Kepingin Menjadi Kekasih-Mu, Ya Allah!

Kabartabligh.com

Oleh Piet Hizbullah Khaidir

Ketua STIQSI Lamongan;

Sekretaris PDM Lamongan; dan

Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur

 

Kawans, ini adalah kisah tentang sahabatku. Seorang ustadzah. Sebutlah Ivana Karima namanya. Dia termangu setelah mendapati salah seorang muridnya memiliki cita-cita yang menghentakkan kesadaran sikapnya selama ini terhadap Allah Swt., dan caranya meneladani Rasulullah Saw. Ketika membaca apa yang ditulis salah seorang muridnya, dia merasa ada yang kurang dalam pengabdiannya selama ini kepada Allah dan Rasul-Nya.

Pagi itu, sahabatku yang ustadzah ini memasuki kelas dengan energiknya. Kelas yang dimasukinya adalah kelas kreatifitas. Dia mengajar mata pelajaran yang agak tidak umum, karena memang tidak ada di sekolah-sekolah lain. Ustadzah yang juga psikolog ini memang memiliki background pendidikan Psikologi Anak. Ustadzah yang energik berkaca mata minus ini pada hari yang dianggapnya bersejarah nantinya, mengajar ‘Berpikir Kreatif’, di Kelas VI tingkat dasar di sebuah Sekolah Dasar (SD) milik sebuah organisasi masyarakat (ormas) Islam modernis di kota cukup terkenal dengan awalan huruf L.

‘Assalaamu ‘alaikum anak-anak!’, sapanya dengan renyah dan khusyuk bersemangat di hadapan anak-anak didiknya. Hari ini dalam rencana semalam yang telah dirancangnya, ustadzah Ivana akan memulai kelas dengan pertanyaan ‘Apa cita-cita kalian, Anak-anak?’. Maka, bertanyalah dia kepada seluruh kelas. Setiap siswa dimintanya untuk menulis jawaban di atas kertas kecil yang telah dipersiapkannya dan dibagikannya sebelum mengajukan pertanyaan tadi. ‘Di kertas jawaban, jangan lupa diberi nama ya’, tambahnya.

Setelah 30 menit berselang, ustadzah Ivana meminta anak-anak muridnya untuk mengumpulkan kertas bertuliskan cita-cita masing-masing. Satu per satu diperiksanya apa yang telah dituliskan oleh murid-muridnya itu. Diklasifikasikannya jawaban murid-muridnya itu, dan dia mendapati murid-muridnya memiliki cita-cita yang hebat. Ada yang ingin menjadi dokter, guru, pilot, tentara, pengusaha, arsitek, dan lain-lain. Yang ingin jadi dokter ada yang menyebut ingin jadi dokter gigi, dokter anak, dokter hewan; yang ingin jadi guru ada yang mengatakan ingin jadi guru matematika, guru bahasa Arab/Inggris, guru al-Qur’an; dan lain sebagainya.

Ketika ustadzah Ivana bertanya kenapa memiliki cita-cita seperti disebutkan di atas, mereka menjawab beragam. Ada yang menjawab karena disuruh bundanya yang dokter juga, atau diberi saran bapaknya yang guru juga. Demikian pula yang ingin jadi tentara. Ada yang menanggapi pertanyaan dengan menyebutkan alasan karena ketertarikannya kepada cita-cita yang dipilihnya, seperti jadi arsitek dan pilot. Sedangkan yang memilih menjadi pengusaha karena senang melihat pengusaha, atau karena akan meneruskan bisnis orang tuanya.

Sungguh cita-cita semua murid-muridnya dirasakan ustadzah Ivana seperti diikuti optimisme yang cukup bagus. Ustadzah Ivana kemudian bergumam dalam hatinya sembari berdoa mudah-mudahan anak didiknya dapat berhasil menggapai cita-citanya kelak.

Belum selesai berdoa dalam gumaman itu, sang ustadzah tertegun dengan kertas kecil yang sekarang ada di hadapannya, dan kertas jawaban itu belum sempat diklasifikasikannya. Kertas ini berada di barisan paling bawah dari tumpukan kertas berisi cita-cita seluruh muridnya di kelas itu. Berada di paling bawah, tetapi justru menghentak kesadarannya dengan mendalam. Yaa….., kesadaran ustadzah ini terhentak karena jawaban cita-cita dari anak ini berbeda dengan teman-temannya yang lainnya.

Ini dia cita-cita satu anak murid ustadzah itu:

Nama: Ahmad Jalaluddin Rumi

Cita-Cita: Kepingin menjadi Kekasih Allah

 

Di tengah sontak dirinya karena kaget itu, ustadzah yang juga psikolog ini bertanya kepada Ahmad Jalaluddin Rumi muridnya itu, apa yang dimaksudnya dengan cita-citanya dan kenapa dia memiliki cita-cita seperti itu? Dengan lugu tetapi mantap serta penuh keyakinan, Rumi menjawab pertanyaan ustadzah ahli psikologi ini. ‘Bukankah Allah adalah Pencipta kita, ustadzah? Allah yang merawat, mengatur dan berkuasa atas diri kita. Allah juga Maha Rahman dan Rahim atas kita. Aku ingin merasakan Rahman dan Rahim-Nya secara langsung. Makanya aku ingin menjadi kekasih-Nya.’

Ustadzah Ivana, dengan wajah serius, tertegun sekaligus terharu dengan jawaban murid kecilnya ini. Betapa tidak, pada usianya yang masih belia, dia telah mengerti bagaimana seharusnya membangun hubungan dengan Allah.

‘Lalu, kenapa kamu memiliki cita-cita seperti ini?’, tanya ustadzah Ivana lagi menyelidik. ‘Karena Rasulullah Saw., mengajarkan kita demikian’, tegasnya. ‘Bukankah kita harus meneladani Rasulullah Saw.; bukankah Rasulullah qudwah kita; dan Rasulullah Saw., adalah Kekasih Allah Swt. Saya ingin meniru Rasulullah Saw., menjadi kekasih Allah Swt.’

‘Siapa yang mengajarkan hal ini kepadamu, Nak?’, Tanya ustadzah lagi, dengan mata agak berkaca-kaca karena terharu. ‘Ustadzku di masjid Ar-Rahmah yang mengajarkannya kepadaku, ustadzah. Dia teman ustadzah di kampus kan?’, jawabnya polos dan tanpa tedeng aling-aling.

‘Ustadzku selalu memberi wejangan kepadaku agar terus-menerus meneladani Rasulullah Saw., kekasih Allah yang sejati.’ Ustadzku melanjutkan wejangannya begini: ‘Rasulullah Saw., adalah seorang hamba Allah yang paling mulia derajatnya, yang paling dekat dengan-Nya, yang paling sabar dalam menjalani kehidupan dunia dengan tetap menaati Allah Swt., yang paling istiqamah, yang paling qana’ah, yang paling mencintai Allah dengan cinta paling sempurna, yang baik terhadap keluarga dan tetangganya, bahkan tetap baik terhadap musuh-musuhnya ketika musuh-musuhnya itu berbuat kasar terhadapnya, yang tetap mengerjakan ibadah mendekatkan diri kepada-Nya meski telah dijamin surga, yang tetap rendah hati meski ilmu setinggi langit, derajat dan pangkat diberikan Allah kepadanya.’ ‘Ustadzah, wejangan ustadzku di masjid Ar-Rahmah inilah yang membuatku semakin mencintai Allah dan Rasul-Nya. Aku ingin meneladaninya sebagai Kekasih-Nya. Aku kepingin menjadi kekasih Allah.’

Kawans, itulah jawaban anak SD kelas VI yang masih polos dan berwajah bercahaya itu. Ustadzah yang psikolog yang adalah kawanku itu jadi semakin kepincut untuk meneliti dan menguliti keseharian, raihan akademik serta kepribadian Rumi, anak didiknya ini.

Sungguh di luar dugaan ustadzah ini, karena ternyata raihan akademik anak muridnya ini biasa-biasa saja, meski masih termasuk the best ten. Secara akademik tidak terlihat terlalu menonjol. Namun, ada hal yang berbeda yang ada pada aura anak lelaki dengan postur tidak terlalu jangkung, dan tidak terlalu gemuk ini. Bila siapapun dekat dengannya, seseorang akan merasakan ketenangan tingkat dewa. Sorot matanya teduh, wajahnya sedap dipandang, lisannya selalu dihiasi dzikir dan kata-kata santun, ringan tangan membantu kawannya yang membutuhkan meski tidak diminta sekalipun. Akhlaknya benar-benar dijaganya untuk tetap dalam ridla Allah Swt.

Meniru Rasulullah Saw., ungkapnya, dia sangat hormat terhadap kakek yang telah menggantikan posisi sebagai orang tuanya, karena bapaknya meninggal ketika dia masih berusia dua tahun. Dia sangat baik kepada tetangga, yang lebih tua darinya, ataupun sebaya serta lebih muda darinya. Dia sangat pemurah meski tidak berlebih apa yang ada padanya. Dia sangat menghormati guru-gurunya. Overall, dia adalah anak belia dengan akhlak yang baik.

Ketika ditanya tentang ilmu pengetahuan, dia lagi-lagi mengutip ustadz panutannya di masjid Ar-Rahmah. Dia mengatakan,“Ilmu pengetahuan itu milik Allah, cahaya Allah. Kita harus bersyukur telah dianugerahi, dititipi, diamanahi ilmu pengetahuan oleh Allah Swt. Caranya adalah dengan mengamalkannya, dan tidak merasa sombong karena kita berilmu. Sungguh, menjadi kekasih Allah bukan karena ilmu yang kita pelajari, bukan karena kita hafal dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Sunnah, bukan karena kita keturunan orang hebat. Menjadi kekasih Allah, orang yang dipilih menjadi kekasih Allah, adalah karena dia dipilih Allah untuk diberi keyakinan mencintai Allah tanpa batas, mencintai Allah dengan sempurna. Tak pernah kuatir dan sedih atas takdir-takdir Allah yang dialaminya. Mencintai makhluk-makhluk Allah dengan pandangan dan sikap rahman rahim.” Oleh karena itu, bagi Rumi, murid ustadzah Ivana yang belia ini, bersiap menjadi kekasih Allah menandaskan suatu sikap selalu patuh pasrah kepada Allah Swt. Yakin total akan Allah, lalu istiqamah di jalan-Nya. Selebihnya, biarlah Allah yang mengatur semuanya.

Mengutip ustadz di masjid Ar-Rahmah lagi, Rumi menyampaikan suatu kata dalam bahasa Arab yang sangat sufistik dan filosofis: “man ‘arafallaah, ‘arrafahullaah; man ‘adhdhomallaah, ‘adhdhomahullaah; man karramallaah, karramahullaah”. Kira-kira terjemahannya adalah: “Barangsiapa mengenal Allah, Allah akan kabarkan kepada alam semesta bahwa hamba-Nya ini adalah kekasih-Nya; barangsiapa mengagungkan Allah, Allah akan agungkan dia; dan barangsiapa memuliakan Allah, Allah akan muliakan dia.”

“Ustadzah, apalagi yang kita harapkan dari dunia ini, bila cita-cita menjadi kekasih Allah telah memenuhi seluruh sudut diri dan jiwa. Hanya berharap, mari bersiap menjadi kekasih Allah.” Ustadzah lalu menimpali sambil menitikkan hari airmata haru: “Semoga cita-citamu diberkahi Allah, dan tercapai ya, Nak!”. Ustadzah ini sambil terisak termangu dalam renungan, betapa hari ini benar-benar bersejarah dalam hidupnya, bahwa dia disadarkan oleh anak didiknya sendiri tentang hakekat hubungannya dengan Allah Swt. Tentang cita-cita yang abadi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *