Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Jalan Tengah Ijtihad Progresif Umat Islam

Qaem Aulassyahied Pemateri Pelatihan Kader Tarjih Nasional Muhammadiyah
Kabartabligh.com – Dalam arus deras kehidupan umat Islam hari ini, umat menghadapi banyak persoalan baru yang kompleks, mulai dari konflik ibadah, dinamika sosial keagamaan, hingga tuntutan globalisasi yang menuntut respons cepat dan tepat. Di tengah kebutuhan akan panduan keislaman yang otentik namun adaptif, Manhaj Tarjih Muhammadiyah hadir sebagai jalan tengah ijtihad Islam progresif yang memadukan kesetiaan pada wahyu dan keberanian menghadapi realitas.
Manhaj Tarjih bukan sekadar metode pengambilan hukum (istinbat al-ahkam), tetapi sebuah wawasan menyeluruh dalam memahami, mempraktikkan, dan mendinamisasikan ajaran Islam. Ia bukan pula menara gading para akademisi, melainkan panduan hidup praktis yang lahir dari realitas umat dan berpijak pada fondasi ilmu yang kokoh.
Memahami Agama: Normatif dan Fungsional
Dalam perspektif Manhaj Tarjih, agama dipahami melalui dua lensa utama: normatif dan fungsional. Pendekatan normatif merujuk pada pengertian bahwa agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Allah melalui para Nabi, berupa perintah, larangan, dan petunjuk yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Ia bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih.
Namun, agama tidak berhenti di situ. Ia juga harus dilihat secara fungsional, sebagai pengalaman imani yang membuahkan amal saleh yang terlembagakan dalam pola kehidupan masyarakat. Ini berarti bahwa agama bukan hanya teks, tapi juga praksis sosial yang hidup dan dinamis. Di sinilah posisi penting dari tajdid (pembaruan) yang menjadi semangat utama manhaj tarjih.
Tajdid: Pemurnian dan Dinamisasi
Muhammadiyah sejak awal berdiri dikenal sebagai gerakan tajdid. Dalam Manhaj Tarjih, tajdid memiliki dua dimensi: tajdid tashfiyah (pemurnian) dan tajdid tansiq (dinamisasi). Tajdid pemurnian bertujuan menyaring kembali ajaran Islam dari unsur-unsur yang tidak berdasar dalil yang sahih, terutama dalam akidah dan ibadah. Sementara tajdid dinamisasi bertujuan menghidupkan ajaran Islam dalam ranah sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya dengan cara yang sesuai konteks zaman.
Contoh nyata dari semangat tajdid ini tampak dalam beberapa fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, seperti dalam kasus hukum fidyah bagi ibu hamil dan menyusui, fatwa tentang tato, hingga sikap terhadap penggunaan atribut keagamaan non-Muslim di tempat kerja. Dalam semua kasus ini, tarjih tidak sekadar menyalin pendapat ulama klasik, tetapi menggali kembali dalil dan mempertimbangkannya dengan semangat maqashid syariah (tujuan-tujuan utama syariat) yang relevan dengan konteks kekinian.
Toleransi: Menghindari Fanatisme
Wawasan toleransi merupakan ciri khas dari Manhaj Tarjih. Sejak tahun 1936, Majelis Tarjih telah menegaskan bahwa keputusan tarjih tidak bermaksud menyalahkan pandangan lain. Dalam dokumen Penerangan Hal Tarjih, dinyatakan bahwa keputusan tarjih tidak memiliki sifat menentang atau menjatuhkan pendapat yang tidak dipilih. Prinsip ini menjadi penyangga dari fanatisme mazhab yang sering kali memicu konflik di tengah masyarakat.
Dengan semangat toleransi ini, Tarjih Muhammadiyah mampu menumbuhkan kultur diskusi yang sehat dan produktif. Perbedaan pandangan dalam praktik ibadah tidak serta-merta menjadi sumber permusuhan. Sebaliknya, ia dipahami sebagai dinamika wajar dalam khazanah ijtihad umat Islam.
Keterbukaan: Fatwa Bukan Dogma
Manhaj Tarjih juga mengusung semangat keterbukaan. Keputusan tarjih tidak bersifat final mutlak. Setiap keputusan terbuka untuk dikritik, dikaji ulang, dan diperbaiki jika ditemukan dalil dan argumen yang lebih kuat. Dalam dokumen yang sama disebutkan:
“Kami berseru kepada sekalian ulama supaya suka membahas pula akan kebenaran keputusan Majelis Tarjih itu, dan jika ditemukan kekeliruan atau kurang tepat dalilnya, agar diajukan dalil yang lebih kuat.”
Semangat ini menjadikan tarjih sebagai ruang dialog keilmuan yang terus berkembang. Tarjih bukan alat legitimasi kekuasaan, melainkan medan ijtihad yang hidup dan senantiasa terbuka bagi penyempurnaan.
Tidak Berafiliasi Madzhab, Tapi Menghormatinya
Salah satu ciri khas Manhaj Tarjih adalah tidak mengikat diri secara eksklusif pada satu mazhab fikih. Muhammadiyah memilih untuk berpijak langsung pada sumber utama Islam—Al-Qur’an dan Sunnah—melalui ijtihad yang metodologis dan terstruktur.
Namun, ini tidak berarti menafikan pendapat ulama mazhab. Justru pendapat mereka tetap dihormati sebagai khazanah berharga yang dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Ini adalah bentuk ijtihad yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab.
Pendekatan ini memungkinkan tarjih mengambil posisi yang tidak jumud, tidak taqlid buta, dan tidak pula liberal tanpa batas. Ia berjalan di jalur tengah yang rasional, moderat, dan kontekstual.
Wasathiyah: Moderasi Sebagai Spirit
Risalah Islam Berkemajuan yang dihasilkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta (2022) mempertegas posisi Manhaj Tarjih dalam jalur wasathiyah (moderasi). Prinsip ini memuat sejumlah sikap sosial dan metodologis, seperti:
- Tegas dalam prinsip, tapi luwes dalam pendekatan
- Menghargai perbedaan, menolak pengkafiran
- Mendorong kegembiraan dan kemajuan masyarakat
- Menyeimbangkan pendekatan tekstual dan kontekstual
- Menghindari fanatisme kelompok atau golongan
- Mengutamakan kemudahan dalam melaksanakan agama
Dalam proses ijtihad, prinsip wasathiyah mengharuskan pendekatan yang komprehensif dan proporsional. Nas Al-Qur’an dan Sunnah dibaca secara holistik, dengan mempertimbangkan maqashid syariah dan perbedaan antara teks yang qath’i (pasti) dan zhanni (dugaan).
Aktualisasi dalam Studi Kasus
Dalam pelatihan kader Tarjih Nasional Muhammadiyah di Makassar (Mei 2025), beberapa studi kasus aktual dikaji dengan pendekatan manhaj tarjih ini. Misalnya:
- Konflik tarawih 11 vs 23 rakaat yang berujung perkelahian antarjamaah.
- Polemik ibu hamil yang tidak qadha puasa dan cukup membayar fidyah.
- Kontroversi publik terkait tato dan fatwa kehalalannya.
- Dilema pekerja muslim memakai atribut natal di tempat kerja.
Semua kasus ini disikapi dengan pendekatan tarjih yang tidak kaku dan tidak reaksioner. Setiap persoalan dikaji dari dalil, konteks sosial, maslahat umat, dan dampaknya terhadap keutuhan masyarakat. Di sinilah tarjih hadir sebagai solusi, bukan sekadar hukum.
Tarjih sebagai Jalan Keumatan
Manhaj Tarjih Muhammadiyah menawarkan jalan berpikir yang mampu menjaga kemurnian Islam sekaligus menyambut tantangan zaman. Ia tidak dogmatis, tetapi juga tidak kompromistis. Ia bersandar pada dalil, tetapi sadar konteks. Ia membangun toleransi, tetapi tidak lepas arah. Ia tidak fanatik mazhab, tetapi juga tidak antitradisi.
Di tengah fragmentasi umat Islam hari ini, manhaj tarjih menjadi model berpikir yang patut diperluas. Tidak hanya untuk kalangan Muhammadiyah, tetapi juga umat Islam secara umum yang menginginkan Islam yang otentik, progresif, dan relevan bagi kehidupan.
Sebagaimana ditegaskan dalam semangat Manhaj Tarjih:
“Agama adalah petunjuk ilahi yang harus dihidupkan dalam amal saleh dan didinamisasikan sesuai zaman, tanpa kehilangan ruh aslinya.”
Dengan manhaj ini, Muhammadiyah terus merawat nalar Islam berkemajuan: tajdid yang membebaskan, toleransi yang merangkul, dan ijtihad yang mencerahkan.
Penulis Syahroni Nur Wachid