Peran Perempuan dalam Islam: Melawan Ketidakadilan Gender

Kabartabligh.com – Dalam sejarah dan ajaran Islam, peran perempuan memegang posisi yang mulia dan setara. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa banyak perempuan muslimah masih menghadapi diskriminasi yang dilegitimasi oleh tafsir keagamaan yang bias. Artikel ini mencoba menelusuri akar ketidakadilan tersebut dengan menggunakan pendekatan analisis gender.
Analisis gender membedakan antara perbedaan biologis (jenis kelamin) dan peran sosial yang dikonstruksi budaya (gender). Diskriminasi terjadi bukan karena kodrat, tetapi akibat konstruksi sosial yang menjadikan perempuan berada dalam posisi subordinat. Dalam banyak kasus, peran gender yang dianggap “alami” justru menjadi sumber ketidakadilan yang sistemik.
Beberapa bentuk ketidakadilan gender yang kerap ditemukan dalam masyarakat Islam antara lain:
-
Marginalisasi ekonomi, seperti terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya pertanian atau pekerjaan tertentu.
-
Subordinasi, misalnya keyakinan bahwa perempuan tidak layak memimpin atau berpendidikan tinggi karena kodratnya sebagai ibu rumah tangga.
-
Stereotip negatif, seperti anggapan bahwa perempuan emosional atau sumber fitnah.
-
Kekerasan berbasis gender, baik fisik (pemukulan, pemerkosaan) maupun simbolik (pelecehan dan pemaksaan).
-
Beban kerja ganda, di mana perempuan harus bekerja di ranah publik sekaligus memikul tanggung jawab domestik sepenuhnya.
Padahal, dalam Al-Qur’an, kedudukan laki-laki dan perempuan ditegaskan berasal dari satu jiwa (QS. An-Nisa: 1), yang berarti mereka setara di hadapan Allah. Sayangnya, banyak tafsir klasik yang mengedepankan kepentingan patriarki telah membatasi ruang gerak perempuan, baik dalam keluarga, organisasi, maupun kepemimpinan publik.
Contohnya adalah ayat qawwamuna ‘ala an-nisa (QS. An-Nisa: 34) yang sering dijadikan dasar pembenaran bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh cendekiawan seperti Ali Engineer, ayat ini harus dibaca dalam konteks sosial saat itu bukan sebagai norma tetap yang mengharamkan perempuan untuk memimpin.
Sejarah Islam sendiri mencatat peran perempuan dalam berbagai sektor. Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW, pernah memimpin pasukan dalam Perang Jamal. Perempuan di masa Nabi juga aktif dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, hingga ranah publik lainnya.
Oleh karena itu, perjuangan keadilan gender dalam Islam bukanlah perang antar gender, tetapi upaya menegakkan prinsip Islam yang adil dan membebaskan. Rekonstruksi terhadap tafsir-tafsir agama yang bias gender menjadi sangat penting. Tafsir yang adil akan membuka ruang partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, tanpa kehilangan identitas keislamannya.
Sudah saatnya umat Islam secara kolektif merefleksikan ulang hubungan laki-laki dan perempuan, tidak hanya di rumah tangga, tetapi juga dalam masyarakat dan struktur keagamaan. Perempuan bukan subordinat laki-laki, tetapi mitra setara dalam membangun peradaban.
Oleh : Dr. Mansour Fakih