Menyeimbangkan Ibadah dan Harmoni Sosial: Perlukah Membaca Al-Qur’an dengan Pengeras Suara?

Surabaya – Ramadan identik dengan tradisi membaca Al-Qur’an, baik secara individu maupun berjamaah. Namun, muncul pertanyaan: apakah perlu menggunakan pengeras suara saat membaca Al-Qur’an?
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), ibadah terbagi menjadi dua kategori, yaitu ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah umum mencakup berbagai amalan yang diperbolehkan dalam Islam, sedangkan ibadah khusus memiliki tata cara yang telah ditetapkan. Membaca Al-Qur’an termasuk dalam ibadah umum yang mendatangkan pahala dan rahmat bagi pelakunya. Namun, penggunaan pengeras suara hanyalah alat bantu, bukan bagian dari ibadah itu sendiri.
Allah berfirman dalam Q.S. Al-A‘raf (7): 204:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A‘raf: 204)
Ayat ini menegaskan bahwa rahmat Allah diberikan kepada mereka yang mendengarkan dan memperhatikan bacaan Al-Qur’an, bukan karena volume suaranya. Meskipun pengeras suara dapat digunakan untuk syiar Islam, tidak semua yang mendengarnya secara otomatis mendapat manfaat spiritual, kecuali jika mereka benar-benar menyimaknya dengan hati yang khusyuk.
Penggunaan pengeras suara juga tidak bisa dipandang secara hitam-putih. Dalam Q.S. Al-Isra’ (17): 110, Allah memberikan petunjuk kepada Nabi Muhammad untuk menjaga keseimbangan dalam mengeraskan suara saat berdoa atau membaca Al-Qur’an:
قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَـنَ أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً
“Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya.” (QS. Al-Isra’: 110)
Tafsir Ibnu Katsir mencatat bahwa ayat ini turun sebagai respons terhadap dua peristiwa: pertama, ketika Nabi mengeraskan bacaan Al-Qur’an hingga mendapat cemoohan kaum musyrik; kedua, ketika Abu Bakar membaca dengan suara lirih karena merasa cukup bahwa Allah Maha Mendengar, sedangkan Umar membacanya dengan lantang untuk mengusir setan dan membangunkan orang yang tertidur. Dari peristiwa ini, kita dapat belajar bahwa ada kebijaksanaan dalam menyesuaikan volume suara dengan situasi yang ada.
Oleh karena itu, penggunaan pengeras suara saat membaca Al-Qur’an sebaiknya mempertimbangkan kondisi lingkungan. Misalnya, mengumandangkan bacaan Al-Qur’an menjelang adzan atau berbuka puasa dapat menjadi pengingat yang baik. Namun, pada waktu-waktu istirahat seperti tengah malam atau siang hari, volume yang terlalu keras dapat mengganggu ketenangan masyarakat.
Dalam Islam, terdapat prinsip yang menyatakan bahwa mencegah kemudaratan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan. Jika penggunaan pengeras suara berpotensi mengganggu orang lain, lebih baik mengurangi volumenya atau tidak menggunakannya sama sekali. Sebaliknya, jika tujuannya adalah syiar dan tidak menimbulkan gangguan, maka hal tersebut dapat diterima.
Pada akhirnya, membaca Al-Qur’an adalah ibadah yang sangat dianjurkan, tetapi harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Ramadan adalah bulan penuh berkah, sehingga semangat beribadah harus diiringi dengan kepedulian terhadap sesama. Dengan begitu, kita bisa menciptakan keseimbangan antara ibadah dan keharmonisan sosial.
Jadi, apakah membaca Al-Qur’an dengan pengeras suara diperlukan? Jawabannya bergantung pada keseimbangan antara niat ibadah dan kesadaran terhadap lingkungan sekitar. Mari menjadikan Ramadan tidak hanya sebagai bulan ibadah, tetapi juga bulan yang penuh dengan kebijaksanaan dan kepedulian.
Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Membaca Al-Qur’an Dengan Pengeras Suara”, https://muhammadiyah.or.id/2020/09/membaca-al-quran-dengan-pengeras-suara/