Urgensi Ideologis Manhaj Tabligh
Salahsatu pemikiran ideologis Muhammadiyah yang sangat penting pada Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005 ialah,“Zhawahiral-Afkar al-Muhammadiyyah Abra Qarn min al-Zaman” (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad).
Diantara pernyataan pentingnya bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan mu’amalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan.
Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat “berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekedar “berjuang melawan musuh” (al-jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan format masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil society) yang demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah) sehingga menjadi masyarakat yang berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak “madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul dan utama (khaira ummah) yang memiliki penguasaan atas nilai-nilai kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berprilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas atau unggul dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam realasi-relasi yang menjungjung tinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan serta menjauhkan diri dari kerusakan (fasad fi al-‘ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
Selain itu, Muhammadiyah juga menyatakan pandangannya tentang kehidupan umat manusia masa ini yang sarat paradox. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan pencemaran lingkungan hidup dan eksploitasi alam yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, melahirkan sekularisasi kehidupan; pandangan anti-Tuhan dan serba dikotomik. Kehidupan modern melahirkan antitesis post-modern dengan laku hidup serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan membawa implikasi pada kebebasan yang melampau batas dan egoisme yang serba liberal, destruktif terhadap relasi-harmoni antar manusia.
Secara sistemik dan sistematis, masyarakat terjebak pada egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi justeru melahirkan sikap ekstrimisme baru, fanatisme agama tak terkendali, primordialisme etnik, dan kedaerahan semakin mengokohkan sekat kehidupan antar sesama. Neoliberalisme dan kapitalisme global hanya berpihak kepada kaum borjuis dan semakin menistakan hak-hak kaum dlu’afa’ dan mustadl’afin.
Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (Zhawahiral-Afkar al-Muhammadiyyah li al-Qarni al-tsani), di antaranya menegaskan bahwa di tengah kecenderungan baru kesemarakan Islam di ruang publik terdapat masalah keummatan menyeruak ke permukaan seperti kemiskinan kepemimpinan, komoditisasi agama, konservatisme dan formalisasi agama yang mengabaikan kemajuan dan substansi, bias pandangan dalam memaknai kemajemukan, dan belum terciptanya relasi sosial yang berkeadilan gender.
Pada bagian lain mengenai isu-isu strategis keummatan, Muhammadiyah menyoroti tentang kemajemukan agama, yang dalam skala tertentu seringkali dampak negatifnya mengemuka dan meningkatkan ketegangan antar umat beragama di Indonesia. Muhammadiyah berpandangan bahwa kemajemukan agama adalah realitas obyektif dalam kehidupan sosial keagamaan sebagai sunnatullah. Penolakan terhadap kemajemukan agama berdampak sikap yang tidak toleran, menafikan eksistensi pihak lain sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat dan masyarakat. Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme, dan relatifisme. Karena itu, umat Islam diajak untuk memahami kemajemukan agama dan keberagamaan dengan mengembangkan tradisi toleransi dan ko-eksistensi (hidup berdampingan secara damai) dengan tetap meyakini kebenaran agamanya masing-masing.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Muhammadiyah mencermati berbagai permasalahan aktual di berbagai ranah kehidupan sehingga perlu disampaikan beberapa isu strategis keummatan, kebangsaan dan kemanusiaan. Diantaranya ialah : maraknya fenomena takfiri dan stigmatisasi negatif seperti liberal, tuduhan sesat dan sejenisnya. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid perlu membendungnya dengan pendekatan dakwah yang terbuka, dialogis mencerahkan, serta membangun tradisi keberagamaan yang moderat (wasathiyah).
Terkait persoalan Sunni-Syi’ah, jika tidak dibendung sedini mungkin, kekerasan yang terjadi berpotensi meluas dan mengancam sendi-sendi persatuan umat dan bangsa Indonesia. Konflik Sunni-Syi’ah merupakan permasalahan yang kompleks yang tak terpisahkan dari kepentingan politik di Timur Tengah. Dalam konteks ini Muhammadiyah menyerukan untuk memperkokoh dialog guna saling memahami persamaan dan perbedaan.
Muhammadiyah menegaskan kembali pandangannya bahwa Islam adalah jalan hidup (way of life) dan filosofi hidup, bukan sekedar gaya hidup (lifestyle); masalah meningkatkan daya saing umat; membangun budaya hidup bersih dan sehat, setidaknya dengan implementasi operasional Teologi Lingkungan dan Fikih Air yang telah dirumuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid. Langkah berikutnya ialah penguatan keluarga dan komunitas produktif untuk membangun prilaku hidup dan peradaban bersih. Tak kalah pentingnya juga permasalahan persatuan kaum muslimin secara global melalui penyatuan kalender Islam interknasional.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Muktamar Muhammadiyah ke-47 telah melahirkan keputusan penting yakni, Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah. Keputusan ini menegaskan komitmen Muhammadiyah untuk terus berjuang menjadikan Indonesia sebagai Negara Pancasila yang maju, adil, makmur, bermartabat dan berdaulat dalam lindungan Allah SWT.
Isu strategis kebangsaan diantaranya: pentingnya afirmasi terhadap prilaku keberagamaan yang toleran dan sikap terbuka bekerjasama dalam keragaman untuk mewududkan kebaikan bersama; pelayanan dan pemberdayaan kelompok difabel dan kelompok rentan lainnya; mewudukan masyarakat yang tanggap dan tangguh terhadap bencana; solusi alternatif untuk mengatasi krisis air dan energi; mencermati dan mengantisipasi bonus demografis pada tahun 2035; membangun budaya ilmu dan masyarakat yang berilmu; urgensi jihad konstitusi; perlawanan terhadap korupsi; pengendalian narkotika, psikotrofika dan zat adiktif.
Isu strategis kamanusiaan universal yang digemakan Muhammadiyah ialah: adaptasi dan mitigasi bencana; perlindungan kelompok minoritas; berbagai ancaman terhadap eksistensi manusia di bumi; pemanfaatan teknologi komunikasi; solusi atas masalah pengungsi yang sebagian besarnya merupakan umat Islam; perdagangan manusia dan perlindungan buruh migran.
Memperhatikan serangkaian pemikiran ideologis di atas, di luar pendekatan sosio-antropologis yang sangat kaya, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2015-2020 perlu membuat landasan ideologis normatif yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah dalam memotret berbagai pokok-pokok permasalahan mendasar, isu-isu strategis keummatan, kebangsaan dan kemanusiaan universal dan berbagai pemikiran cemerlang lainnya yang berkembang di Persyarikatan dan telah di¬tanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sejumlah masalah-masalah pokok dalam perspektif al-Qur’an dan Sunnah tersebut dinamakan sebagai “Manhaj Tabligh” yang diharapkan dapat menjadi acuan normatif dan neraca bersama di internal muballigh Muhammadiyah dalam merespon berbagai isu kekinian dan fenomena keberagamaan yang semakin kompleks. Manhaj Tabligh ini menjadi bagian yang sangat penting dalam system gerakan, yakni berkaitan dengan aspek-aspek nilai dan konsep mendasar dalam gerakan tabligh Muhammadiyah.