Muhammadiyah Kukuhkan Tiga Pendekatan Ijtihad: Satukan Wahyu, Akal, dan Nurani

Kabartabligh.com – Muhammadiyah menegaskan kembali pentingnya pendekatan ijtihad yang moderat, rasional, dan kontekstual dalam merespons tantangan keagamaan modern. Melalui Manhaj Tarjih, organisasi Islam modernis ini merumuskan metode istinbath hukum Islam yang tidak fanatik mazhab, melainkan berpijak pada tiga pendekatan utama: bayani, burhani, dan irfani.

Hal ini ditegaskan dalam Pelatihan Kader Tarjih Nasional yang digelar di Makassar, 28–31 Mei 2025, oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam pemaparannya, narasumber Lailatis Syarifah, Lc., M.A. menyatakan bahwa Manhaj Tarjih Muhammadiyah merupakan wujud ijtihad kolektif berbasis pada dalil sahih, akal sehat, dan intuisi moral demi menjawab kebutuhan zaman.

Tiga Pilar Epistemologi Islam

Manhaj Tarjih Muhammadiyah mengadopsi tiga pendekatan utama yang disahkan sejak Musyawarah Nasional Tarjih ke-24/25 pada tahun 2000: pendekatan bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (spiritual). Ketiganya berasal dari pemetaan pemikiran klasik oleh filsuf Maroko Muhammad Abid al-Jabiri.

Pendekatan bayani, menurut Syarifah, menekankan pada otoritas teks suci Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum utama. “Dalam pendekatan ini, tafsir dilakukan melalui kaidah bahasa Arab dan metodologi ushul fikih,” jelasnya. Contoh konkret ijtihad bayani terlihat pada fatwa jumlah rakaat shalat tarawih atau hukum shalat ied yang bertepatan dengan Jumat.

Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam merespons isu-isu kontemporer yang belum ada dalam teks, seperti bioetika atau teknologi medis.

Untuk itulah, Muhammadiyah menggunakan pendekatan burhani. Pendekatan ini berbasis rasionalitas dan ilmu pengetahuan empiris. “Ketika membahas hukum donor darah, misalnya, Majelis Tarjih mempertimbangkan data medis, pertimbangan darurat, dan maslahat umat,” kata Syarifah.

Sementara itu, pendekatan irfani menggarisbawahi aspek spiritual dan intuisi moral. Meski jarang dijadikan rujukan utama, irfani tetap penting dalam mempertimbangkan keadilan batin dan empati kemanusiaan. “Fatwa tentang shalat Jumat yang ditiadakan sementara di zona darurat bencana merupakan bentuk pertimbangan irfani yang menekankan aspek nurani,” tambahnya.

Asumsi Dasar: Keseimbangan antara Wahyu dan Realitas

Tidak hanya pendekatan, Manhaj Tarjih juga berpijak pada tiga asumsi filosofis: integralistik, hierarkis, dan kebermaksudan.

Asumsi integralistik memandang bahwa kebenaran hukum Islam tidak bersifat tunggal, melainkan hasil dari kolaborasi antara berbagai dalil yang saling menguatkan. Asumsi hierarkis menjelaskan bahwa ajaran Islam terdiri dari nilai-nilai dasar (seperti tauhid dan keadilan), asas-asas umum, hingga hukum furu’ (praktis). Sedangkan asumsi kebermaksudan menyatakan bahwa setiap hukum Islam bertujuan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun akhirat.

Menjawab Tantangan Zaman

Ketua Panitia Pelatihan Kader Tarjih, dalam sambutannya, menyatakan bahwa Manhaj Tarjih ini menjadi jawaban atas tantangan globalisasi dan disrupsi teknologi. “Kita membutuhkan pendekatan istinbath hukum yang tidak hanya kuat secara dalil, tapi juga peka terhadap realitas,” ujarnya.

Peserta pelatihan yang terdiri dari utusan wilayah Indonesia bagian timur juga mendapat tugas langsung untuk mengkaji fatwa-fatwa terbaru di situs resmi fatwatarjih.or.id, lalu menganalisis pendekatan dan asumsi yang digunakan.

“Ini bukan sekadar pelatihan fikih, tapi pelatihan berpikir metodologis dan bertanggung jawab,” pungkas Lailatis Syarifah di akhir sesi refleksi.

Penulis Syahroni Nur Wachid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *