Implementasi Islam Sebagai “The Way of Life”

Tuntunan/Manhaj Tabligh Ke-3

Al-Hayat al-Thayyibah fi al-Islam :

IMPLEMENTASI ISLAM SEBAGAI “THE WAY OF LIFE”

 

  1. Islam Sebagai Pandangan, Metode dan Tujuan Hidup

Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak lain merupakan pandangan hidup (way of life) atau bagaimana cara hidup yang benar menurut Allah, Sang Maha Pencipta, terhadap manusia dan lingkungannya sebagai ciptaanNya. Atas dasar itulah barangkali Allah bertitah kepada manusia agar selalu menghadapkan (memperhatikan) dirinya kepada agama yang lurus (dienul qqoyyim) yang juga dating dari Allah SWT (Q.S. ar-Rum: 43) dan agama yang sesuai dengan konsep penciptaan (fitrah, blueprint) manusia (Q.S ar-Rum: 30)

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

 

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S ar-Rum: 30)

Sebab bila manusia sebagai ciptaan Allah SWT, hidupnya diatur dengan aturan, maka akan tercapai kehidupan yang baik.

Islam sebagai sumber dan jalan kebenaran yang berasal dari Allah SWT adalah pandangan hidup yang bukan saja diperuntukan bagi kesejahteraan kaum muslimin, melainkan juga bagi semua ummat manusia, rahmat bagi seluruh alam. Islam yang bersumber pada  kebenaran ilahiyah, baik yang terkandung dalam ayat-ayat al Quran dan Sunnah Rasul maupun dalam ayat-ayat kauniyah, adalah jalan, pedoman, dan sekaligus tujuan hidup bagi setiap muslim dimanapun dan dizaman apapun. Islam adalah jalan purna, baik dalam makna penyempurna ajaran-ajaran Allah lewat nabi terdahulu (wahyu) maupun dalam kaitan dengan pandangan hidup manusia yang bersifat ra’yu. Dengan demikian, Islam adalah ajaran yang komplementer terhadap pandangan hidup lainnya.

Islam adalah nilai-nilai dasar dan norma-norma serta pengetahuan atau pemberitahuan Ilahi yang terkandung dalam al- Qu’ran dan diperjelas dengan sunah Rasul. Dalam kaitan tersebut, maka bagi stiap muslim, Islam adalah suatu kebenaran yng mutlak sifatnya, universal dan eteral, serta tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Dalam arti tersebut, Islam mengatur berbagai hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dengsan sesame, maupun dengan alam lingkungannya. Sebaai suatu system yang mengatur hubungan manusia tersebut, Islam terdiri atas komponen-komponen aqidah (tata keimanan), syari’ah (tata kaidah hokum) berupa ibadah maupun mua’malah, dan akhlak (tata kaidah moral), yang satu berkaitan erat dengan yang lain. Sebagai agama yang mengatur pelbagai kehidupan dan penghidupan manusia. Nilai-nilai dasar dan norma-norma asasi Islam memberi patokan-patokan pokok mengenai segala aspek kehidupan manusia. Dengan demikian ssistem-sistem social, politik, ekonomi, pendidikan, dan system budaya lain yang islami adalah system-sistem  yang berdasar syari’ah ( ibadah  dan muamalah) dan akhlak Islam, serta berakarkan akidah Islam.

Mengingat pengertian Islam sebagai rahmat lil ‘alamin di atas, maka tujuan hidup, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok warga masyarakat, warga Negara da warga dunia, adalah merealisasikan kebenaran ajaran Allah SWT dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat di seluruh aspek kehidupan. Bagi setiap muslim, tujuan dalam aspek apapum tidak akan terlepas dari tujuan umum hidupnya yang ditimba dar pedoman hidupnya, yaitu al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Secara individual, dengan hidup secara Isam, maka seseorang akan memiliki pribadi yang istiqomah :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan : “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Fushilat: 30)

Mereka mampu melaksanakan kebaikan (al birr) (Q.S. al Baqarah: 177). Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat akan mampu menciptakan keluarga sakinah dan akhirnya akan dapat membentuk masyarakat marhamah. Dengan ungkapan lain Islam sebagai tujuan hidup akan mengantar pemeluknya untuk:

  1. Terwujudnya pribadi yang diridhai Allah, yaitu pribadi muslim yang paripurna, yang penuh dengan moralitas iman, Islam, taqwa, dan ihsan (Q.S. al-Baqarah 177).

ليْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.

  1. Terwujudnya rumah tangga yang diridhai Allah SWT yaitu rumah tangga yang sakinah yang diliputi mawaddah serta rahmah anugerah Ilahi Rabbi (Q.S. ar-Rum: 21)

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

  1. Terwujudnya qaryah mubarakah (lingkungan kampong, kampus, komplek kerja, dll) yang marhamah, yaitu qaryah yang kondusif dan layak menerima berkah Allah SWT dari berbagai arah, disebabkan warganya beriman dan bertaqa kepada Allah SWT (Q.S. al A’raf : 96)

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

  1. Terwujudnya negeri yang diridhai Allah SWT, yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Q.S. Saba’: 15)

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

“Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”.

  1. Terwujudnya peradaban dunia yang diridhai Allah, yaitu dunia yang hasanah, yang berkesinambungan dengan akhirat yang hasanah pula (Q.S. al-Baqarah 201, Q.S. al-Qashash:77, QS.al-A’raf 156)

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.(Q.S. al-Baqarah 201)

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.( Q.S. al-Qashash:77)

  1. Islam Sebagai Sumber Konsep

Pada bagian mukadimah telah dikemukakan, bahwa dakwah dalam satu aspeknya ialah upaya untuk merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alaminfungsi kerahamatan dakwah. Ada dua hal pokok yang berkaitan dengan tersebut, yaitu: (a) upaya ‘menerjemahkan’ nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yang operasional, dan (b) upaya merealisasikan (implementasi) konsep-konsep tersebut dalam masyarakat. Dengan demikian, upaya menunaikan fungsi kerahmatan dakwah berarti juga upaya kita untuk membuktikan bahwa Islam benar-benar mampu untuk menjawab persoalan zaman, atau dengan ungkapan lain, membuktikan Islam sebagai agama yang “kontekstual”. Kontekstualitas di sini bukan berarti “mengadaptasikan” (menyesuaikan) Islam dengan kondisi dan persoalan masyarakat yang ada, melainkan “mengoperasionalkan” Islam menghadapi kondisi budaya yang berkembang.

Uraian di atas sebenarnya mengisyaratkan kepada kita bahwa dalam satu sisinya, Islam adalah sumber konsep bagi kehidupan manusia. Islam sebagai sumber konsep tersebut selama ini lebih sering diartikan dalam konteks individual saja, dan kalau pun menyangkut konteks kemasyarakatan biasanya hanya yang menyangkut aspek ubudiyah saja. Isyarat Allah yang terkandung dalam ke-rahmatan lil ‘alamin-an Islam di atas memang sudah menyadarkan kita, bahwa ajaran Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia (spiritual maupun non-spiritual seperti: sosial, ekonomi, politik, budaya, dsb) pada berbagai peringkat kediriannya (individu, jamaah/masyarakat, bangsa, umat manusia). Kekurangan kita selama ini ialah, kesadaran dan keyakinan  tersebut tetap berhenti sebagai keyakinan saja, karena kita belum mampu merealisasikannya, terutama menghadapi perkembangan zaman yang selalu berubah.

Dengan demikian persoalan pokok kita ialah bagaimana menjadikan Islam sebagai sumber konsep? Dengan cara bagaimana kita mampu menjabarkan nilai-nilai normatif Islami yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tersebut menjadi konsep-konsep kehidupan yang operasional, yang dengan mudah dapat dilaksanakan.

Seperti telah dikemukakan di depan, upaya umat Islam dalam menjawab pertanyaan di atas adalah merupakan upaya yang akbar, yang melibatkan seluruh kemampuan umat, terutama para ulama dan cendekiawannya. Dakwah dalam kaitan ini berarti mencakup hal-hal yang bersifat normatif, konseptual, sampai hal-hal yang bersifat teknis, operasional. Uraian berikut tidak akan menjawab secara tuntas persoalan di atas, melainkan mengidentifikasi beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan Islam sebagai sumber konsep.

Dalam rangka operasionalisasi nilai-nilai normatif Islam dalam kehidupan, setidak-tidaknya dapat dilakukan beberapa model pendekatan. Model pendekatan ini antara lain berupa: (1) pengembangan pendekatan ijtima’i dan (2) merentang garis-istilahi antara terma qauliyah dengan terma kauniyah.

Pendekatan ijtima’i yang dimaksud ialah upaya menafsirkan (mengoperasionalkan) istilah qur’ani dari yang selama ini hanya bersifat individual menjadi yang bersifat jamak atau sosial. Istilah jamak di sini mengandung makna community (kelompok manusia dalam satuan geografis tertentu) maupun makna society (kelompok manusia dengan ciri/profesi tertentu).

Sedangkan yang dimaksud dengan merentang garis-istilahi antara terma qauliyah dengan terma kauniyah, ialah mencoba mencari titik temu (merentang benang merah) antara istilah atau terminologi qur’ani dengan istilah atau terminologi ilmu pengetahuan. Atau dengan ungkapan lain, menjabarkan terminologi qur’ani dengan bahasa ilmu pengetahuan. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka terbuka kesempatan lebih luas dan lebih mudah untuk mencoba menjabarkan konsep normatif tersebut dalam konsep teknis yang operasional. Hal ini dimungkinkan karena olah-konseptual memang merupakan bagian dari tradisi keilmuan, baik ilmu pengetahuan eksakta maupun sosial.

Sebagai contoh misalnya penafsiran istilah fakir atau miskin. Selama ini, kedua istilah qur’ani ini lebih sering ditafsirkan secara individual, yaitu si Fulan yang papa, yang tidak punya apa-apa, sementara penafsiran secara sosial (jamak), yang kemudian dikaitkan dengan istilah sosiologis, akan mempunyai gambaran yang lain. Miskin dan fakir secara sosial dapat berarti penduduk di daerah kumuh (makna komunitas) atau gelandangan (makna sosietas), atau buruh tani, petani gurem, nelayan, atau kelompok masyarakat yang terugikan baik ekonomis maupun sosial.

Dengan pergeseran penafsiran ini maka model pemecahan atau penyantunan yang dilakukan pun akan berbeda. Dalam makna sosial (jamak) secara otomtis akan menyangkut struktur masyarakat dan berbagai keterkaitan struktural lainnya. Sebagai konsekuensinya maka bagaimana umat akan merealisasikan perintah (peringtan) Allah dalam al-Ma’un misalnya, akan menjadi berbeda sama sekali dengan apa yang selama ini dilakukan.

Beberapa mujtahid dan pemikir besar Islam, memang telah memulai usaha di atas yang biasanya mengambil tema-tema yang besar. Namun, mengingat begitu luasnya kehidupan manusia, dan begitu lengkapnya ajaran Islam, rupanya usaha besar ini perlu lebih digalakkan lagi di kalangan para ulama dan cendekiawan Islam. Untuk kerja besar ini tidak harus dimulai dengan tema-tema besar, tetapi dapat dari hal-hal yang kecil, seperti halnya contoh-contoh di atas.

  1. Islam dan Keadilan Sosial

Di depan telah dikemukakan, bahwa tauhid merupakan sentral ajaran bagi semua aspek kehidupan muslim. Namun demikian, dalam kenyatannya masih ada sebagian umat yang belum memahami makna tauhid sebenarnya. Sebagai kelanjutan pemahaman yang tidak purna ini, akan melahirkan perilaku yang tidak tauhidi, yang pada gilirannya justru akan melahirkan berbagai kemandegan. Sering dikatakan bahwa keterbelakangan ekonomi, stagnasi intelektual, degenerasi sosial, dan pelbagai macam kejumudan lainnya yang diderita oleh masyarakat muslim, sesungguhnya berakar pada kemerosotan tauhid. Oleh karena itu, untuk melakukan restorasi dan rekonstruksi manusia Muslim, baik secara individual maupun kolektif, tauhid adalah masalah pertama dan terpenting untuk segera dipersegar dan diluruskan.

Suatu hal yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa dalam perilaku tauhidi, komitmen seorang muslim tidak saja terbatas pada hubungan vertikalnya dengan Tuhan, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah ini memberikan visi (pandangan) kepada kita untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Pada gilirannya, visi ini memberikan inspirasi pada kita untuk mengubah dunia di sekelilingnya agar sesuai dengan kehendak Allah, dan inilah misi manusia Muslim.

Misi tersebut menuntut serangkaian tindakan agar kehendak Allah tersebut terwujud menjadi kenyataan, dan misi ini merupakan bagian integral dari komitmen kita kepada Allah. Misi untuk mengubah dunia, menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan pelbagai nilai utama, dan memberantas kerusakan di muka bumi (fasad fil ardh), bukanlah sekedar suatu derifat, melainkan merupakan bagian integral dari komitmen manusia muslim kepada Allah. Gabungan manusia-manusia tauhid inilah yang kemudian membentuk suatu ummah. Dengan menegakkan kebenaran dan keadilan (amar ma’ruf) dan memberantas kejahatan (nahi munkar) sebagai dua ciri utamanya, umat tauhid menunjukkan sasaran dari gerakannya bukan pada bangsa atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan pada seluruh kemanusiaan itu sendiri, seperti difirmankan oleh Allah (QS. Ali Imran: 110).

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali Imran 110)

Dari uraian di atas diketahui bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk menegakkan suatu orde sosial yang adil dan etis. Al-Qur’an mengutuk ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, dan menyuruh kita untuk menegakkan suatu tatanan sosial yang etis dan egalitarian. Surat-surat al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad SAW sewaktu beliau masih berada di Makkah, mengecam keras dua macam masalah yaitu (a) politeisme atau kemajemukan dewa-dewa yang simtomatis dari masyarakat yang terpecah-belah, dan (b) disparitas sosio-ekonomi yang bersarang pada keterpecahbelahan masyarakat. Kedua hal ini merupakan dua sisi dari suatu mata uang. Al-Qur’an berulang kali menyerang disparitas ekonomi, justru masalah ini memang sangat sulit dipecahkan (QS. al-Ma’un: 1-7). Manusia tidak dilarang untuk mengumpulkan harta benda, akan tetapi penyalahgunaan kekyaan, yang menyebabkan manusia buta terhadap nilai-nilai luhur, dikecam keras oleh Allah (QS. Ali Imran: 14; Yunus: 23).

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan Agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Ma’un 1-7)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga). (Ali Imran 14)

Maka Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kedzaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kedzalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kedzalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Yunus 23)

Islam mengajarkan prinsip keadilan distributif (distributive justice), di mana sekelompok masyarakat tidak diperkenankan menjadi terlalu kaya, sementara kelompok lainnya menderita kemiskinan yang bertentangan dengan harkat kemanusiaan (QS. al-Hasyr: 7).

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya. (al-Hasyr 7)

Nilai keadilan yang terkandung dalam firman Allah ini merupakan suatu kebijakan ekonomi dalam ajaran Islam. Dalam nilai ini juga terkandung makna keadilan produktif (productive justice), oleh karena dalam sistem masyarakat yang makin berkembang hubungan produksi dan distribusi demikian pentingnya dalam menentukan corak ekonomi masyarakat. Dengan demikian, menjadi tanggung jawab manusia dan umat tauhid untuk selalu bekerja keras dan mencari upaya-upaya pemecahan untuk melaksanakan prinsip keadilan distributif tersebut.

Namun kita tidak boleh lupa bahwa keadilan sosial bukanlah tujuan akhir. Keadilan sosial itu sendiri, temasuk di dalamnya keadilan ekonomi, adalah jembatan untuk menuju suatu tujuan yang jauh lebih tinggi, yaitu kebahagiaan akhirat. Dengan visi tauhid, kita harus melihat konsekuensi-konsekuensi tindakannya, baik di dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan, maupun bidang kehidupan lainnya, dan mengarahkannya ke suatu tujuan yang menjadi dasar komitmennya pada Allah. Ini semua tidak mungkin akan bisa dicapai kecuali dengan jihad dalam arti badzlul juhdi (total endeavor), ke arah total dari seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran untuk mewujudkan kalimatullah biyal ‘ulya, yaitu terselenggaranya nilai-nilai yang diridhai oleh Allah SWT (QS. at-Taubah: 40).

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata pada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita. “Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah 40)

  1. Islam dan Kebudayaan

Kebudayaan adalah manifestasi dan perwujudan segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia merupakan perwujudan dari ide, pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dalam bentuk tindakan dan karya. Karena itu, kebudayaan adalah sesuatu yang spesifik manusiawi.

Islam adalah agama Allah, ia bersumber dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagai agama Islam merupakan sumber nilai, yang sebagaimana dikemukakan di depan, akan memberi warna dan corak kebudayaan Islam. Karena itu kebudayaan Islam atau lebih tepat kebudayaan Islami bukan kebudayaan yang diciptakan oleh orang Islam atau masyarakat Islam, tetapi kebudayaan yang bersumber dari ajaran Islam atau kebudayaan yang bersifat Islami, meskipun ia muncul dan timbul dari orang atau masyarakat yang non muslim. Artinya, suatu kebudayaan yang muncul di luar masyarakat Islam atau dicipta oleh orang di luar Islam, tetapi apabila dilihat dari kacamata Islam (al-Qur’an dan Sunnah) ia sesuai dengan pesan dan nilai-nilai Islam, ia dapat dikatakan sebagai kebudayaan Islam. Sebaliknya, meskipun kebudayaan itu muncul dari masyarakat Islam atau orang Islam, namun isinya berbeda bahkan bertentangan dengan pesan dan nilai-nilai Islam, ia bukanlah kebudayaan Islam. Dengan demikian, suatu kebudayaan dikatakan Islam atau tidak, tidak diukur apakah kebudayaan itu diciptakan/dimunculkan oleh orang atau masyarakat Islam atau non Islam, tetapi apakah kebudayaan itu sesuai dengan pesan-pesan atau nilai-nilai Islam atau tidak.

Atas dasar pengertian di atas, maka hakekat kebudayaan Islam adalah perwujudan pemikiran dan tindakan manusia dalam kedudukannya sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah Allah. Atau aktualisasi dari hablun minallah dan hablun minannas, atau aktualisasi peribadatan manusia kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.

Untuk mewujudkan kebudayaan yang demikian maka perlu dikembangkan pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, yang meliputi:

Pertama, bahwa hidup itu adalah untuk beribadah (QS. adz-Dzariyat: 56) dan melaksanakan fungsi kekhalifahan (QS. al-Baqarah: 30; al-Ahzab: 72; al-An’am: 165; Hud: 61).

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-Dzariyat 56)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (al-Baqarah 30)

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan meninggikan sebahagian atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-An’am 165)

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya)”. (Hud 61)

Atas dasar pandangan ini, maka ide, pemikiran, gagasan dan tindakan manusia harus diarahkan untuk beribadah dan melaksanakan fungsi kekhalifahan. Dan untuk ini manusia muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mewarnai kehidupan dunia ini dengan ajaran dan nilai-nilai Islami, guna mewujudkan rahmatan lil ‘alamin.

Kedua, bahwa manusia secara keseluruhan itu merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah) (QS. al-Baqarah: 213; al-Hujarat: 13).

Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al-Baqarah 213)

Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan mejadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujarat 13)

Bertolak dari dasar-dasar kemanusiaan yang diletakkan oleh al-Qur’an ini, maka harus ditumbuhkan dan dikembangkan nilai-nilai insani yang Islami yaitu persaudaraan (ukhuwah insaniyah), kerja sama (ta’awun), saling kenal-mengenal (ta’aruf), damai (ishlah), kasih sayang (rahmah), baik (ihsan), toleransi (tasamuh), dan pemaaf (afwun). Atas dasar nilai-nilai insani yang Islami di atas, maka dakwah Islam juga harus mengembangkan budaya persaudaraan, kerja sama, kenal-mengenal, perdamaian, kasih sayang, kebaikan, toleransi, keadilan, dan memaafkan kesalahan, sehingga dengan budaya yang demikian itu akan terwujud suatu masyarakat yang marhamah.

Ketiga, bahwa alam dengan segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. ar-Rahman: 5-13). Oleh sebab itu manusia harus memelihara alam (bumi dan lingkungannya) yang maha luas itu dengan baik (QS. Hud: 61; al-Baqarah: 11) karena sering terjadi, rusaknya lingkungan alam semesta itu akibat ulah manusia itu sendiri (QS. ar-Rum: 41).

Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya. Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (ar-Rahman 5-13)

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya)”. (Hud 61)

Dan bila dikatakan pada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (al-Baqarah 11)

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (ar-Rum 41)

Manusia harus memelihara alam, bahkan harus mengolah (memakmurkannya), sehingga alam ini dapat menjadi arena beramal dan arena melaksanakan fungsi kekhalifahan serta sebagai suatu nikmat yang harus selalu disyukuri. Pengolahan alam (termasuk bumi dengan segala isinya) harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga keselarasan alam sebagai tempat tinggal manusia tetap terpelihara dengan baik. Karena itu di dalam menikmati alam, tidak boleh berlebihan (misraf).

Atas dasar pandangan-pandangan (tentang hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan alam) di atas itulah manusia muslim harus membangun kebudayaannya.

Untuk membangun kebudayaan yang demikian itu, di samping pengembangan nilai-nilai insaniyah yang Islami, juga perlu dikembangkan nilai-nilai lain yang juga bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Beberapa hal yang pada masa sekarang ini perlu mendapat perhatian serius dari umat Islam ialah:

  1. Nilai waktu. Al-Qur’an memberikan penegasan akan pentingnya waktu. Manusia, sebagai makhluk budaya, akan selalu rugi apabila tidak dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya (QS. al-‘Ashr: 1-3). Oleh sebab itu al-Qur’an memperingatkan agar manusia mukmin banyak melakukan amal kebajikan serta saling memberikan peringatan dengan sabar (bijaksana).

Demi masaSesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-‘Ashr 1-3)

  1. Ilmu dan teknologi. Al-Qur’an menginformasikan kepada manusia bahwa orang-orang yang berilmu dan melandasi ilmunya dengan iman, maka derajat orang itu akan diangkat dalam derajat yang lebih tinggi daripada yang lain. Lebih dari itu al-Qur’an menyuruh memperhatikan (tubhsirun) kepada diri manusia sendiri (QS. adz-Dzariyat: 21), memikirkan fenomena alam (QS. Ali Imran: 190-191) dan tentunya kemudian harus mengadakan penelitian, sehingga dapat menemukan rahasia-rahasia dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (adz-Zariyat 21)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran 190-191)

Pada hakekatnya seluruh sistem ilmu itu objek materialnya hanya dua, yaitu manusia dengan segala unsur dan aspeknya dan alam dengan kesatuan universumnya. Penelitian tentang manusia akan menghasilkan ilmu-ilmu sosial, kedokteran, psikologi, dan sebagainya, sementara penelitian tentang alam akan menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan alam dengan segala rangkaiannya. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap muslim untuk memenuhi seruan al-Qur’an.

  1. Etos kerja. Manusia adalah makhluk biologis yang penciptaannya terdiri dari unsur-unsur jasmaniah, unsur rohaniah (roh) serta akal pikiran, yang keseluruhannya merupakan suatu kesatuan yang utuh (QS. as-Sajadah: 7-9).

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajadah 7-9)

Oleh karena itu untuk kelangsungan dan kesempurnaan hidupnya, manusia membutuhkan ‘konsumsi’ material, rohaniah dan akal. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, khususnya kebutuhan material, manusia perlu kerja, dan karenanya al-Qur’an memerintahkan agar manusia muslim selalu memperhatikan tentang kerja (QS. al-Jum’ah: 10; al-Qashash: 77).

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (al-Jum’ah 10)

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash 77)

Bahkan sesungguhnya dengan perintah-perintah zakat, haji, infak, jihad bil amwal, membantu anak yatim, membantu fakir miskin di sana tersirat perintah untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, untuk selanjutnya melaksanakan wa ahsin kama ahsanallahu ilaika (QS. al-Qashash: 77).

Oleh karena itu dakwah harus mampu menumbuhkan semangat kewiraswastaan (entrepreneurship) dikalangan umat Islam khususnya. Disamping itu perlu dijelaskan bahwa menurut Islam kerja apapun baik asal halal.

Masih banyak nilai-nilai qur’ani yang perlu digali umat Islam dalam rangka mewujudkan kebudayaan yang Islami. Hal-hal yang dikemukakan di atas setidaknya dapat merupakan langkah awal yang dirasa perlu segera diaktualkan.

Berdasarkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam (al-Qur’an dan Sunnah) itu, maka dakwah harus mampu mengembangkan nilai-nilai itu melalui pusat-pusat pengembangan budaya seperti kampus, masjid, perpustakaan, pusat-pusat penelitian, museum, bengkel seni, pusat musik, balai penerbitan, dan lain-lain.

Kampus dan masjid sudah banyak mendapat perhatian umat Islam. Akan tetapi yang lain-lain, seperti bengkel seni dan pusat musik masih kurang mendapat perhatian, bahkan ada yang seakan-akan tabu bagi umat Islam termasuk Muhammadiyah. Sebagai ilustrasi misalnya, banyak di kalangan kita yang ‘mengutuk’ film-film yang tidak sesuai dengan norma-norma agama dan juga nyanyian-nyanyian cengeng dengan alasan bermacam-macam dan meminta kepada pemerintah untuk melarangnya. Namun bisaanya ‘himbauan’ itu tidak akan banyak diperhatikan, dan film-film serta nyanyian-nyanyian yang dikutuk itu tetap jalan terus. Mengapa hal yang demikian dapat terjadi?

Pertama, masyarakat membutuhkan hiburan, dan mereka orang-orang sekular itu yang punya perusahaan yang mampu memproduksi film-film dan nyanyian-nyanyian yang diperlukan oleh masyarakat. Kedua, Pemerintah memerlukan dana, dan usaha-usaha semacam itulah yang dapat mendatangkan dana yang berupa pajak. Ketiga, kita membutuhkan lapangan kerja untuk memberikan pekerjaan kepada para pencari kerja. Dan usaha-usaha semacam itulah yang antara lain mampu menyediakan lapangan kerja.

Oleh karena itu wajar kalau ‘kutukan’ dan ‘himbauan’ di atas kurang mendapat tanggapan sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, tanpa mengurangi nahi munkar kita tersebut, sudah menjadi kebutuhan yang mendesak agar umat Islam, khususnya lembaga-lembaga dakwah untuk memperhatikan atau memiliki bengkel seni, pusat musik, gedung kesenian bahkan kalau mungkin mendirikan akademi atau institut seni. Dengan adanya bengkel seni, pusat musik, gedung kesenian, dan institut seni itu, masalah kebudayaan dan kesenian akan tertangani. Diharapkan dari semuanya itu kelak akan lahir seniman dan musisi muslim yang mampu mencipta seni, film, dan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang mampu menumbuhkan rasa iman, dan bukan seni, film dan lagu-lagu yang membangkitkan selera rendah.

Sejarah telah membuktikan, betapa efektifnya dakwah melalui seni, sehingga masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) yang dulu sebagian besar memeluk agama Hindu, Budha atau kepercayaan lokal, dengan dakwah lewat media seni pewayangan berbalik menjadi Islam meskipun tingkat keislamannya masih rendah. Tetapi dengan mereka mau mengaku Islam itu saja sudah merupakan hal yang istimewa.

Kesimpulannya, untuk keberhasilan dakwah di masa mendatang, umat Islam termasuk Muhammadiyah, harus meningkatkan dakwah dengan melakukan amal usaha yang lebih komprehensif, lebih menyeluruh dan lebih menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu, kampus, masjid, perpustakaan, pusat penelitian, penerbitan, bengkel seni, pusat pagelaran seni, pusat musik harus mendapat perhatian secara wajar dan seimbang, kaena satu sama lain merupakan jalinan dari suatu sistem pengembangan kebudayaan Islam secara utuh dan kaffah.

 

  1. Islam dan Kekuasaan

Dakwah merupakan rekonstruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Semua bidang kehidupan dapat dijadikan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia bisa digunakan sebagai sarana atau alat dakwah. Kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, usaha-usaha sosial, gerakan-gerakan budaya, kegiatan-kegiatan ilmu dan teknologi, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, bagi seorang muslim seharusnya memang menjadi alat dakwah.

Politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Tetapi bagaimana pun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Di samping itu, dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara.

Dari pengertian tersebut diketahui bahwa politik merupakan salah satu kegiatan penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bisa hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala perangkat kekuasaannya. Sedemikian pentingnya peranan politik dalam masyarakat modern, sehingga banyak orang berpendapat bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Bagi seorang muslim, kegiatan politik harus menjadi kegiatan integral dari kehidupannya yang utuh. Mengherankan kalau ada muslim yang menjauhi, apalagi membenci kegiatan tertentu yang menentukan arah kehidupan dan nasibnya, misalnya menjauhi kehidupan ekonomi dan politik. Kehidupan dunia harus ‘direbut’ dan dikendalikan agar sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan. Memencilkan diri atau surut dari kehidupan dunia (withdrawl) bukanlah ajaran Islam. Nabi Muhammad sendiri berkontemplasi di gua Hira hanya menjelang kenabiannya saja. Di masa-masa selanjutnya beliau turun ke arena kegiatan dunia, sampai akhir hayatnya. Tidak pernah sekalipun beliau surut dan kembali ke gua Hira. Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin, sebagai pengikut Nabi, juga harus memperhatikan nasibnya di dunia. Bahkan hanya di dunia ini sajalah kita punya kesempatan untuk menunaikan tugas sebagai khalifah Allah. Tidak seyogiyanya kaum muslimin menyerahkan urusan dunianya atau nasibnya kepada orang lain.

Karena politik adalah alat dakwah, maka aturan permainan yang mesti ditaati juga harus paralel dengan aturan permainan dakwah. Misalnya, tidak boleh menggunakan paksaan atau kekerasan, tidak boleh menyesatkan, tidak boleh menjungkirbalikkan kebenaran, dan mengelabui masyarakat. Selain itu keterbukaan, kejujuran, rasa tanggung jawab, serta keberanian menyatakan yang benar sebagai benar dan yang batil sebagai batil, harus menjadi ciri-ciri politik yang berfungsi sebagai sarana dakwah.

Politik yang memiliki ciri-ciri tersebut niscaya fungsional terhadap tujuan dakwah. Sebaliknya, bila aturan permainan yang digunakan dalam politik tidak sejalan dengan aturan permainan dalam dakwah pada umumnya, maka mudah diperkirakan bahwa politik semacam itu akan disfungsional terhadap dakwah. Namun jangan lupa bahwa aturan-aturan permainan itu sesungguhnya hanya refleksi dari moralitas dan etika yang lebih dalam. Moralitas dan etika kegiatan dakwah dalam bidang apapun harus bersandar pada tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid dilepaskan dari politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang banyak.

Politik yang dijalankan oleh seorang muslim, sekaligus yang berfungsi sebagai alat dakwah, sudah tentu bukanlah politik sekular, melainkan politik yang penuh komitmen kepada Allah. Tujuan yang diletakkan oleh politik semacam ini bukanlah kekuasaan demi kekuasaan, atau pencapaian suatu kepentingan demi kepentingan itu sendiri. Kekuasaan, pengaruh, kepentingan-kepentingan tertentu, posisi, politik, dan sebagainya, bukanlah tujuan. Semua itu merupakan sarana atau tujuan-antara untuk mencapai tujuan sesungguhnya, yaitu pengabdian kepada Allah. Ini sesuai dengan ikrar seorang Muslim bahwa shalatnya, ibadahnya, hidup, dan matinya, diabdikan hanya kepada Allah semata (QS. al-An’am: 162).

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (al-An’am 162)

Ayat tersebut juga tegas menolak sekularisasi, karena sekularisasi pada dasarnya melakukan kompartementalisasi kehidupan, yakni antara kompartemen duniawi dan kompartemen ukhrawi. Padahal seluruh kehidupan adalah satu. Yang ukhrawi hanyalah kelanjutan belaka dari duniawi, sebagaimana sabda Nabi: “Dunia adalah sawah-ladangnya akhirat (ad-dunya mazra’atul akhirah)”. Artinya, apa yang kita lakukan di dunia (dalam bidang apapun) akan kita petik hasilnya di akhirat.

Itulah sebabnya, seluruh yang kita lakukan di dunia (dalam bidang apapun) akan kita petik hasilnya di akhirat kelak. Itulah sebabnya, seluruh kegiatan dalam pelbagai dimensi kehidupan seorang Muslim harus diabdikan kepada Allah SWT.

Dari uraian di atas dapat dirangkum, bahwa politik sebagai alat dakwah harus menunjang rekonstruksi masyarakat berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Rekonstruksi masyarakat itu dapat dilakukan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu teknologi, dan tentu saja dalam bidang politik. Pengelolaan tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif, dan dalam masyarakat luas, harus bersendikan pada tauhid dan diwarnai dengan spirit dakwah kepada Allah.

Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa suatu gerakan Islam yang bercorak sosio-keagamaan, tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaannya harus menyatu dengan wawasan kekuasaan. Yang perlu dijaga adalah agar tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Berpikir strategis dalam rangka menatap masa depan yang agak jauh dituntut dari kita sekarang ini.

  1. Islam, Ekonomi dan Pembangunan

Kehidupan ekonomi bagi masyarakat merupakan suatu hal yang penting, dan Islam mengakui hal tersebut. Namun demikian Islam mengajarkan pembangunan ekonomi bukan merupakan tujuan akhir dan bukan pula sesuatu yang terpisahkan dari hal yang lain. Islam memandang pembangunan ekonomi (baik pada tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat/bangsa) sebagai bagian dari pembangunan manusia dalam berbagai peringkat kehidupannya. Dengan demikian pembangunan ekonomi adalah dalam rangka dan merupakan bagian integral dari pembangunan indvidu, masyarakat, dan umat manusia yang Islami.

Tatanan pembangunan ekonomi yang Islami merupakan kegiatan yang berorientasi kepada tujuan dan dilandasi oleh kesadaran akan adanya nilai, yang diarahkan pada peningkatan martabat kemanusiaan secara sempurna dalam segala aspeknya di hadapan Allah. Untuk dapat menjamin terwujudnya yang demikian, maka pembangunan ekonomi harus dikembangkan di atas landasan filosofis yang Islami, yaitu:

  1. Tauhid. Sebagaimana diketahui tauhid adalah landasan bagi semua aturan dan jabaran ajaran Islam, termasuk di dalamnya aspek pembangunan ekonomi. Sebagai contoh misalnya, ekonomi yang tauhidi akan mengajarkan bahwa pemilikan harta benda oleh manusia bersifat nisbi dan merupakan amanah dari Allah, karena pemilik mutlaknya adalah Allah semata. Pandangan tauhidi mengajarkan prinsip ekualitas dan keadilan (lihat Islam dan Keadilan Sosial), oleh karena tiap manusia di hadapan Allah kedudukan manusia pada hakekatnya adalah sama, kecuali karena takwanya.
  2. Rububiyah. Landasan ini mengandung pengertian bahwa tentang rezeki, tentang rahmat dan petunjuk-Nya adalah untuk penyempurnaan segala pemberian-Nya itu. Pemanfaatan sumber-sumber alam sebagai sumber ekonomi adalah dalam rangka sunnatullah tersebut, yaitu untuk kelestarian dan kesejahteraan hidup bersama.
  3. Khalifah. Landasan ini menetapkan kedudukan dan peran manusia, yaitu memberi tanggung jawab khusus sebagai pengemban jabatan ‘wakil’ Allah dalam mengelola dunia. Dari sinilah muncul konsepsi yang unik (tiada bandingan yang lain) tentang tanggung jawab manusia di bidang moral, politik, dan ekonomi, serta prinsip-prinsip islami tentang pembentukan organisasi masyarakat.
  4. Tadzkiyah (penyucian dan pengembangan). Dengan landasan ini maka pengembangan ekonomi bukan semata-mata ‘pengembangan’ atau ‘pertumbuhan’, tetapi ada nilai lain. Konsep zakat, infaq, shadaqah adalah contoh implementasi landasan ini.

Penjabaran ciri pembangunan yang dilandasi oleh keempat nilai di atas, antara lain adalah:

Pertama, konsepsi pembangunan yang Islami mempunyai ciri yang mencakup aspek-aspek moralspiritual, dan material. Ketiga aspek terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Bukan hanya kemakmuran dan kebahagiaan hidup di dunia yang diupayakan, tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.

Kedua, bahwa yang menjadi fokus atau inti pembangunan adalah manusia. Karenanya pembangunan bermakna juga membangun manusia berikut lingkungan alam dan sosial-budayanya.

Ketiga, pembangunan menghajatkan adanya berbagai perubahan, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Pada umumnya ‘mazhab’ pembangunan yang ada menekankan perubahan-perubahan kuantitatif sebagai hal yang lebih penting seraya mengabaikan aspek kualitatifnya. Pembangunan yang Islami berupaya menyeimbangkan kedua aspek tersebut.

Keempat, di antara prinsip-prinsip kehidupan sosial yang dinamik, Islam secara khusus menekankan dua prinsip, yaitu (1) pendayagunaan secara maksimal dan proporsional sumber-sumber yang dianugerahkan Allah, dan (2) pemanfaatan, pemerataan, dan peningkatan hubungan kemanusiaan secara menyeluruh atas dasar kebenaran dan keadilan.

Kelima, konsepsi Islam tentang keadilan dan pemerataan distribusi penghasilan dan kekayaan tidak berarti harus sama (identicalness). Islam mengakui adanya perbedaan dalam penghasilan, karena semua orang tidak sama dalam sifat, kemampuan, dan pelayanannya kepada masyarakat (QS. al-An’am: 165; an-Nahl: 71; az-Zukhruf: 32), namun sebaliknya Islam juga tidak membenarkan adanya ketimpangan ekonomi dalam masyarakat.

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-An’am 165)

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah? (an-Nahl 71)

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (az-Zukhruf 32)

Upah yang adil, jaminan, dan bantuan sosial bagi fakir dan miskin melalui lembaga zakat, infaq, shadaqah, dan sebagainya, adalah realisasi ciri keadilan di atas.

Nilai keadilan sering dianggap sebagai ilmu yang universal, karena baik faham sosialis maupun kapitalis pun mengakui perlunya nilai ini. Namun demikian universalitas tersebut sebenarnya perlu dipertanyakan, mengingat ada perbedaan dalam persepsi maupun pelaksanannya. Dalam kapitalisme, keadilan dijalankan semata-mata oleh karena ‘tekanan’ kelompok, sementara dalam sosialisme keadilan dijalankan dengan menghilangkan kebebasan perseorangan. Islam melaksanakan keadilan dengan menjamin kebebasan perorangan yang disertai aturan-aturan moral dan hukum serta kewajiban-kewajiban dalam rangka:

  1. Terjaminnya kepentingan umum.
  2. Mencegah penghasilan yang tidak sah (halal).
  3. Menjamin terlaksananya pemerataan penghasilan dan kekayaan.
  4. Islam dan Dinamika Sejarah

Sejarah adalah sebuah dialog intelektual antara manusia dengan pengalaman kolektifnya pada masa lampau. Dari pengalaman itu kita diharapkan mampu menangkap ‘ibar (pelajaran moral) untuk dijadikan acuan dan pedoman masa kini dalam rangka mempersiapkan masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Sekali pun manusia tidak punya kemampuan untuk meramalkan masa depan secara pasti, al-Qur’an mengajarkan agar kita mempersiapkan masa depan itu secerdas dan secermat mungkin (QS. al-Hasyr: 18).

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hasyr 18)

Dari pengalaman kolektif masa lampau kita diharapkan akan dapat melihat benang merah pemihakan Allah kepada perilaku sejarah tertentu, sebab dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah tidak bersikap netral dalam sejarah. Dia sepenuhnya berpihak, berpihak kepada mereka yang telah berhasil mengembangkan nilai-nilai takwa dan nilai-nilai kebajikan. Allah (QS. an-Nahl: 128) menegaskan pemihakan itu dengan kalimat yang serba pasti.

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (an-Nahl 128)

Dalam ayat ini jelas kiranya bahwa ‘pemihakan’ Allah dalam sejarah pelu ‘dipancing’ dengan nilai-nilai takwa dan nilai-nilai kebaikan. Dalam perspektif ini, maka dakwah yang benar adalah dakwah yang mampu menggerakkan masyarakat untuk secara sadar mengembangkan nilai-nilai luhur yang menjadi pancaran iman itu. Takwa dan ihsan (nilai-nilai baik) hanyalah dapat dipahami dalam konteks iman. Iman itulah yang memberikan fondasi spiritual yang solid (kukuh) kepada perilaku takwa dan perbuatan baik itu. Dalam ungkapan lain, perilaku dan kerja-kerja yang tidak punya dasar spiritual-imani tidak bernilai sama sekali (QS. al-Kahfi: 103-105), sekali pun tampaknya hebat dan canggih.

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (al-Kahfi 103-105)

Oleh sebab itu, dalam menilai suatu peristiwa sejarah secara moral tidak dapat kita menggunakan ukuran-ukuran subjektif penalaran kita semata-mata. Wahyu perlu dijadikan pedoman dalam memberikan pertimbangan moral terhadap episode sejarah.

Pengalaman kolektif manusia masa lampau tidak mungkin diulang lagi karena peristiwanya telah usai, teater sejarah masa silam terbuka untuk diselidiki dan dinilai. Kita menyadari bahwa persepsi dan penilaian manusia terhadapnya tidak pernah mencapai posisi final. Yang dituntut dari kita adalah kejujuran dan kecermatan dalam membaca peta pengalaman manusia masa lampau itu. Sejarah senantiasa menuntut fakta bukan fiksi. Cerita sejarah yang bukan faktual gugurlah nilai sejarahnya, sekalipun nilai moralnya belum tentu demikian. Seperti novel-novel yang bermutu tapi fiktif biasanya sarat dengan nilai-nilai moral itu. Dalam panggung moral, sejarah dan novel punya fungsi sama. Bedanya, yang satu faktual, sedang yang lain mungkin fiktif.

Bila masa lampau terbuka untuk dinilai secara moral, maka masa depan terbuka dengan segala kemungkinan. Faham predeterminisme yang mengajarkan bahwa masa depan umat manusia sudah tertutup, karena segalanya sudah ditetapkan Tuhan, bukanlah berasal dari ajaran Islam sejati. Faham ini pada periode klasik kita kenal dengan faham jabariyah. Menurut faham ini, manusia tidak lebih dari lakon wayang yang dimainkan oleh dalangnya. Faham ini bila dituruti akan mematikan dinamika sejarah umat manusia. Orang akan pasrah begitu saja kepada sang nasib. Dalam pandangan ini, terkandung makna bahwa eksistensi menjadi tidak berarti sama sekali. Bila demikian soalnya, pertanyaan yang mendesak adalah: apakah adil bila manusia diwajibkan mempertanggungjawabkan perilaku dan perbuatannya, sementara kepadanya tidak diberi hak untuk menentukan pilihan?

Dari kenyataan empirik-historis kita dapat dikatakan bahwa pengalaman kolektif manusia pada masa lampau yang menjadi isi sejarah sebenarnya tidak lain dari pilihan-pilihan yang telah ditentukannya secara sadar. Tegasnya manusia adalah agen bebas dalam sejarah. Posisinya sebagai agen bebas inilah yang kemudian menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lain, termasuk malaikat.

Karena masa depan umat manusia itu senantiasa terbuka, maka dakwah Islam haruslah penuh dengan sikap optimistik. Seorang da’i yang berhasil adalah seorang yang mampu membawa umat untuk menatap masa depan dengan penuh harapan. Dan adalah tugas suci umat Islam untuk mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah menuju sebuah masa depan yang lebih cerah, lebih adil, dan lebih anggun. Dengan kata lain, dakwah Islam bertujuan untuk merubah wajah kenyataan yang belum sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan menjadi kenyataan yang dicita-citakan. Tegasnya tugas dakwah adalah tugas sepanjang sejarah, tidak mengenal istirahat, karena ia menyatu dengan kepribadian seorang Muslim yang sadar.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdiankekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkan ilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *