Feminisme Modern dalam Timbangan Nilai-Nilai Islam

Kabartabligh.com – Perdebatan mengenai posisi dan peran perempuan terus berkembang, khususnya dalam konteks teori feminisme modern yang banyak menyentuh sektor publik dan domestik. Berbagai aliran feminisme liberal, radikal, sosialis hingga kultural berusaha merombak struktur patriarki yang selama ini dianggap merugikan kaum perempuan. Namun, seiring waktu, muncul kegelisahan dari dalam gerakan itu sendiri.
Banyak feminis mulai mengkritik gerakannya, menyebut bahwa upaya untuk menyetarakan perempuan dengan laki-laki melalui pengadopsian nilai-nilai maskulin justru merusak jati diri perempuan dan struktur sosial keluarga. Laporan menunjukkan bahwa angka perceraian meningkat, kemiskinan perempuan makin nyata, dan relasi keluarga menjadi rapuh. Di sinilah muncul titik balik, sebuah refleksi tentang arah gerakan perempuan di masa depan.
Ekofeminisme dan Spiritualitas
Pasca 1980-an, muncul aliran baru bernama ekofeminisme, yang menekankan kualitas feminin seperti kasih sayang, kepedulian, dan keseimbangan dalam membangun tatanan sosial dan lingkungan yang harmonis. Ekofeminis tidak lagi melihat laki-laki sebagai musuh, tetapi menyadari pentingnya peran perempuan sebagai pengasuh dan penjaga nilai kehidupan, baik di keluarga maupun di alam.
Ekofeminisme juga menggandeng spiritualitas, bukan sekadar aktivisme eksternal. Di sinilah muncul wacana “spiritualitas ekofeminis”, yang mengajak manusia untuk menyatu dengan alam dan sesama, menjauh dari egoisme yang merusak. Konsep Tuhan tidak hanya digambarkan sebagai “Bapa yang Agung”, tetapi juga sebagai “Ibu yang Pengasih”. Keseimbangan antara sifat jalal (keagungan) dan jamal (keindahan) menjadi fondasi penting.
Sumbangan Pemikiran Islam
Dalam Islam, konsep keseimbangan antara nilai maskulin dan feminin bukan hal asing. Ulama seperti Sachiko Murata dalam karyanya The Tao of Islam menjelaskan bahwa Allah memiliki sifat jamal (feminin) dan jalal (maskulin), dan penciptaan manusia pun bertujuan mencapai insan kamil, yakni manusia paripurna yang memadukan keduanya.
Islam tidak menafikan keberadaan struktur sosial yang hierarkis seperti kepala keluarga, tetapi tidak dalam konteks dominasi, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab. Ayat seperti “Ar-rijaalu qawwaamuuna ‘alan-nisaa” (QS. An-Nisa: 34) menggambarkan peran laki-laki sebagai pelindung, bukan penguasa absolut.
Sementara itu, feminisme modern cenderung menjadikan agama sebagai alat dekonstruksi. Teologi feminis misalnya, berupaya menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an agar sejalan dengan semangat kesetaraan mutlak. Namun, pendekatan ini seringkali mengabaikan esensi spiritual dan makna batiniah dari ayat-ayat tersebut.
Jalan Tengah dalam Islam
Islam menawarkan jalan tengah. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu jiwa yang sama (nafsin wahidah, QS. An-Nisa: 1), dan masing-masing memiliki potensi untuk mencapai derajat takwa yang sama di hadapan Allah. Keadilan dalam Islam bukan berarti kesamaan absolut, tetapi memberikan hak sesuai fitrah dan tanggung jawab.
Gerakan perempuan Muslim tidak harus menjiplak gerakan feminisme Barat. Islam sendiri memiliki nilai-nilai pembebasan, kesetaraan spiritual, dan keadilan sosial yang telah ada sejak masa Rasulullah ﷺ. Yang dibutuhkan hari ini bukan imitasi, tetapi internalisasi nilai-nilai Islam dalam perjuangan perempuan Muslim modern.
Ketika dunia feminisme kembali merefleksikan kegagalannya dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan damai, Islam justru menawarkan konsep keseimbangan yang sudah terbukti sejak dahulu. Perempuan tak harus menjadi “laki-laki kedua” untuk merasa berdaya. Justru dalam fitrahnya yang unik, perempuan mampu memberi kontribusi besar bagi peradaban.
Oleh: Dr. Ratna Megawangi