POLEMIK HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT DAN MENGIKUTI PERAYAAN UMAT BERAGAMA LAIN

selamat

Oleh : Ust Suhadi M. Sahli

Kabartabligh.com – Di kalangan umat islam terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bagi umat Islam mengucapkan selamat dan mengikuti hari raya kepada penganut agama lain diantaranya:

 

Hukum mengucapkan selamat hari raya kepada umat beragama lain

  1.  Sebagian ulama meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far at-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang Kresten yang memperingatinya, termasuk juga penganut agama lain.    Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 72:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.

Pada ayat tersebut, Allah menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Juga telah dijelaskan dalam surat Al Maidah ayat 72-73,  Al Kafirun ayat 1-6, At Taubah ayat 30, dan ayat-ayat yang lain.


Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut. (HR Abu Daud, nomor: 4031).

  1. Sebagian ulama yang lain Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.   

Pada ayat di atas, Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non-muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.

Dan hadits Nabi riwayat Anas bin Malik sebagai berikut:

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ) ـ

Artinya: Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi SAW, kemudian ia sakit. Maka, Nabi mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: Masuk Islam-lah. Anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata: Taatilah Abul Qasim (Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi keluar seraya bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka. (HR Bukhari, nomor: 1356 dan 5657)

Dan sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’ (Quds/Palestina):

هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ إِيْلِيَاءَ مِنَ الْأَمَانِ: أَعْطَاهُمْ أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلْبَانِهِمْ وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ، وَلَا تُهْدَمُ

Artinya: Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum mukminin kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan. (Lihat: Tarikh at-Thabary, Juz 3, halaman: 609).

 

Mengikuti upacara ritual hari raya umat beragama lain

 

Para ulama telah sepakat bahwa mengikuti upacara ritual hari raya umat beragama lain adalah haram seperti 4 imam mazhab dan imam-imam yang lain serta fatwa MUI Tahun 1986 yang waktu itu diketuai oleh HAMKA. Juga Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP). Dalil yang digunakan mereka adalah diantaranya surat al Maidah 72-73, al Kafirun 1-6, al Furqan 72,  dan Hadits Nabi Saw,“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud)

Khusus untuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi seorang muslim untuk mengikuti upacara natal bersama. Fatwa tersebut dikeluarkan pada masa kepemimpinan Buya Hamka pada tahun 1981, yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI KH. M. Syukri Ghozali dan Sekretaris Komisi Fatwa Drs. H. Mas’udi.

Fatwa tersebut dikeluarkan setelah MUI memperhatikan bahwa perayaan Natal bersama telah disalahartikan oleh sebagian umat Islam. Mereka menyamakan perayaan Natal seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Karena kesalahpahaman tersebut akhirnya ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan bahkan duduk dalam kepanitiaan Natal.

Dalam konteks sekarang sebagian umat Islam ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi umat beragama, menghormati perayaan agama orang lain dan dalih kerukunan antar umat beragama. Secara syar’i alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan.

Pertama, merayakan Natal, baik dengan mengikuti ritualnya maupun tidak hukumnya adalah haram. Sebab perbuatan itu termasuk menghadiri atau mempersaksikan suatu kebohongan/kebatilan. Allah SWT berfirman:

“Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat “laa yasyhaduuna az-zuur” dalam ayat itu menurut Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah “tidak menghadiri kebohongan (az-zuur)”, bukan “tidak memberikan kesaksian palsu”. Sedang kata “az-zuur” itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum jahiliyah sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91-95; M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtarat Iqtidha` Shirathal Mustaqim (terj.), hal. 59-60). Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk merayakan hari-hari raya agama lain, seperti hari Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Selain itu, seorang muslim yang turut merayakan hari raya agama lain, berarti telah menyerupakan dirinya dengan kaum kafir. Padahal Islam telah mengharamkan muslim untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka. Hadits Nabi Saw,“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud) (Lihat Syaikh bin Baz, Penjelasan Tuntas Hukum Seputar Perayaan, hal. 76).

 

Kedua, mengucapkan selamat hari raya Natal dan berdoa bersama juga haram hukumnya, karena masih termasuk perbuatan mempersaksikan kebohongan atau menyerupakan diri dengan kaum kafir.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata: “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.

Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah Juz I/162).

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridha dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridha dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridha terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhai hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Az Zumar 7).

 

Allah dan RasulNya membolehkan umat Islam berbuat baik kepada orang kafir sebagamana yang disebut dalam surat Mumtahanah 8 dan Hadis dari Anas Bin Malik serta qaul Umar Bin khaththab untuk melindungi orang kafir itu adalah urusan muamalah dunyawiyah bukan urusan Aqidah dan ubudiyah, sebagaiman penjelasan Ibnu Hajar berikut :

Hadits ini  ( dari Anas bin Malik tersebut ) menjelaskan bolehnya menjadikan non-muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit. (Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman: 586).

 

Jadi, bagi seorang muslim haram hukumnya untuk mengikuti perayaan Natal, berdoa Bersama, membantu proses jalannya upacara ritual atau sekadar mengucapkan selamat Natal, dengan alasan apapun hukum haram. Demikian pula terhadap upacara-upacara ritual keagamaan penganut  agama yang lainnya hukumnya juga haram ( dilarang ).

Wallaahu A’lam

 

WASSALAMU’ALAIKUM WR. WB.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *