel feminis yang memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya diambil dari pemahaman yang salah terhadap al-Qur’an, dan merupakan simbol pemaksanaan dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi asisten khusus Presiden George W Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu ia pada tahun 1980 bekerja dibawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada saat terjadi perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris menteri pertahanan.

 

[12] Cheryl Benard , Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, RAND, National Security Research Division, the RAND Corporation, 2003, hal 53.

[13] Lihat http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html

[14] Kajian serius tentang asal usul kritik terhadap al-Qur’an baca Adnin Armas, “Metodologi Orientalis Dalam Studi al-Qur’an”, dalam Jurnal ISLAMIA, vol. I, tahun ke 3.

[15] Mengenai latar belakang sejarah penulisan dan usaha bersama para orientalis Jerman menulis Geschichte des Qorans, lihat karya Lihat Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an : Kajian Kritis,  (Jakarta: Gema Insani Press, 2005, 49-50; 54-57, selanjutnya diringkas Metodologi Bibel.

[16] Lihat Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun 1928) hal. 253-56.

[17] Mingana menyatakan: “The time has surely come to subject the text of the Kur’Én to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian Scriptures.” Lihat Alphonse Mingana, “Syiriac Influence on the Style of the Kur’Én,” Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927.

[18] Arthur Jeffery, The Qur’Én as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952), hal. 94-95.

[19] Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur’Én TextThe Moslem World 25 (1935), hal. 4.

[20] Adnin Armas, “Metodologi Bibel”.

[21] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (FKBA, Yogyakarta, 2001)

[22] Sumanto al-Qurtubi, “Membongkar Teks Ambigu” dalam Ijtihad Islam Liberal, hal. 17.

[23] Lihat Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an : Kajian Kritis  (Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

[24]  Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, 1996,  s.v. relativism

[25] Simon Blackburn,  Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, Oxford, lihat “Pluralism”.

 [26] Untuk lebih jelas tentang kerancuan paham Pluralisme agama ini baca majalah ISLAMIA, edisi 3, September-November, 2004.

[27] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (terj) 1999: hal. xxi

[28] H.T.Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, EJ.Brill, 1989, hal. 2.

[29] Lindsey, Gender Roles: A Sociologixal Perspective, New Jersey, Prientice Hall, hal. 2.

[30] Samuel P. HuntingtonIf Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam
http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d