Muhammadiyah Soroti Urgensi Turas dalam Dinamika Pemikiran Islam Kontemporer

Kabartabligh.com – Dalam upaya memperkuat kerangka keilmuan dan keberagamaan umat, Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengangkat tema penting terkait turas atau warisan intelektual Islam dalam forum Pelatihan Kader Tarjih Nasional (PKTN) yang digelar di Hotel Aryaduta, Makassar, Rabu–Ahad (28 Mei – 1 Juni 2025).
Salah satu sesi yang menjadi sorotan adalah pemaparan dari Rofiq Muzakkir PhD , Sekretaris MTT PP Muhammadiyah, yang membahas secara mendalam tema “Muhammadiyah dan Turas (Tradisi Intelektual Islam)”.
“Turas adalah warisan intelektual Islam yang kaya dan kompleks, bukan sekadar kitab-kitab kuno yang usang. Ia merupakan hasil akumulasi pengalaman dan pemikiran ulama Islam selama berabad-abad, yang perlu terus dikaji dan diintegrasikan dalam kehidupan umat Islam saat ini,” terang Rofiq dalam forum tersebut.
Turas sebagai Pilar Epistemologis Islam
Menurut Rofiq, turas mencakup dua sumber utama pengetahuan umat Islam: sumber normatif (Al-Qur’an dan As-Sunnah) serta sumber historis berupa warisan tradisi keilmuan Islam. Dalam hal ini, turas meliputi ilmu syariah seperti fikih, ushul fikih, tafsir, ilmu hadis, kalam, tasawuf, serta ilmu umum seperti kedokteran, astronomi, matematika, dan sebagainya.
“Di masa klasik, umat Islam telah memiliki sistem keilmuan yang mapan, bahkan mendunia. Ini menjadi fondasi penting yang tidak boleh diabaikan dalam proses pembaruan keislaman masa kini,” ujar Rofiq.
Prinsip Muhammadiyah dalam Mengelola Turas
Rofiq menekankan bahwa Muhammadiyah menggunakan pendekatan eklektik dan kritis terhadap turas. Artinya, Muhammadiyah tidak terjebak dalam fanatisme mazhab, tetapi juga tidak menolak eksistensi mazhab sebagai bagian dari khazanah keilmuan Islam. Hal ini tercermin dalam prinsip wasatiyyah yang dijalankan Majelis Tarjih:
-
Tidak mewajibkan bermazhab tertentu.
-
Tidak anti terhadap mazhab.
-
Menjadikan kesepakatan ulama klasik sebagai pertimbangan kehati-hatian dalam mengambil pendapat baru.
-
Tetap membuka ruang ijtihad baru yang berbasis pada ushul fikih dan konteks zaman.
“Dalam beberapa fatwa, Muhammadiyah mengambil pendapat mayoritas ulama klasik, namun pada isu lain bisa keluar dari mazhab empat selama didukung oleh argumen dalil dan maslahat yang lebih besar,” jelasnya.
Contoh Nyata dalam Fatwa Tarjih
Rofiq mengutip beberapa contoh konkret penerapan prinsip ini. Misalnya, keputusan Munas Tarjih 2024 tentang kesatuan matlak (penanggalan Hijriyah) berpijak pada pendapat jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan sebagian Syafi’i, yang menyatakan bahwa hilal yang terlihat di satu tempat berlaku untuk seluruh dunia Islam.
Sebaliknya, dalam kasus perceraian di luar sidang pengadilan, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa baru yang tidak terikat pada pandangan mazhab klasik, tetapi berdasarkan pada prinsip perlindungan hak-hak perempuan dan keadilan prosedural.
“Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak stagnan dalam membaca turas, tetapi mampu melakukan adaptasi sesuai kebutuhan zaman,” kata Rofiq.
Antara Ekstremisme dan Wasatiyyah
Lebih lanjut, Rofiq mengingatkan akan dua posisi ekstrem yang berkembang dalam memahami turas:
-
Kelompok yang menolak seluruh mazhab dan hanya mengandalkan literalitas teks (seperti kelompok Salafi tekstualis).
-
Kelompok yang mewajibkan fanatisme mazhab tertentu dan menganggap keluar dari pendapat klasik sebagai penyimpangan.
Muhammadiyah mengambil jalan tengah—yakni jalan wasatiyyah—dengan tetap menghargai turas sebagai warisan keilmuan, namun menghindari sikap absolutis yang membelenggu ijtihad kontemporer.
Tugas Muhammadiyah ke Depan
Rofiq menggarisbawahi bahwa tugas besar Muhammadiyah saat ini adalah memasyarakatkan kembali turas dalam tradisi berpikir komunal. Artinya, kader Muhammadiyah harus melek turas, mampu membaca, menelaah, dan mengaitkannya dengan realitas sosial yang terus berkembang.
“Kita perlu melahirkan generasi yang mampu menjembatani antara warisan ulama masa lalu dengan tantangan zaman sekarang. Di sinilah pentingnya revitalisasi turas sebagai bagian dari pembaruan Islam berkemajuan,” tegasnya.
Pelatihan Kader Tarjih Nasional di Makassar ini diikuti oleh kader-kader tarjih dari berbagai wilayah di Indonesia. Selain memperkuat kapasitas keilmuan, kegiatan ini juga mempererat jejaring kader ulama dan pemikir Muhammadiyah yang memiliki visi tajdid dan integritas keilmuan yang tinggi.
Penulis Syahroni Nur Wachid