Delapan Kaidah Dakwah dan Tabligh

Setiap Muslim diwajibkan baginya untuk menyampaikan pesan dari Allah SWT karena hukum berdakwah adalah fardhu ‘ain. Baik bagi Ustadz, Kyai, pejabat atau orang dewasa, jika ia mengetahui pesan Allah SWT dan Rasul-Nya maka ia memiliki kewajiban untuk menyampaikannya. Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Sampaikan dariku walau satu ayat” – (HR Bukhari)

Potongan hadits di atas merupakan dalil yang sangat jelas akan wajibnya menyampaikan pesan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam hadits tersebut terdapat fi’il amr, ballighu, yang dalam kaidah ushul fikih suatu kata fi’il amr atau kata perintah bermakna kewajiban. Kata walau dalam penggalan hadits ini bermakna bahwa kita tidak punya alas an untuk menolak perintah bertabligh seperti alasan belum banyak ilmu, belum khatam Al-Qur’an dan sebagainya. Justru hadits ini memerintahkan kita untuk segera menyampaikan apa yang kita tahu mengenai Islam walaupun hanya satu ayat.

Berdakwah memiliki tujuan agar mad’u berislam secara kaffah sehingga terhindar dari api neraka. Berdakwah dan bertabligh tidaklah harus berskala besar. Minimal adalah untuk diri kita sendiri lalu untuk orang-orang terdekat kita seperti keluarga, saudara maupun kerabat. Allah SWT berfirman dalam surat At-tahrim ayat 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Dalam berdakwah tentu ada kaidah atau tata cara yang dianjurkan untuk diterapkan agar pesan dakwah tersampaikan dengan baik. Setidaknya ada delapan kaidah penting yang bias kita pahami dan terapkan agar dakwah kita mencerahkan, menggerakkan dan menggembirakan. Delapan kaidah ini merupakan petunjuk dari Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.

  1. Keteladanan

Kita sering mendengar pernyataan yang mengatakan bahwa satu contoh lebih baik dari seribu perkataan. Dalam berdakwah pun demikian, sebelum berdakwah hendaknya kita memberi teladan dan contoh yang baik kepada masyarakat. Perkataan dari muballigh tanpa contoh keteladanan darinya tentu akan bernilai rendah. Terlebih untuk anak-anak yang cenderung belajar dari mengamati perilaku orang tua. Jika anak-anak diperintahkan untuk shalat lima waktu namun tidak ada contoh dari orang tuanya maka anak tersebut akan sulit untuk melaksanakannya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 44:

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”

  1. Mengikat hati sebelum menjelaskan

Berikanlah kesan pertama yang baik bagi masyarakat. Jika muballigh memiliki perilaku yang tidak baik dan perkataan yang tidak enak didengar maka hanya sekedar datang ke masyarakat pun mereka akan menjauh. Allah SWT berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 159 :

” Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”

Sebelum menjelaskan tentang Islam hendaknya kita mengikatkan hati kita dengan masyarakat dengan cara berlemah lembut, tidak berlaku keras dan tidak kasar kepada mereka. Kita harus sabar menuntun mereka. Ketika di lingkungan ada perilaku yang tidak sesuai, kita maafkan dan memohon ampun untuknya serta doakan agar mendapatkan hidayah.

  1. Mengenalkan sebelum memberi beban

 Sebelum kita memberi beban tertentu berupa kewajiban atau larangan hendaknya kita mengenalkannya terlebih dahulu. Hal yang paling pertama adalah mengenalkan tentang Allah SWT. Tentang keesaanNya, kekuasaanNya dan sebagainya. Contoh lainnya adalah tentang perintah mengenakan hijab bagi perempuan. Sebelum memerintahkan mereka untuk berhijab, hendaknya kita memperkenalkan terlebih dahulu ap aitu hijab, bagaimana cara memakainya serta apa hikmah perintah berhijab.

  1. Bertahap dalam memberi beban

Allah SWT mengharamkan meminum khamr secara bertahap melalui sejumlah ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur. Mulai dari larangan mendekati shalat saat mabuk sampai khamr benar-benar diharamkan sepenuhnya. Begitu pula bagi kita, hendaknya dalam memerintahkan sesuatu atau melarang disampaikan secara bertahap. Kita amati sampai ketika masyarakat sudah siap menerimanya baru kita menyampaikan perintah kewajiban ataupun larangan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isro ayat 106 :

Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”

  1. Memudahkan dan tidak menyulitkan

Berikanlah kesan kepada masyarakat bahwa syariat Islam tidaklah menakutkan dan mengerikan. Dalam ajaran Islam kita mengenal istilah rukhshoh atau kemudahan. Saat dalam perjalanan jauh kita dibolehkan menggabung shalat atau meringkasnya. Saat keadaan sakit kita dibolehkan untuk berbuka puasa atau shalat dengan cara duduk. Saat hujan kita diperbolehkan shalat di rumah dan atau menggabungnya saat shalat di masjid. Itulah bukti-bukti bahwa syariat Islam sebenarnya memudahkan. Begitupun saat berdakwah, hendaknya jangan menyulitkan masyarakat yang menyebabkan mereka lari dari ajaran Islam yang mulia. Rasulullah SAW bersabda :

“Permudahlah, jangan dipersulit,, berilah kabar gembira,jangan ditakut-takuti. .” – (HR Bukhary dan Muslim)

  1. Menyampaikan yang pokok sebelum yang furu

Sebelum menyampaikan hokum Islam yang bersifat rinci, hendaknya kita terlebih dahulu menyampaikan pokok ajaran Islam seperti tentang ketauhidan Allah, rukun Iman dan rukun Islam. Menjelaskan furu sebelum masalah pokok berpotensi membingungkan masyarakat atau menyebabkan pelaksanaan ibadah mereka berjalan tanpa keimanan yang mantap. Kaidah ini pernah dijelaskan Rasulullah SAW saat menasehati Muadz Bin Jabal RA ketika hendak berdakwah kepada kaum Ahlul Kitab. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Jika engkau menemui mereka, maka ajaklah mereka untuk menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mematuhimu dalam hal tersebut, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima kali sehari semalam. Bila mereka mematuhimu dalam hal tersebut maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka atas zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka mematuhimu dalam hal tersebut, maka jangan sekali-kali engkau mengambil harta mereka yang paling baik. Berhati-hatilah menyangkut doa orang yang teraniaya, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah,”.

  1. Besarkan hati mereka sebelum memberi ancaman

Sebelum memberi kabar ancaman hendaknya kita memastikan apakah masyarakat telah besar hatinya dan siap untuk mendengar kabar tersebut. Jangan sampai kita memberi ancaman sebelum menyampaikan ketauhidan Allah SWT, kekuasaan dan kasih sayangNya. Untuk itu, bagi seorang muballigh ketika hendak berceramah di suatu tempat yang bukan wilayahnya hendaknya mengenali keadaan masyarakat dengan cara bertanya kepada panitia supaya apa yang akan disampaikan muballigh sesuai dengan keadaan masyarakat.

  1. Mendidik Mad’uw dan Tidak membeberkan kesalahannya

Seorang muballigh hendaknya bersabar dalam menuntun audience dakwahnya. Jika salah seorang audience dakwahnya berbuat suatu kesalahan, hendaknya memaafkan dia seraya berdoa untuk kebaikannya serta mengharap diberikan hidayah. Muballigh itu mendidik mad’uw serta tidak membeberkan kesalahan atau kemaksiatan jama’ah. Metode ini pernah diterapkan oleh Rasulullah SAW yang termaktub dalam hadits :

Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!” Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, “Diam kamu! Diam!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah.” Pemuda itu pun mendekat lalu duduk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” sahut pemuda itu. “Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai.” Lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” pemuda itu kembali menjawab. “Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai.” “Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” “Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.” “Relakah engkau jika bibi – dari jalur bapakmu – dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” “Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.” “Relakah engkau jika bibi – dari jalur ibumu – dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” “Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”

Cara yang dilakukan Rasulullah SAW cukup efektif karena setelah itu pemuda tersebut tidak lagi tertarik untuk berzina.

Sumber : Tabligh.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *