Ustadz, Mana Sorbannya?

(Serba-Serbi Kisah Menyambut Ramadhan)
Oleh Piet Hizbullah Khaidir
Ketua STIQSI Lamongan
Sekretaris PDM Lamongan
Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jatim
Jelang Ramadhan, sore itu udara tidak begitu terik. Meski langit diselimuti awan gelap tipis, air hujan, walau rintikpun, tak bersedia turun. Alhamdulillah, suasana cuaca seperti ini terasa sedikit lebih sejuk dari biasanya, yang seringkali menyengat.
Sementara itu, angin semilir syahdu bersepoi kesana kemari, seperti akan mengiringi adzan ashar yang sebentar lagi berkumandang dari masjid di sebuah kampung yang dikenal sebagai kota cukup relijius, terpelajar, dan basis perjuangan rakyat Indonesia dahulu ketika jaman meraih kemerdekaan.
Menurut kisah, masjid ini dulu menjadi basis perjuangan rakyat, pelatihan bela diri, penggemblengan ngaji ilmu lahir batin bagi rakyat dan terutama kaum mudanya. Para kiai, asatidz dan semuanya berjuang tanpa pamrih, tanpa berharap apa-apa.
Karena itulah, masjid ini di kemudian hari diberi nama masjid al-Ikhlash. “Untuk mengenang keikhlasan para sesepuh mesjid ini”, kata salah seorang jamaah yang sempat terdengar menjelaskan kepada orang yang bertanya kepadanya.
Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 3 sore. Kira-kira 5 hingga 7 menit lagi adzan akan mengudara. Benar juga, tak selang berapa lama dari mengambil air wudlu di kamar mandi kantor, terdengarlah olehku adzan dari mesjid di seberang kantor itu.
Belum usai adzan berselancar di udara, bersama teman sekantor biasanya kami langsung menuju masjid. Di tengah jalan, kami berpapasan dengan seorang ustadz muda yang bekerja di kantor sebelah. Bergegaslah kami bersama ustadz muda ini menuju masjid yang tak jauh dari kantor kami itu.
***
Inilah awal kisahnya, kawans! Di hari yang cuacanya cukup bersahabat itu, sang ustadz muda berpakaian dinas kantornya. Berbaju seragam dengan tulisan logo kantornya, kemeja pendek dengan perpaduan warna yang begitu apik.
Seperti menyesuaikan diri dengan baju yang dikenakannya, ustadz muda ini tampil apa adanya, tanpa kopyah haji di kepalanya, juga tanpa sorban yang biasanya dipakainya bila shalat di masjid.
Seperti biasanya, usai shalat berjamaah, sang ustadz mudapun berdzikir. Di tengah dzikirnya inilah, rupanya ada seorang jamaah yang biasanya mendengar ceramah-ceramahnya, memperhatikan sang ustadz muda. Sepertinya sang jamaah sedang menyelidik siapa orang yang sedang berdzikir, kok seperti tidak asing, tetapi tidak dikenalnya dengan baik.
Maklum, sang jamaah melihat sang ustadz muda dari belakang. Hingga setelah berdoa, dan sang ustadz muda berdiri, lalu sang jamaah menghampiri, sambil berkata dengan agak terkejut: ‘MasyaAllaah, Ustadz! Ane kira siapa! Mana kopyah dan sorbannya, tumben berpakaian anak muda banget’.
Begitulah celoteh sang jamaah, bernama Sulaiman, yang disambut sang ustadz dengan senyuman saja, tanpa berkata sepatahpun. Mengikuti ustadz, bagai anak ayam membuntuti induknya, kamipun juga ikut tersenyum, tanpa kata-kata.
Selesai beramah-tamah ‘ala kadarnya sembari menanyakan kabar jamaah tersebut beserta keluarganya, sang ustadzpun mohon diri dari masjid. Kami menganggukkan kepala sebagai tanda pamit duluan kepada sang jamaah.
***
Di tengah jalan kami kembali ke kantor, sang ustadz melempar tanya kepada kami: “Bagaimana pendapat kalian tentang keharusan seorang muslim berpenampilan ketika beribadah menghadap Tuhannya? Juga, tadi, bagaimana pandangan kalian mengenai sinyalemen Pak Sulaiman tentang kopyah dan surban?” Rupanya di kepala sang ustadz muda ini langsung berkecamuk pikirannya mengenai adab berpakaian serta bagaimana seorang muslim berpenampilan saat beribadah kepada Tuhannya.
Seperti biasanya juga, kami balik bertanya bila ustadz muda ini melempar tanya. “Kalau menurut ustadz bagaimana?”, tanya kami balik. “Ya, Allah! Kalian ini kebiasaan kalau ditanya malah balik bertanya”, kata sang ustadz sambil tersenyum.
Sambil berjalan menyusuri jalan yang biasa kami lalui bila ke atau dari masjid, mulailah sang ustadz menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri tadi. Kata beliau dari apa yang pernah dibacanya, sinyalemen Pak Sulaiman tentang adab berpakaian ketika beribadah tadi sudah banyak dibahas oleh para fuqaha.
Diantaranya pendapat para fuqaha yang menyatakan bahwa menghukumi sesuatu itu harus dari dhohirnya. ‘Nahnu nahkum bi al-zhawahir’…..(Kami menghukumi dengan mempertimbangkan apa yang kelihatan).
Kawans, tentang apa yang disitir oleh ustadz muda mengenai menghukumi sesuatu dari zhahirnya ini penting. Misalnya, bila ada orang ‘alim, ilmu agamanya tinggi, dan pada saat yang sama, dia memakai tindik di hidungnya, berkalung emas, berambut ‘ala David Beckam, baik orang yang mengenalnya ataupun apalagi yang tidak mengenalnya dengan baik, pasti akan berkesimpulan secara zhahir “orang ‘alim ini tampilannya seperti preman”. Orang yang mengenalnya mungkin berkesimpulan, “orang ‘alim ini tidak mengamalkan ilmu agamanya”. Sedangkan, orang yang tidak mengenalnya akan langsung menghakimi dengan kesimpulan “orang ‘alim ini adalah preman”.
Sang ustadz melanjutkan penjelasannya, “Perkara zhahir ini menjadi catatan bagi siapapun yang mengerti agama, ulama, ustadz, syeikh, maulana, agar secara muamalah menjaga dirinya dari fitnah yang tidak perlu. Secara zhahir dia harus memegang shibghah, yaitu karakter yang dimunculkan melalui simbol-simbol yang dekat dengan relijiusitas.
Seorang yang mengerti agama disarankan memakai pakaian yang menutup aurat dan mencontohkannya kepada jamaahnya; memakai wewangian yang dapat mengundang kesan bersih dan keindahan; bertutur kata yang lembut dengan senyuman khas yang dapat membuat jamaah menjadi tentram berada di dekatnya.”
Sahabatku, apa yang dijelaskan ustadz muda ini relevan dengan amaliah Islam kita sehari-hari. Karena itu, dalam manhaj mengamalkan Islam, kita mengenal apa yang disebut sebagai syari’at, thariqat, dan haqiqat. Syari’at adalah jalan Allah yang bersifat zhahir; pemahaman berdasarkan dalil-dalil yang terang; pengamalan aturan Allah melalui pemahaman istidlaal (pengambilan dalil atau merujuk pada dalil).
Thariqat menegaskan pada jalan cinta, ketaatan, kefaqiran (merasa butuh), keistiqamahan, kesabaran, dan keikhlasan dalam menjalankan syari’at. Sedangkan Haqiqat merupakan jalan mengamalkan syariat dan thariqat hanya untuk Allah, bukan untuk syari’at, bukan untuk thariqat, bukan untuk apa yang kita pikirkan, meskipun kelihatannya bersifat syar’i keagamaan.
Melampaui itu, haqiqat menegaskan jalan yang dipilih adalah jalan menuju Allah itu sendiri secara langsung, bukan sekedar jalan Allah, tetapi tujuannya adalah Allah dan ridla Allah.
Oleh karena itu, Sahabatku, lanjut ustadz muda, “Tidak benar bahwa ahli thariqat dan haqiqat ‘boleh’ meninggalkan syari’at; atau pasti tidak peduli syari’at. Bila ada orang yang mengaku berthariqat, tetapi meninggalkan syari’at, sesungguhnya dia sedang keblinger, atau mungkin males, atau mungkin, enggan meniru Rasulullah, kekasih sejati Gusti Allah, yang seharusnya diikuti dalam hal mengamalkan syari’at, thariqat dan haqiqat ini.
Apa benar Rasulullaah Saw., mengamalkan syari’at, thariqat dan haqiqat. Jawabannya Ya dalam konteks yang luas. Karena yang diajarkan Rasulullaah Saw., adalah bagaimana kita mengetahui dalil-dalil apa yang kita amalkan dari ajaran agama ini. Dalam melaksanakannya hati kita harus dipenuhi kecintaan, ketaatan, kesabaran, keistiqamahan, kefaqiran dan keikhlasan. Tujuan kita adalah berjumpa Allah, meraih ridla dan rahmat-Nya.”
Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menjelaskan dengan apik ‘ibrah tentang adab melakukan ibadah dan manhajnya sekaligus. Hujjatul Islam ini mendaraskannya dalam sinaran konsep amalan yang disebut sebagai zhahirut taqwa dan bathinut taqwa.
Zhahirut taqwa adalah apa yang tampak pada seseorang yang beriman berupa simbol-simbol taqwa. Sedangkan bathinut taqwa adalah apa yang menjadi niat dan tujuan dari sang ‘abdun (hamba). Yang pertama adalah amalan tubuh, akal dan nafs; sedangkan yang kedua merupakan amalan hati dan hati nurani (qalb dan lub). Mendengar penjelasan ustadz muda yang semakin mendalam dan menarik ini, kami hanya manggut-manggut tanda memahami dan ingin mengamalkannya.
Imam Al-Ghazali juga menandaskan bahwa zhahirut taqwa bisa jadi menunjukkan sekaligus bathinut taqwa; sedangkan bathinut taqwa sudah pasti menunjukkan zhahirut taqwa. Namun demikian, kata pengarang Ihya ‘Ulumiddin ini, sudah seharusnya seorang muslim tidak membedakan dengan lebih mementingkan salah satunya. Zhahirut taqwa harus disertai bathinut taqwa, begitu juga bathinut taqwa harus diikuti zhahirut taqwa.
Ini persis seperti nasehat Syeikh Abu Bakar Sirajuddin yang menyatakan kepada murid-muridnya: “Hendaklah kalian berpakaian yang dapat mendekatkan diri kalian kepada komunitas yang dekat dengan Tuhan”.
Zhahirut taqwa memang sangat penting. Apa yang tampak dari shalat seseorang, infaq, shadaqah, dan amalan-amalannya yang lain adalah zhahirut taqwa. Bila seseorang berpakaian baju koko, bersarung, bersurban, serta berkopyah, tidak mungkin dia akan menuju ke tempat-tempat maksiat. Itulah bahwa simbol yang zhahir dari ditunjukkannya ketaqwaan menjadi penting.
Zhahir dan bathin taqwa sama pentingnya. Di hadapan Allah, inilah yang sangat penting, yakni ketika niat dan tujuan amalan ibadah kita itu adalah hanya karena Allah dan ridla Allah. Pada kelanjutannya, kita menjaga hati kita dari penyakit hati seperti riya, ujub, takabbur, iri dengki, inilah kesempurnaan taqwa. Jalan inilah yang dengan rahmat Allah akan menyelamatkan kita dunia akherat.
“Wah, kita sudah nyampe nih, Ustadz. Terima kasih atas wejangan berharga dan inspiratifnya ya Ustadz. Mohon doakan kami selalu berada dalam lindungan dan rahmat Allah, sehingga kami mampu mengamalkan dengan ikhlash dan istiqamah apa yang tadi Ustadz sampaikan”. ‘Sama-sama, Pak. Doakan saya juga dengan doa serupa. Oia, nanti malam shalat tarawih di mana?’ Kami menjawab serempak: “In sya Allah di Masjid al-Ikhlash, Ustadz”. Ustadz merespon kami: “Oh baik. Kalau begitu, sampai ketemu nanti, ya Bapak-Bapak. Assalaamu ‘alaikum’, tutup sang Ustadz. “Wa’alaikumussalam Wr. Wb.”, jawab kami serentak.