Etika Bermedia Sosial Menurut Islam: Antara Dakwah dan Dosa Digital
Etika Bermedia Sosial Menurut Islam: Antara Dakwah dan Dosa Digital
Oleh Syahroni Nur Wachid
Kabartabligh.com – Media sosial telah menjadi ruang publik baru yang sangat berpengaruh dalam kehidupan umat Islam. Dakwah tidak lagi terbatas di mimbar masjid, majelis taklim, atau ruang kelas, tetapi telah berpindah ke layar gawai: WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok, X, dan berbagai platform digital lainnya. Di satu sisi, media sosial membuka peluang dakwah yang sangat luas dan cepat. Namun di sisi lain, ia juga menyimpan potensi besar terjadinya dosa digital yang terus mengalir, bahkan setelah pelakunya lupa atau meninggal dunia.
Fenomena hoaks keagamaan, ujaran kebencian atas nama agama, potongan ceramah tanpa konteks, hingga saling menyesatkan di kolom komentar menjadi bukti bahwa media sosial membutuhkan panduan etika berbasis Al-Qur’an dan Sunnah. Artikel ini membahas etika bermedia sosial menurut Islam dengan landasan dalil Al-Qur’an, Hadis, studi kasus hoaks keagamaan, konsep dosa jariyah digital, serta panduan praktis bagi dai dan aktivis dakwah.
Dalam Islam, setiap ucapan dan tulisan adalah amal yang akan dicatat dan dipertanggungjawabkan. Allah Ta‘ala berfirman:
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa status dosa dan pahala tidak berubah hanya karena medianya digital. Tulisan di media sosial, komentar, unggahan, dan siaran langsung tetap masuk dalam kategori qaul (perkataan) dan fi‘l (perbuatan).
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi prinsip utama etika bermedia sosial dalam Islam.
Ayat-Ayat Tematik Etika Bermedia Sosial
1. Verifikasi Informasi (QS. Al-Hujurat: 6)
Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
Yā ayyuhallażīna āmanū in jā`akum fāsiqum binaba`in fa tabayyanū an tuṣībụ qaumam bijahālatin fa tuṣbiḥụ ‘alā mā fa’altum nādimīn
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Ayat ini menjadi landasan utama larangan menyebarkan hoaks, termasuk hoaks keagamaan. Dalam konteks media sosial, tabayyun berarti:
- Mengecek sumber
- Membaca isi lengkap
- Memastikan konteks
- Tidak tergesa-gesa membagikan
2. Menjaga Kehormatan dan Etika Bicara (QS. Al-Isra: 36)
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
wa lâ taqfu mâ laisa laka bihî ‘ilm, innas-sam‘a wal-bashara wal-fu’âda kullu ulâ’ika kâna ‘an-hu mas’ûlâ
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.
Ayat ini melarang berbicara, menulis, atau berkomentar tanpa ilmu. Banyak dosa digital lahir dari opini tanpa dasar ilmiah dan dalil.
3. Larangan Menyebar Keburukan (QS. An-Nur: 19)
اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ
innalladzîna yuḫibbûna an tasyî‘al-fâḫisyatu filladzîna âmanû lahum ‘adzâbun alîmun
“Sesungguhnya orang-orang yang senang tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih…”
Termasuk di dalamnya adalah menyebarkan aib, video memalukan, potongan ceramah yang menyesatkan, atau konflik internal umat.
Studi Kasus Hoaks Keagamaan di Media Sosial
Beberapa contoh hoaks keagamaan yang sering beredar:
- Hadis palsu tentang keutamaan hari tertentu tanpa sumber
- Potongan ceramah ulama yang dipotong konteksnya
- Klaim mimpi bertemu Rasulullah ﷺ dengan pesan tertentu
- Fatwa palsu atas nama ulama atau ormas Islam
- Isu akhir zaman tanpa dasar dalil yang sahih
Dampak hoaks keagamaan sangat serius:
- Merusak akidah
- Menyesatkan umat awam
- Memecah ukhuwah
- Menurunkan wibawa dakwah Islam
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta ketika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Hadis ini sangat relevan dengan budaya share tanpa baca di media sosial.
Konsep Dosa Jariyah Digital
Dalam Islam dikenal konsep amal jariyah, yaitu pahala yang terus mengalir meski pelakunya telah meninggal dunia. Sebaliknya, para ulama kontemporer menjelaskan adanya dosa jariyah, yaitu dosa yang terus mengalir akibat perbuatan yang dampaknya berkelanjutan.
Contoh dosa jariyah digital:
- Menyebarkan hoaks keagamaan
- Mengunggah konten provokatif
- Mengajarkan kesesatan
- Menormalisasi maksiat
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)
Konten digital yang terus dibagikan, disimpan, dan diputar ulang berpotensi menjadi dosa yang terus mengalir.
Media sosial dapat menjadi ladang dakwah yang besar jika digunakan dengan ilmu dan hikmah. Namun dakwah digital memiliki tantangan:
- Popularitas mengalahkan kebenaran
- Algoritma mendorong sensasi
- Dakwah menjadi ajang debat kusir
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menekankan bahwa dakwah harus berlandaskan ilmu, adab, dan maslahat umat, bukan sekadar viralitas.
Panduan Praktis: Checklist Dai di Media Sosial
Sebelum Posting:
- Apakah konten ini benar?
- Apakah ada dalil yang sahih?
- Apakah bermanfaat bagi umat?
- Apakah berpotensi menimbulkan fitnah?
Saat Posting:
- Gunakan bahasa santun
- Sertakan sumber rujukan
- Hindari provokasi
- Jaga niat dakwah
Setelah Posting:
- Siap menerima kritik dengan adab
- Koreksi jika ada kesalahan
- Jangan terpancing debat tidak ilmiah
Muhammadiyah memandang media sosial sebagai wasilah dakwah yang mubah dan strategis, namun harus dikelola dengan prinsip:
- Berbasis ilmu
- Berorientasi maslahat
- Menghindari mudarat
- Menjaga persatuan umat
Etika bermedia sosial dalam Islam bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban moral dan syar‘i. Setiap muslim, terlebih dai, harus menyadari bahwa media sosial dapat menjadi sumber pahala jariyah atau dosa jariyah. Dakwah digital harus berlandaskan ilmu, adab, dan tanggung jawab.
Ringkasan untuk Dai
- Media sosial adalah amanah
- Tabayyun adalah kewajiban
- Hindari dosa jariyah digital
- Dakwah harus berbasis ilmu dan akhlak

