Konsep dan Implementasi “Wasathiyah”
Al-Wasathiyah : Moderasi Paham & Pengamalan Islam
Muh. Waluyo, Lc., M.A[1] & Mulkhlis Rahmanto, Lc., M.A.[2]
- Pendahuluan
Dalam diskursus prilaku keberagamaan umat, terdapat dua sikap yang paradoks; ifrâth (ekstrim kanan), sebagai sikap ekstrem atau berlebihan dalam menjalankan agama, dan sebaliknya tafrȋth (ekstrim kiri) yaitu sikap ekstrem atau berlebihan dalam mengurangi ukuran yang semestinya dalam beragama. Paradoksi beragama dalam tradisi tiga agama besar di dunia tampak dalam prilaku keberagamaan Yahudi dan Nashrani, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Misalnya saja, sikap orang-orang Yahudi yang berlebihan merendahkan harkat dan martabat Nabi Isa ‘alaihissalam yang mereka yakini sebagai “anak pezina” (tafrȋth). Sementara orang-orang Nashrani melabelinya sebagai “anak Tuhan” yang menunjukkan sikap berlebihan dalam menyanjungnya (ifrâth).[3]
Ekstrimisme kanan juga terfomulasikan dalam kalangan kaum Brahmana Hindu beraliran keras, Rahib-Rahib Kristen yang bertindak sewenang-wenang dan aliran lain yang berprinsip menyiksa diri dan mengaharamkan rezeki yang baik-baik serta perhiasan yang telah dihalalkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya. Sedangkan ekstrimisme kiri juga tercermin pada aliran “mazdak” yang lahir di Persi. Permisivisme mutlak merupakan ajaran mendasar mereka. Permisivisme mutlak memperkenankan manusia melepaskan kendali dalam mengambil dan menggunakan segala sesuatu, hingga terhadap kehormatan yang suci menurut fitrah manusia. [4]
Dalam tradisi bangsa Arab jahiliyah juga lahir sikap ekstrimisme dengan memutar balikkan timbangan penghalalan dan pengharaman. Mereka menghalalkan minuman keras, riba yang berlipat ganda, melecehkan wanita serta menghalalkan membunuh anak perempuan mereka dengan cara menyembelihnya atau menguburnya hidup-hidup.[5] Sementara di lain segi mereka mengharamkan atas diri mereka hal-hal yang baik dari tanaman dan binatang, kemudian menjadikan semua ini sebagai hukum agama. Ekstrimisme ini telah dikisahkan di dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya adalah surat al-An’am ayat 137-138:
وَكَذَٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ. وَقَالُوا هَٰذِهِ أَنْعَامٌ وَحَرْثٌ حِجْرٌ لَّا يَطْعَمُهَا إِلَّا مَن نَّشَاءُ بِزَعْمِهِمْ وَأَنْعَامٌ حُرِّمَتْ ظُهُورُهَا وَأَنْعَامٌ لَّا يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا افْتِرَاءً عَلَيْهِ ۚ سَيَجْزِيهِم بِمَا كَانُوا يَفْتَرُونَ
“Dan Demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan mereka mengatakan: ‘Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki’, menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah, kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan.”
Syeikh as-Sa’di (2005) dalam kitabnya Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Manan menjelaskan bahwa ekstrimisme bangsa Arab Jahiliyah ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti rusaknya akal pikiran, sempitnya pengalaman, dan kebodohan yang akut. Sementara Imam asy-Syaukani (2001) dalam Fathul Qodir mengungkapkan kisah nyata dengan mengutip pendapatnya Qotadah bahwa ada seorang Arab pada zaman Jahiliyah yang tega menghabisi nyawa anaknya karena dia takut jatuh miskin.
Selain di Arab, ekstrimisme juga terjadi di Barat. Dunia barat kini tengah menghadapi problem homoseksual yang sangat serius. Pemimpin-pemimpin gereja semakin terdesak opininya, karena selain mendukung praktik ini dengan alasan hak asasi manusia, sebagian pemuka Kristen dan cendekiawannya pun telah menjadi pelaku homoseksual atau lesbianisme. Padahal kalau kita lihat sejarah, dulu dunia barat memperlakukan kaum homoseks dengan sangat kejam dan sadis. Robert Held dalam bukunya Inquissition, sebagaimana dikutip oleh Husaini (2005), memuat foto-foto dan lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh gereja saat itu. Dipaparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat penyiksa yang sangat brutal, seperti alat pembakaran hidup-hidup, pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat serta model siksaan lainnya. Sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan sekitar 2 sampai 4 juta wanita telah dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa. Dalam buku itu juga digambarkan bahwa pelaku homoseksual digergaji hidup-hidup. Mencermati kasus ini, dapat dikatakan bahwa dunia barat berangkat dari titik ekstrim ketitik ekstrim lain. Berdasar fenomena itu Allah menegaskan :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. Al-Nisa’/4:171)
Setelah Muhammad SAW wafat kemudian muncul beberapa aliran dalam tubuh umat Islam terutama pada zaman Ali bin Abi Tholib. Pada saat itu Khawarij dan Syiah mulai berani menampakkan diri dan bermunculan amalan-amalan menyimpang baik Aqidah, Ibadah maupun akhlak dan kemudian muncul gerakan-gerakan yang melampaui batas dan jauh dari sikap washathiyah (moderat). Fenomena seperti itu terus terjadi sampai pada masa sekarang dan sikap berlebih lebihan (Ifrath), meremehkan (tafrith), kasar (Jafa’) adalah pemendangan yang sudah biasa muncul disebagian gerakan Islam.
Istilah al-wasathiyah dewasa ini mengalami berbagai upaya pembiasan sehingga terlihat keluar dari maknanya yang Islami dan asli; jauh dari posisi utamanya sebagai karakteristik inti pedoman Islam dalam berfikir, menjalani hidup, mengkaji, mengaplikasikan, menerapkan, mengevaluasi, penerapan nilai dan pokok-pokok ajaran Islam. Istilah ini telah disimpangkan dari makna aslinya hingga tampak tidak memiliki hubungannya sama sekali dengan makna moderat.
Dalam praksis kehidupan kontemporer, kedua sikap tafrith dan ifrath tersebut justeru tidak sedikit mewarnai model dan gaya keberagamaan kita, terlebih di Negara-negara muslim tingkat pluralitas etnik dan budaya yang tinggi. Tampak sebagian umat Islam cenderung bersikap sangat kaku, dan bahkan keras dalam mengartikulasikan paham keagamaan yang diyakininya, tanpa memberi ruang perbedaan sedikitpun. Di sisi lain, kita dapat menyaksikan sebagian lagi begitu kendor, dan bahkan permisif dalam beragama dengan mengadopsi berbagai ekspresi budaya dan pemikiran asing yang menyimpang. Kedua kecenderungan ini merupakan manifestasi dari sikap ghuluw.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk menguraikan kembali sifat-sifat dasar Islam, yang membedakannya dari tradisi agama-agama, dan budaya lainnya. Salah satu karakteristik Islam yang dititahkan Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya ialah predikatnya sebagai “ummatan wasatha” (umat tengahan).
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Al- Baqarah: 143
Kemudian umat Muhammad dijadikan umat pilihan terbaik dengan Rasul pilihan yang dibekali dengan kitab al Qur’an yang sempurna,
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu”. Al Maidah: 48
- Pengertian Al-Wasathiyah
- Makna Etimologi
Ibnu Faris menjelaskan dalam kitab “Maqayisul- Lughah” bahwa rangkaian huruf (و س ط) menunjukan makna adil dan pertengahan. Perkara yang paling adil adalah أوسطه (yang paling tengah). Allah Swt. berfirman, “…sebagai umat yang pertengahan.” (Al- Baqarah:143). Umatan Wasathan adalah kaum yang paling mulia dan paling bermartabat. Ibnu Mandzur berkata, “Pertengahan sesuatu adalah bagian yang berada di antara dua ujung. Seorang penyair berkata: “Jika aku bepergian, tempatkanlah aku di tengah-tengah! Karena aku lelaki tua yang tidak mampu menjinakkan kuda yang liar.”
Penyair ini bermaksud, “Tempatkanlah aku di tengah-tengah kalian; di mana kalian dapat memperhatikan dan melindungiku! Jika aku berada sendirian di depan atau di belakang kalian, saya kawatir hewan tungganganku memberontak kepadaku.[6] Bahwa الشيء الوسط(sesuatu yang ada di tengah) adalah أفضله وأعدله(hal yang paling utama dan lurus).[7]
Fairuz Abadi berkata, “Tengah (al-wasath) dari segala sesuatu adalah yang paling terbaik. Allah Swt. berfirman, ‘…demikianlah Kami telah menjadikan kalian sebagai umat yang pertengahan.’ (Al-Baqarah:143), artinya: yang paling adil dan terbaik.[8]
Ibnu Manzur menukil perkataan seorang Arab Badui yang berkata kepada Imam Hasan, “Ajarkanlah kepadaku agama yang pertengahan, bukan yang berlebihan sehingga menyimpang jauh dan bukan pula yang tidak lengkap sehingga banyak yang gugur terabaikan!” Kemudian Ibnu Mandzur mengomentari perkataan di atas, “Yang dimaksud dengan pertengahan di sini adalah perkara yang berada di tengah-tengah, antara yang berlebihan dan yang lalai. Ali bin Abi Thalib mengatakan., “Orang yang terbaik adalah orang yang berada di tengah-tengah; di mana orang yang lalai berusaha untuk mencapainya dan orang yang berlebihan kembali bersamanya.”[9]
Pendapat yang semakin memperjelas makna etimologi ini, di antaranya adalah perkataan seorang penyair: Dahulu, dia berada di tengah-tengah; kemudian ia terpisahkan oleh peristiwa peristiwa hingga ia pun menjadi berada di ujung.
Penyair ini dapat menggabungkan antara makna pertengahan dan pinggiran dalam rangkaian kalimat secara cerdas. Hal ini menjelaskan perbedaan antara makna sikap tengah-tengah dan sikap yang ekstrim.
- Makna Terminologi
Arti al-wasathiyah secara istilah, adalah sebuah kondisi terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sisi/sikap yang ekstrem, sikap berlebih-lebihan dan melalaikan. Al-Wasathiyah, juga bisa diartikan dengan kondisi seimbang dan setara antara dua sisi; di mana satu sisi/aspek tidak melampaui aspek yang lain; sehingga tidak ada yang berlebihan dan tidak pula melalaikan, tidak melampaui batas dan mengurangi. Al-wasathiyah adalah juga merupakan sikap mengikuti yang lebih utama, lebih pertengahan, lebih baik dan lebih sempurna.[10]
- Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, “Kata Wasathiyah juga diungkapkan dengan istilah tawazun (seimbang) yaitu bersikap tengah-tengah dan seimbang antara dua aspek yang saling berseberangan; di mana salah satu aspek tidak mendominasi seluruh pengaruh dan menghilangkan pengaruh aspek yang lain; di mana salah satu aspek tidak mengambil hak yang berlebihan sehingga mempersempit hak aspek yang lain.
Contoh aspek-aspek yang saling berseberangan adalah aspek ruhiyah (spiritual) dan madiyah (materiil); aspek individual dan aspek kepentingan kolektif; aspek realitas dan idealis; aspek yang sikap konstan (dogmatik) dan aspek yang mungkin berubah-rubah. Adapun makna seimbang di antara kedua aspek yang berlawanan, adalah membuka ruang masing-masing aspek secara luas; memberikan hak masing-masing secara adil dan seimbang, tanpa penyimpangan, berlebih-lebihan, pengurangan, tindakan melampaui batas atau merugikan.[11]
- Al-Wasathiyah Dalam Al-Qur`An Dan Sunnah
Kata “ wasatha dan turunannya disebutkan dalam Al-Qur`an di beberapa tempat, diantaranya bermakna:
- Wasathiyatu al-Sya’air (moderat dalam syiar); seperti yang disebutkan dalam firman Allah “…dan janganlah kamu mengeraskan suara dalam shalatmu dan jangan pula kamu merendahkannya; dan carilah jalan tengah di antara keduanya”. (al-Isra’:110).
- Wasathiyatu al-infaq (moderat dalam berinfak); sebagaimana dalam firman Allah., “…dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah di antara yang demikian.” (al-Furqan: 67); juga dalam firman-Nya, “…dan janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya!” (al-Isra’: 29).
- Wasathiyatu as-suluk (moderat dalam perilaku); seperti dalam firman Allah,. “…dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan rendahkanlah suaramu!” (Luqman:19); juga dalam firman-Nya, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan! Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31).
- Wasathiyatu al-mu’amalat (moderat dalam transaksi); sebagaimana dalam firman Allah, “…dan sempurnakanlah takaran dan timbangan secara adil!” (al-An’am: 152).
- Wasathiyatu al-qadha’ (moderat dalam peradilan); seperti dalam firman Allah, “…damaikanlah di antara keduanya (yang berselesih) secara adil; dan hendaklah kamu berlaku adil!” (al-Hujurat: 9).
- Wasathiyatu al-khairiyah (moderat sebagai umat terbaik); sebagaimana dalam firman Allah., “Demikianlah, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan.” (al- Baqarah:143); juga dalam firman-Nya, “Berkata seorang yang paling baik di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepada kalian, “Hendaklah kalian bertasbih (kepada Tuhan)?” (al-Qalam: 26).
- Wasathiyatu al-zaman (pertengahan dalam waktu); seperti disebutkan dalam firman Allah., “…peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah pula) shalat al-wusthaa![12]” (al Baqarah: 228). Makna shalat pertengahan (al-wusthaa) di sini tidak lantas menyimpang kendati yang dimaksudkan adalah sholat shubuh atau sholat ashar (sesuai pendapat yang terkuat), atau bahkan shalat-shalat yang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa kitab Sebab yang dimaksudkan dengan kata “alwustha” di sini adalah isyarat terhadap waktu, bukan yang lain.
- Wasathiyatu al-makan (pertengahan dalam tempat); sebagaimana dalam firman Allah., “Kemudian mereka (kuda-kuda perang) menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.” (al-‘Adiyat: 5). Ayat ini memberikan isyarat pertengahan tempat; karena kudakuda perang tersebut berlari kencang ke tengah-tengah pasukan musuh, memecah dan merusak barisan mereka.
Wasathiyah (moderat) terdapat pada sunnah Nabi SAW., baik tersurat (lafdzi) ataupun tersirat (maknawi), di antaranya:
- Rasulullah SAW. bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلجَةِ . رواه البخاري.
“Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam melaksanakan agama ini, melainkan dia akan dikalahkan. Maka lakukanlah seperti yang diperintahkan; atau lakukan apa yang mendekatinya; berbahagialah dan memohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan di waktu malam!” (HR. Bukhari).[13]
- Rasulullah SAW. berdoa,
وَأسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى ، والعَد لَ فِي الغضَبِ واالّرِضَى. رواه ابن حبان
“Aku memohon kepada-Mu kesederhanaan dalam kefakiran dan kekayaan; dan sikap adil di kala marah atau rida.” (HR. Ibnu Hibban).[14]
- Rasulullah SAW. bersabda,
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِني. رواه البخاري.
“Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah SWT. di antara kalian semua. Meskipun begitu, aku berpuasa dan berbuka; sholat dan tidur; dan aku juga menikahi perempuan. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, ia bukanlah termasuk golonganku.” (HR. Bukhari).[15]
- Diriwayatkan dalam hadits Anas ra.,
“Rasulullah SAW. berbuka pada suatu bulan, hingga kami mengira beliau tidak berpuasa pada bulan itu. Beliau juga berpuasa hingga kami mengira beliau tidak pernah berbuka (berhenti berpuasa). Ketika kamu hendak menyaksikan Beliau shalat malam, kamu akan mendapatkannya sedang shalat; dan ketika kamu ingin menyaksikannya tidur, kamu juga akan melihatnya tidur.” (HR. Bukhari).[16]
- Dijelaskan pula dalam hadits riwayat Anas bin Malik., bahwa Nabi SAW. memasuki masjid dan melihat tali terbentang di antara dua tiang. Beliau pun bertanya, “Tali apakah ini?” Kami menjawab, “Ini adalah tali milik Zainab yang ia gunakan untuk bersandar jika merasa lelah.” Maka, Beliau pun bersabda, “Lepaskanlah tali ini! Sholatlah kalian dalam keadaan giat! Jika sudah merasa lelah, maka tidurlah!” (HR. Bukhari).[17] Dalam riwayat lain, beliau berkata kepada Zainab, “Jikakamu mengantuk, maka tidurlah!”.
- Diriwayatkan dari Aisyah ra., “Khaulah binti Hakim bin Umayah bin Harits bin Auqash As-Sulamiyah, istri Utsman bin Madh`un, datang menemuiku. Rasulullah menyaksikan penampilan buruk Khaulah. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Aisyah, alangkah buruk penampilan Khaulah!” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, ia bagaikan wanita yang tidak mempunyai suami. Suaminya selalu berpuasa di siang hari dan sholat di malam hari; maka ia pun membiarkan dirinya dan tidak merawatnya.” Maka, Rasulullah SAW. mengirimkan pesan kepada Utsman bin Madh`un, “Wahai Utsman, apakah kamu tidak menyukai sunah-sunahku?” Utsman menjawab, “Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah! Sebaliknya, saya ingin mengikuti sunnahmu.” Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Sesungguhnya aku tidur dan melakukan sholat; berpuasa dan berbuka; juga menikahi wanita. Takutlah kepada Allah, wahai Utsman! Ketahuilah bahwa keluargamu melalui hak yang wajib kamu tunaikan; tamumu juga memiliki hak atas dirimu; dan jiwamu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Berpuasalah, kemudian berbukalah! Laksanakanlah sholat dan tidurlah!”.[18]
- Rasulullah telah mempersaudarakan antara Abu Darda` r.a. dan Salman Al-Farisi. Suatu ketika, Salman menyaksikan istri Abu Darda` dalam keadaan tidak terurus. Ia pun bertanya, “Wahai Ummu Darda’, kenapa keadaanmu seperti ini?” Ummu Darda’ menjawab, “Saudaramu itu selalu melakukan shalat di tengah malam dan berpuasa di siang hari.” Maka, Salman berkata kepada Abu Darda`, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak yang harus kamu tunaikan; jiwamu memiliki hak yang wajib kamu berikan; dan keluargamu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Maka, tunaikanlah semua hak kepada setiap yang berhak!” Berkaitan dengan kejadian ini, Rasulullah SAW. bersabda, “Salman itu benar.”
- Amirul Mukminin, Ali bin Abu Thalib berpesan kepada putranya, Hasan, menjelang beliau wafat, “Wahai putraku, berhematlah (jangan berlebih-lebihan) kamu dalam menggunakan rezekimu; seimbanglah dalam beribadah; dan laksanakanlah selalu amalan yang kamu mampu!” yakni amalan-amalan yang pertengahan dan tidak melampaui batas
- Aspek-Aspek Sikap Moderat
Al-wasathiyah (sikap moderat) dalam Islam, tidak hanya terbatas pada suatu aspek kehidupan tertentu saja; melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan, terstruktur rapi dalam setiap aspek dan terbentang seluas cakrawala kehidupan.
- Moderat Dalam Pemikiran dan Pergerakan
- Kemoderatan Akidah Yang Sesuai Dengan Fitrah
Akidah Islam merupakan keyakinan wasathiyah, akidah yang sesuai dengan fitrah, baik dalam hal toleransi, kejelasan, konsistensi, keseimbangan hingga tingkat kemudahannya. Moderat dalam akidah akan jauh dari penyangkalan manusia yang tidak beriman dan golongan yang menyerupakan sesuatu terhadap wujud Allah, sebagaimana yang terjadi pada kaum Yahudi yang menyatakan bahwa tangan Allah terbelenggu dan kaum Nasrani yang mengatakan bahwa Isa Al-Masih adalah putra Allah serta kaum materialis yang mengingkari hal-hal ghaib; dan dari kedustaan penganut spiritualisme yang hidup di luar realita kehidupan.
Moderat dalam akidah Islam berkonsentrasi pada petunjuk al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, jauh dari filsafat yang kebablasan karena bersandar kepada dalil naqli dan dalil aqli. Sikap moderat akan menguatkan hubungan antara nurani manusia dengan penciptanya, Allah SWT. Hal ini, agar manusia mampu mencapai bentuk pengetahuan rohani sebagai bentuk pengetahuan yang paling benar dan termanis. Imam Hasan Al-Bashri mengatakan, “Ilmu memiliki dua dimensi: ilmu lisan yang akan menjadi alasan Allah untuk mengazab manusia, dan ilmu hati yang bermanfaat.”[19]
Sikap moderat berdiri diatas bangunan akidah yang menyeluruh (tidak parsial). Allah SWT memperingatkan orang-orang yang bersikap parsial terhadap al-Quran dalam firman-Nya, “…sebagaimana (kami telah memberikan peringatan), Kami menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Quran itu terbagi-bagi.” (Al-Hijir: 90-91). Al-Quran merupakan pedoman hidup yang sangat menyeluruh dan menjadi pedoman hidup dan landasan perundang-undangan..
Sikap moderat dalam aqidah juga tercermin dalam kehati-hatian dalam perkara takfir. Pengkafiran seorang muslim hanyalah berlandaskan perkara qath’i yang tidak mengandung beberapa kemungkinan atau kesamaran. Karena perkara qath’i termasuk dalil-dalil muhkam dan hukum-hukum yang jelas. Setiap orang yang telah menyatakan dua kalimat syahadat, maka darahnya terpelihara dan tidak boleh ditumpahkan kecuali dengan alasan-alasan yang benar sebagaimana yang telah ditegaskan dalam dalil-dalil syariat.
- Moderat Dalam Syiar-Syiar Yang Mendorong Upaya Pemakmuran
Sikap moderat dalam melaksanakan syiar-syiar Islam dilandasi oleh firman Allah Swt., “Wahai orang-orang yang beriman, apabila (telah) diserukan panggilan menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah transaksi jual beli! Karena yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila sudah (selesai) ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah! Dan berzikirlah kepada Allah sebanyak banyaknya supaya kamu beruntung.” (al-Jum’ah: 9- 10).
Kewajiban sebagai bentuk tanggung jawab dalam Islam tidaklah sulit dan memberatkan serta tidak mungkin bertentangan dengan tuntutan hidup dan keluar dari batas kemampuan manusia, seperti bekerja keras mencari rizki sebagai jaminan keberlangsungan hidup; berkerja untuk memenuhi kebutuhan; bekerja keras untuk mewujudkan kemakmuran; dan berkorban untuk memimpin umat guna membangun peradaban.
Sikap moderat dalam syiar-syiar Islam juga tercermin dalam kaidah-kaidah perundang-undangan Islam. Kaidah-kaidah fikih yang dibuat oleh para ulama untuk menyatukan cabang-cabang masalah fikih, semuanya menegaskan nilai moderat ini secara gamblang. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah:
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesulitan menuntut adanya kemudahan”
الضَّرُورَةُ تُبِيحُ المَحْظُورَات
Keadaan darurat menyebabkan bolehnya hal-hal yang dilarang
أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
Dalam keadaan darurat, boleh melakukan perkara haram yang paling ringan madharatnya
الاضطرار يرفع الإثم
Keadaan terpaksa menggugurkan suatu dosa
الضرر الخاص يتحمل لصالح رفع الضرر العام –
Kemadharatan yang bersikap khusus (personal) ditanggung (dilakukan) untuk menghilangkan kemadharatan yang bersifat umum
الأصل في الذمة البراءة
Hukum asal orang yang mendapat tanggungan (titipan) adalah dinyatakan bebas
الأمر إذا ضاق اتسع، وإذا اتسع ضاق
Apabila sebuah perkara mengalami kesulitan maka menjadi lapang; dan jika menjadi lapang, maka kembali menjadi lebih sempit (terbatas)
Seluruh contoh kaidah tersebut akan mewujudkan sikap seimbang yang sangat detail; melahirkan batasan yang bijaksana dan terjaga dari kecenderungan terhadap salah satu sisinya. Hal ini karena sebuah perkara berjalan dan terus melebar di area tertentu; sehingga apabila sudah mencapai pada batas tertentu dan hampir melampauinya, ia kembali menuju arah yang berlawanan secara otomatis agar tetap seimbang sebelum mencapai batas tidak sempurna atau ekstrim (berlebihan).[20]
Dalil (nash) yang jelas dan pasti, seperti qishash, had dan sebagian permasalahan fikih lainnya, dikecualikan dari kaidah tersebut karena hal itu berada di tengah-tengah (tawassuth) yang tidak dapat menerima penambahan atau pengurangan, seperti halnya ijtihad ketika terdapat nash (dalil pasti), tidak dapat diterima secara totalitas.
- Moderat Dalam Metode (Manhaj)
- Sudut Pandang Yang Universal
Risalah Islam adalah risalah yang universal, terbentang luas hingga meliputi seluruh masa dan mengatur seluruh kehidupan umat; dan menancap dalam hingga mencakup seluruh urusan duniawi dan ukhrawi. Islam -sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum sekuler- tidak hanya terbatas pada aspek akidah dan ibadah saja, melainkan Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Pernyataan kita ini harus mencakup nilai universalitas Islam ini. Pernyataan ini harus menjelaskan bahwa Islam adalah risalah agama untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, tatanan politik negara, pembentukan umat, kebangkitan bangsa, dan reformasi kehidupan. Islam adalah agama yang sangat sempurna, karena Islam adalah akidah dan syariat; dakwah dan negara; perdamaian dan jihad; kebenaran dan kekuatan; ibadah dan muamalah (transaksi); juga urusan agama dan urusan dunia.
- Prioritas Dalam Pemahaman
Sudut pandang yang benar tentang Islam melahirkan pemahaman bahwa tidak semua perintah dalam Islam berada pada tingkat urgensi yang sama. Sebagian ada yang Wajib dan ada yang sunah, ada yang manfaatnya meluas kepada pihak lain dan ada pula yang manfaat hanya terbatas bagi pelakunya; ada yang bersifat menyeluruh dan ada pula yang bersifat parsial. Tuntutan Sudut pandang yang moderat adalah mendahulukan perkara yang wajib atas perkara yang sunnah; perkara yang bermanfaat luas atas perkara yang manfaatnya terbatas; dan perkara yang universal atas perkara yang parsial.
Pandangan moderat dalam pemahaman ini memiliki tingkat urgensi yang sangat luar biasa. Ketika prinsip ini hilang, manusia akan terjerumus ke dalam jeratan dampat buruk seperti sibuk dan terlena dengan perkara-perkara cabang hingga lupa terhadap perkara-perkara pokok yang bersifat universal, mendahulukan perkara sunnah atas perkara fardhu; perkara tersier atas perkara skunder; atau perkara sekunder atas perkara primer dalam berbagai aspek kehidupan, cenderung mengabaikan faktor sebab dan enggan mengambilkannya hanya berlandaskan praduga dan ketidaktahuan bahwa “sebab” dan “akibat” memiliki hubungan erat, tidak mampu memisahkan antara kebenaran dengan sosok figure, mencampur aduk antara yang permanen (tsawabit) dan hal yang bisa berubah (mutaghayyirat).
- Bertahap Dalam Membangun
Dakwah Islam memiliki tujuan yang mulia yaitu membangun kehidupan masyarakat dengan menggapai idealism dan level tertinggi dalam menerapkan agama Islam dalam realitas kehidupan manusia. Namun, persepsi yang moderat menuntut untuk memahami realitas kehidupan dan memikirkan tahapan-tahapannya mulai dari kondisi yang ada hingga kondisi yang dicanangkan dan diharapkan. Periodisasi menuntut kita untuk mengetahui skala prioritas kerja kita; menuntut kita untuk mengurutkan yang harus didahulukan agar segala upaya kita tidak melintas jauh dari realitas, tidak kehilangan pengaruh, tidak menjadi penghalang manusia untuk menuju jalan Allah., tidak menyimpang dari nilai Islam dan Sunnah Rasulullah SAW. Kewajiban shalat, puasa dan zakat melalui proses periodisasi hingga sampai pada tingkatnya yang bersifat final. Pengharaman riba, khamr (mimuman keras) dan kewajiban memerdekakan budak, semuanya memperhatikan aspek periodisasi.
Penerapan ajaran Islam harus memperhatikan aspek periodisasi; berbeda dengan pemikiran yang harus bersifat universal dan menyeluruh. Ada perbedaan antara teori dan sudut pandang dengan penerapan dan pelaksanaan.
Periodesasi dalam membangun bertujuan untuk meraih kesuksesan tanpa ketergesa-gesaan. Dakwah dan pirantinya perlu dipersiapkan secara sempurna dan memerlukan waktu untuk berproses. Masyarakat sebagai objek dakwah juga tidak serta merta akan menerima ajakan dakwah akan tetapi memerlukan waktu dan proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
- Saling Melengkapi Dalam Perilaku
Islam adalah agama yang moderat dalam akhlak dan perilaku, di antara sikap kaum idealis yang berkhayal bahwa manusia adalah malaikat sehingga mereka menentukan nilai-nilai etika yang tidak mungkin digapai, dan sikap kaum realistis yang menganggap manusia sebagai hewan sehingga mereka menginginkan perilaku-perilaku yang tidak layak baginya. Kelompok pertama terlalu berperasangka baik terhadap fitrah manusia sehingga menganggapnya sebagai kebaikan murni; sedangkan kelompok kedua berburuk sangka terhadap fitrah manusia sehingga menganggapnya sebagai keburukan murni.[21]
Manusia adalah gumpalan tanah dan tiupan ruh yang dititipi akal, jasad dan jiwa oleh Allah.. Kemudian Allah menjadikan nutrisi akal berupa pengetahuan; nutrisi tubuh berupa makanan; nutrisi jiwa berupa penyucian; dan nutrisi perasaan adalah seni yang luhur. Sebagaimana pula Allah menciptakan bagi manusia pengetahuan yang sangatn luas, makanan yang baik, ibadah-ibadah yang suci, dan pendengaran suara yang indah. Maka orang yang berakal adalah orang yang mampu menangkap setiap buruannya (peluang baik) dengan anak panah; memetik bunga dari setiap kebun; dan memenuhi semua kebutuhan fitrahnya sesuai dengan perintah Allah. Sebaliknya, orang yang lalai adalah orang yang menyia-nyiakan satu dari sekian kebutuhan fitrahnya, sehingga tatanannya menjadi rusak dan fungsi penciptaannya menjadi tidak stabil.
Dalam realitas kehidupan kita ada masyarakat muslim sebagai masyarakat yang selalu beribadah, bersungguh-sungguh, bertekad kuat dan bekerja sampai lelah; tidak boleh ada gigi yang terlihat karena tertawa; tidak boleh ada kegembiraan terlukis di wajah manusia. Di sisi lain, juga ada yang melebur pembatas antara yang disyariatkan dan yang dilarang, yang halalkan dan yang haram; sehingga mereka menjadikan kehidupan sebagai permainan dan menyia-nyiakan umur. Kebenaran berada di ditengah-tengah, antara yang berlebihan dan yang menyia-nyiakan. Kebenaran juga menyerukan sikap seimbang dalam akhlak dan perilaku. Sikap moderat dalam perilaku tercermin dalam berbagai sifat, di antaranya adalah:
- Seruan untuk bersikap sedang-sedang dalam berjalan, antara pelan dan terburu-buru. Allah SWT berfirman, “Sederhanalah dalam berjalan!” (al-Furqan: 67)
- Seruan bersikap sedang-sedang dalam berbicara, antara keras dan pelan. Allah berfirman, “…dan sederhanakanlah suaramu!”
- Seruan untuk seimbang dalam berinfak, antara berlebih-lebihan dan pelit. Allah berfirman, “…dan orangorang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir; tetapi (pembelanjaan itu) berada di antara yang demikian.” (al-Furqan: 67).
- Seruan untuk seimbang antara berlebihan (isrof).dalam menggunakan perkara halal dan meninggalkannya. Allah berfirman, “(Makan dan minumlah kalian; dan jangan pula berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31).
- Seruan untuk seimbang dalam menjalani kehidupan, di antara terlena dalam buaian dunia dan menjadi pendeta yang meninggalkan dunia. Allah SWT. berfirman, “Carilah negeri akhirat dalam segala yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu; dan janganlah kamu melupakan kebahagianmu berupa (kenikmatan) duniawi!” (al-Qashas: 77). Allah SWT Juga berkata, “Di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat…” (al-Baqarah: 201); juga firman-Nya, “Kami telah berikan kepadanya pahalanya di dunia; dan ia di akhirat, termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Al-Ankabut: 27)
- Sikap Moderat Dalam Pembaharuan dan Ijtihad
- Terhubung Dengan Sumber Asal (sejarah masa lalu)
Wasathiyah (sikap moderat) termasuk karakter Islam yang utama; karena nilai inilah yang senantiasa menghubungkan kaum muslimin dengan prinsip dasar mereka. Kehidupan saat ini tidaklah terputus dari sejarah masa lalu akan tetapi kehidupan saat ini bukan pula tahanan yang terbelenggu oleh hasil karya generasi terdahulu. Masa kini kaum muslimin paham warisan leluhur untuk generasi seterusnya; karena zaman sekarang bukanlah zaman dulu, lingkungan saat ini bukanlah lingkungan saat itu dan permasalahan sekarang bukanlah permasalahan masa silam.
Kaum muslimin terdahulu berijtihad untuk memecahkan permasalahan mereka saat itu. Maka kita tidak boleh membebani mereka dengan apa yang bukan urusan mereka, untuk menyelesaikan permasalahan kita saat ini. Allah Swt. berfirman, “Itu adalah umat yang telah lalu; bagi mereka apa yang telah mereka lakukan dan bagi kalian apa yang telah kalian usahakan; dan kalian tidak akan ditanya (dimintai tanggung jawab) tentang apa yang telah mereka lakukan.” (al-Baqarah: 41).
- Terhubung Dengan Masa Kini (dunia kontemporer)
Islam memandang kehidupan ini selalu mengalami perubahan dan perputaran. Oleh karena itu, sikap moderat Islam menolak berpisah dari masa kini dan mengabaikan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Kemoderatan Islam juga menolak membungkus ijtihad yang dipengaruhi oleh sebuah kondisi atau lingkungan dengan baju keabadian dan pemeliharaan dari kesalahan dan perubahan, tanpa ada ijtihad lain yang juga dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan lingkungan ijtihad sebelumnya. Hal ini karena nilai murunah (fleksibelitas) dan sa’ah (keleluasan) tidak akan bermakna jika nash dzanni – baik penetapan atau pemahamannya- berubah melalui proses ijtihad menjadi nash qath`i berkaitan dengan hak selain mujtahid. Di sisi lain, seluruh nash qath`i harus tetap terjaga dan tidak boleh mengalami perubahan atau pergantian hingga berubah –karena proses ijtihad– menjadi nash dzanni.
Keterikatan dengan masa kini berlandaskan identifikasi terhadap waktu dan tempat bagi setiap pemahaman (hasil ijtihad); juga berlandaskan pemisahan antara pemahaman yang berkaitan dengan waktu atau tempat tertentu dengan pemahaman yang bersifat mutlak. Kemoderatan Islam menjelaskan bahwa teks-teks syariat (Alquran & Sunnah) adalah terbatas. Sedangkan peristiwa selalu berganti-ganti dan pengalaman (hasil percobaan) tidak tetap dan selalu berubah. Maka, wadah yang mereka miliki belum penuh untuk memuat tambahan-tambahan yang bermanfaat (ijtihad-ijtihad baru).
Hukum harus selalu berkembang dan dinamis sejalan dengan perubahan kondisi dan pergantian keadaan, masa, ruang dan situasi dalam setiap masa dan wilayah, agar tetap sesuai dengan maksud syariat pada masa tersebut tanpa menafikan korelasi dengan hukum asal. Oleh karena itu, kita menjumpai Islam menyeru kaum muslimin untuk berhubungan dengan masa kini (dunia kontemporer) dan mengambil peradaban bangsa lain selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, nilai-nilai pokok akidah, pemahaman, pemikiran, kurikulum pendidikan dan arahan-arahan syariat umat Islam.
Setiap “hikmah” adalah sesuatu yang hilang dan harus dicari. Siapapun yang menemuan dan di manapun hikmah ini ditemukan, dialah yang paling berhak atasnya, tidak penting dari mana hikmah tersebut muncul. Jalan inilah yang ditempuh oleh para generasi shalih terdahulu ketika mereka berhubungan dengan umat lain. Sikap mereka terhadap kebudayaan umat lain adalah sikap seorang yang memahami kaidah asal dan standar hukum agamanya. Sikap inilah yang mereka tujukkan ketika mengambil, menolak, membantah, menerima, membenarkan atau mengingkari kebudayaan umat lain.
- Nilai Moderat dalam Hukum
- Menghormati Kaidah-Kaidah Pokok
Nilai moderat Islam mengagungkan seluruh kaidah pokok yang melandasi bangunan hukum Islam; menjaganya dari tangan-tangan yang hendak mempermainkannya, merubah atau menyelewengkannya, seperti yang menimpa ajaran agama-agama terdahulu-; memeliharanya dari segala upaya mengkosongkannya dari makna dan pemahaman yang dikandungnya.
Hukum-hukum permanen Islam yang tercermin dalam maqasid syariat kulliyah (maksud syariat Islam yang bersifat umum), kewajiban-kewajiban yang bersifat rukun, hukum-hukum yang bersifat qath`i, nilai-nilai akhlak dan lain sebaginya, semuanya merupakan kaidah pokok yang tidak boleh diremehkan. Di antara bentuk meremehkan kaidah pokok ini adalah upaya sebagian orang untuk menggoyahkan perkara permanen ini, dengan memanfaatkan pemahaman yang keliru terhadap nilai kemoderatan Islam, atau melalui berbagai negosiasi dan menetapkan solusi bagi suatu permasalahan.
- Memberikan Kemudahan Dalam Perkara Cabang
Dalam perkara cabang nilai moderat memberikan kemudahan dalam melaksanakan masalah furu’ (perkara cabang) dan ini kebalikan dari perkara pokok. Hal ini dimaksudkan untuk menolak kesulitan dan menghilangkan kesukaran. Ini merupakan metode Nabi SAW yang berlandaskan prinsip mengambil perkara termudah di antara dua pilihan yang diberikan. Rasulullah SAW bersabda, “Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit!”. Imam Sufyan As-Tsauri berkata, “Fikih adalah keringanan dari seorang yang terpercaya. Adapun sikap keras, semua orang mahir melakukannya.”
Sikap moderat mencoba menyeimbangkan antara mengagungkan kaidah pokok dan memudahkan dalam masalah cabang sesuai metode analisis teoritis yang benar, analisis yang objektif, komprehensif dan integral terhadap teks-teks dalil syar’i, analisis yang mengembalikan hukum mutasyabihat kepada hukum yang muhkam, dalil yang dzanni kepada dalil yang qath`i, masalah cabang kepada masalah pokok, dan masalah yang bersifat parsial kepada masalah utama yang bersifat menyeluruh.
- Nilai Moderat dalam Interaksi Peradaban
- Keistimewaan Yang Tidak Mengisolasi
Nilai moderat Islam dalam interaksi peradaban menuntut setiap muslim untuk memahami kekhususan dan keistimewaan agamanya yang tercermin dalam kebenaran pemikirannya, kebenaran sistem dan hukum syariatnya, juga dalam kebenaran sistem interaksi masyarakatnya. Namun, keistimewaan ini bukan untuk mengisolasi kaum muslimin dari umat lain. Keistimewaan ini justru membuka jalan bagi umat Islam untuk berinteraksi dengan umat lain sesuai kadar yang diperlukan.
Islam adalah agama yang memiliki kemampuan hebat untuk berinteraksi dengan segala macam umat manusia sepanjang masa; selain kelompok-kelompok yang memerangi, seperti kaum yahudi, kaum nasrani, para penguasa, kaum fakir, yang berkuliat hitam atau putih, dan lain sebagainya. Interaksi yang moderat selalu terbingkai oleh batasan-batasan berikut:[22]
- Mengakui bahwa perbedaan di antara manusia dalam hal beragama terjadi karena kehendak Allah . Allah berfirman, “Dia-lah yang telah menciptakan kalian, kemudian di antara kalian ada yang kafir dan ada yang mukmin…” (at-Taghabun: 2). Bahkan, Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan atau meninggalkan; untuk beriman atau mengingkari. Allah berfirman, “Maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman! Barangsiapa yang ingin (kafir), silahkan ia kafir!” (al-Kahfi: 29).
- Peran dan tugas manusia moderat hanyalah menyampaikan dan menjelaskan kebenaran melalui ucapan atau perbuatan, tanpa intimidasi atau paksaan. Allah berfirman, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah seluruh orang di muka bumi ini beriman. Maka, apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar menjadi orang-orang yang beriman?” (Yunus: 99).
- Kesamaan nenek moyang dan martabat kemanusiaan. Hal ini selaras dengan firman Allah., “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian.” (al- Hujurat: 12) “Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak keturunan Adam dan mengangkut mereka di daratan dan di lautan; Kami memberi mereka rezeki dari sesuatu yang baik-baik.” (al-Isra’: 70). Manusia yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah manusia yang paling bertakwa. Mereka berasal dari satu orang ayah. Ikatan kemanusiaan di antara mereka selalu ada, baik mereka kehendaki atau tidak. Ikatan ini melahirkan kewajiban-kewajiban syariat, seperti berdiri ketika ada jenazah apapun keyakinannya. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi Saw berpapasan dengan jenazah. Beliau pun berdiri. Seorang sahabat berkata kepada, “Itu adalah jenazah seorang Yahudi.” Beliau bersabda, “Bukankah ia juga manusia?”[23] Secara eksplisit, hadits ini menjelaskan makna penghormatan dan pengakuan terhadap hak-hak orang lain.
- Saling mengenal. Allah Swt. berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian.” (al- Hujurat: 12) Diriwayatkan dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Saya bersaksi bahwa seluruh hamba (manusia) adalah bersaudara.”[24] Sikap saling mengenal adalah ajaran yang diserukan oleh Alquran; sekaligus sebuah keniscayaan yang menjadi tuntutan hidup interaktif dalam satu keluarga atau satu negeri dengan ungkapan bahasa modern. Di samping itu, sikap saling mengenal sebagai upaya mengaktifkan semangat persaudaraan dan kemanusiaan yang sering terabaikan. Ikatan sosial antar manusia memiliki banyak bentuk. Al-Quran mengungkapkan bentuk-bentuk ikatan ini dalam firman Allah Swt., “Katakanlah, ‘Jika bapak, anak, saudara, isteri, sanak kerabat, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan mengalami kerugian dan tempat tinggal yang kamu senangi, semuanya lebih kamu cintai dibandingkan Allah, Rasul-Nya serta berjihad di jalan- Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik.’” (at-Taubah: 24).
Ayat di atas mencakup: ikatan kekeluargaan, ikatan kesukuan, ikatan kebangsaan, ikatan kemaslahatan dan ikatan keagamaan (islamiyah).
- Saling hidup berdampingan. Kehidupan kelompok-kelompok yang saling berinteraksi tidak akan terwujud damai tanpa adanya koeksistensi yang saling toleran, baik dalam transaksi jual beli, pemutusan perkara hukum dan hak bertempat tinggal. Sejarah kehidupan kaum muslimin dipenuhi dengan gambaran indah tentang interaksi luhur dengan kaum non muslim. Allah menentukan batasan dan landasan hidup saling berdampingan dalam firman-Nya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tiada memerangimu karena agama; dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8). Jikalau kaum non muslim jika tidak memulai peperangan terlebih dahulu dan tidak mengusir kaum muslimin dari tempat tinggal mereka, maka tidak ada pilihan lain selain hidup berdampingan dengan baik bersama mereka. Hidup berdampingan adalah kumpulan akhlak yang luhur. Kata “Al-qisth” bermakna perilaku adil, memberikan karunia dan berbuat baik.
- Saling tolong-menolong. Banyak sekali permasalahan-permasalahan umum yang membentuk pola kebersamaan antara kaum muslimin dengan non muslim yang memungkinkan mereka untuk saling tolong-menolong di dalamnya. Begitu pula, bahaya yang mengancam kehidupan mereka tidaklah sedikit. Selanjutnya, kebersamaan ini dapat dijadikan sebagai landasan untuk hidup saling berdampingan dan saling tolong-menolong.
- Interaksi Yang Tidak Terbawa Arus
Nilai Moderat Islam tidak menjadikan seorang muslim memandang umat lain dengan penuh kerendahan dan kehinaan atau memelihat mereka dengan penuh kekaguman. Akan tetapi, menjadikannya mampu berinteraksi dengan mereka sesuai dengan arahan berikut:[25]
- Meyakini adanya keberagaman peradaban, wawasan budaya, perundang-undangan, politik dan sistem sosial. Allah Swt. berfirman, “…untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami telah memberikan aturan dan jalan hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia telah menjadikan kamu semua sebagai satu umat (saja); akan tetapi Allah hendak menguji kalian dalam segala yang telah Dia anugerahkan kepada kalian…” (al- Maidah: 48)
- Berupaya untuk meningkatkan cakrawala komunikasi peradaban antar bangsa; di antaranya: mengambil faedah atau hikmah dari bangsa lain berkaitan dengan metode ilmiah tentang kosmologi[26], system administrasi yang maju, penghargaan terhadap nilai waktu dan keadilan. Semuanya dalam bingkai iklim yang kondusif dan seruan membangun koalisi sosial yang masif di atas landasan sikap saling berkontribusi secara adil dalam kemaslahatan dan upaya meredam teriakan para ekstremis dari kedua belah pihak, yang berlebihan dan yang melalaikan.
- Memiliki perhatian terhadap karya-karya tulis yang akan diberikan kepada kaum non muslim. Dalam hal ini, perlu difokuskan pada pembahsan tentang dalil-dalil aqli yang dikemukakan bersama teks-teks dalil syariat (Al-quran dan Sunnah).
- Menyeru untuk merintis kajian fikih minoritas buat kaum muslimin yang hidup di masyarakat non muslim. Hal ini berlandaskan kaidah “Tidak ada beban kewajiban kecuali sesuai dengan kemampuan”, yakni sesuai dengan kadar dan daya kemampuan yang dapat memelihara eksistensi dan identitas kaum muslimin, sehingga tidak terisolasi atau larut dalam peradaban umat lain.
- Konsentrasi pada nilai-nilai positif dalam menjalin hubungan dengan umat lain. Hal ini berlandaskan kesatuan asal nenek moyang dan bertolak dari penghormatan Allah. kepada manusia, “Sungguh Kami memuliakan anak keturunan Adam…” (al- Isra”: 70); menghidupkan prinsip saling mengenal, “Agar kalian saling mengenal.” (al- Hujurat:13); mengukuhkan persaudaraan umat manusia, “Saksikanlah bahwa seluruh hamba adalah bersaudara!”; berinteraksi yang baik dan adil dengan umat yang berdamai dengan Islam, “Allah tidak melarang kalian…. untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka.” ( al-Mumtahanah: 8).
- Berupaya untuk membangun kebersamaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang disepakati bersama. Sebab setiap peradaban terbagi-bagi sesuai dengan kadar nilai-nilai universal, seperti: nilai keadilan, persamaan dan kebebasan. Para ahli hikmah dari setiap agama berhak untuk mendapatkan ucapan terimakasih dan penghargaan.
- Tidak menganggap umat lain –yakni dunia Barat– sebagai satu umat (satu peradaban). Namun berinteraksi dengan mereka dengan asas bahwa mereka adalah satu wilayah besar yang memiliki negara-negara bagian dan beberapa pintu gerbang. Dengan begitu, mungkin terbangun komunikasi objektif dengan mereka untuk menjaga manfaat dan kemaslahatan bersama, tanpa kepemihakan dan tindakan zalim guna mewujudkan keamanan dan perdamaian dunia.
- Menekankan yang jelas terhadap nilai kebebasan dan hak asasi manusia; perbedaan pandangan dan pemikiran; keberagaman agama, wawasan dan kebudayaan; dan peralihan kekuasaan secara damai. Semua ini perlu didukung karena menjadi dasar nilainilai Islam. Di samping itu, kekerasan politik harus dihilangkan dan tidak boleh dicampur-aduk dengan jihad.
- Menyeru untuk menghidupkan prinsip ketenangan peradaban dan menyempurnakan stabilitas yang hilang dalam kebudayaan Barat. Upaya ini harus berlandaskan nilai kemanusiaan dan moralitas yang luhur; melalui contoh teladan yang baik dan kredibilitas yang selaras dengan idealisme dan realita. Karena pengaruh keteladanan lebih kuat dari pada pengaruh perkataan.
- Bekerja untuk memberikan kontribusi terhadap upaya menyelesaikan problematika bangsa lain, khususnya masyarakat Barat, mulai dari masalah broken home, disintegrasi sosial, degradasi moral, penyimpangan seksual hingga masalah rasisme dan fanatisme golongan. Kemudian uapaya keras untuk mempublikasikan kontribusi-kontribusi tersebut.
- Rasa Bangga Yang Bebas Dari Sikap Congkak
Kehebatan ajaran Islam dan kejayaan Islam masa lalu merupakan kebanggaan umat Islam. Akan tetapi sikap moderat tidak mnyertai rasa bangga dengan sikap congkak dan merendahkan yang lain akan tetapi harus selalu bersiap-siap menyonsong hari dimana umat manusia hidup bahagia di bawah kepemimpinan Islam; untuk mewujudkan nilai keadilan, mengemban tugas besar, menebar perdamaian dan menolak kezaliman. Selama kaum muslimin masih hidup dalam kondisi yang lemah dan kezaliman tersebar di mana-mana, mereka berkonsentrari pada upaya menanamkan rasa bangga terhadap Islam dan nilai-nilai yang dikandungnya, yaitu nilai kebenaran, keadilan dan keluhuran. Dengan begitu, keimanan mereka semakin menguat; mereka semakin siap memikul berbagai macam kesulitan dan siap berkorban hingga Allah SWT merubah kondisi hidup mereka. Selanjutnya, apabila Allah SWT Menyerahkan kepemimpinan dunia kepada mereka, tidak terlihat pada diri mereka sikap angkuh dan congkak; tidak menolak kebenaran dan berbuat zalim terhadap umat manusia; tidak melakukan penumpasan etnis atas kezaliman-kezaliman mereka di masa lalu. Sejarah mencatatkan sikap luhur ini sejak peristiwa penaklukan kota Makkah; di mana Rasulullah Saw. bersabda kepada kaum yang semula menyakiti dan berusaha membunuhnya, “Sekarang pergilah, kalian semua bebas!”
Selanjutnya, ketika kaum muslimin berhasil mengalahkan kaum Tartar yang telah menghancurkan kota Baghdad dan menebarkan kehancuran di negeri Islam, sejarah tidak pernah mencatat bahwa kaum muslimin membalas dendam atas mereka. Sebaliknya, kamu muslimin memaafkan mereka dan berdamai seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt.. Dengan sikap ini, kaum muslimin berhasil merealisasikan makna dan nilai moderat (wasathiyah).
- Sikap Toleransi Yang Tidak Menghinakan Diri
Muslim moderat adalah muslim yang toleran akan tetapi tak pernah menggadaikan dan menghinakan keyakinan dirinya. Sikap toleransi yang baik, interaksi luhur dan akhlak mulia yang ditunjukkan oleh Islam terhadap orang yang menentang, tidak boleh dipandang dengan pandangan yang salah; kemudian diasumsikan bahwa Islam dan kaum muslimin adalah lemah dan hina yang menyebabkan mereka lebur dalam eksistensi umat lain; hanyut dalam arus peradaban dan orientasi umat lain.
Kaum muslimin adalah umat yang mampu berdiri tegak untuk menikmati keistimewaan mereka yang sangat eksklusif dan tetap mendakwahkan keistimewaannya kepada non muslim dengan mau’idhoh hasanah dan argumentasi yang masuk akal tanpa menyakiti dan menghina. Mereka seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya, “Satu dari sekian umat manusia; darah mereka bernilai setara; yang paling rendah martabatnya berupaya untuk memberikan jaminan bagi yang lain; mereka adalah tangan bagi bangsa lain (suka menolong).”.
Penutup
Al Qur’an telah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk seluruh umat manusia. Mereka adalah umat yang moderat sebagaimana yang difirmankan Allah, “Demikianlah Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang pertengahan (adil dan terbaik) agar menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (al-Baqarah: 143).
Kata “al-wasath” dalam ayat ini bermakna adil, terbaik dan keutamaan, maka manusia sangat membutuhkan orang yang dapat mengkristalkan makna-makna ini dalam realita kehidupan agar dapat menyelematkan mereka dari kegersangan materilistik dan jeratan lumpur tanah yang hina. Dunia tidak akan mengenal kebahagiaan dan ketenteraman kecuali setelah kaum muslimin berada di muka, sebagai pemimpin umat dan guru dunia. Apakah kaum muslimin telah berhasil merealisasikan hal itu? Tidak diragukan lagi, jawabannya adalah iya. Allah berfirman, “Tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.”(as-Shaf: 8).
Semua itu mememerlukan kerja keras, kerja nyata yang dikorbankan dan keringat yang dicucurkan. Tidak ada jalan untuk mengubah kondisi eksternal selain melakukan perubahan kondisi internal dalam diri kita. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’du: 11). Firman Allah SWT pasti benar. Seluruh janji-Nya juga benar. Tidak ada taufik (petunjuk) selain dari-Nya. Hanya kepada-Nya kita bertawakal dan hanya kepada-Nya kita akan kembali.
[1] Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Periode : 2015-2020, Dosen IAIN Surakarta.
[2] Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Periode : 2015-2020, Dosen Prodi Ekonomi Syariah FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
[3] Kedua sikap tercela tersebut difirmankanNya :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Taubah/9:31)
فَأَتَتْ بِهِ قَوْمَهَا تَحْمِلُهُ قَالُوا يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا . يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
“Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam/19:27-28)
[4] Qardhawi, 1985.
[5] Rahikul Mahtum , Mubarak Furi 2004
[6] Lisanul-Arab Juz: 7 Hal: 428
[7] Ibid. Hal: 142
[8] Al-Qaamus Al-Muhith, Fairuz Abadi Juz: 3, Hal: 142
[9] Lisanul-Arab Juz: 7 Hal: 431
[10] Wasathiyatul-Islam, DR. Ahmad Umar Hasyim Hal: 7
[11] Al-Khashaaish Al-`Aamah fil-Islam, DR. Yusuf Al-Qardhawi, Hal: 115
[12] Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
[13] Shohih Bukhari, Kitab Bad`il-wahyu Bab: Ad-Diin Yusrun, Jilid: 1 Hal: 23
[14] Shohih ibnu Hibban; Jilid: 5 Hal: 305
[15] At-Targhib wat-Tarhib; Jilid: 3, Musnad Ahmad: Jilid: 3 Hal: 385
[16] Shohih Bukhari, Kitab: Bad`il-Wahyi Bab: Kaifa Kaanat SholatuNabi; Jilid: 1 Hal: 283
[17] Ibid; Bab: Maa yukrahu minat-Tasyadud fil-Ibadaat; Jilid: 1 Hal:386
[18] Majma`uz-Zawaid Jilid: 4 Hal: 301
[19] Ibid; Bab: Maa yukrahu minat-Tasyadud fil-Ibadaat; Jilid: 1 Hal: 386
[20] Lihat: Al-Wasathiyah wal-I`tidal Fil-Islam, DR. Ahmad Hadi Hal: 5
[21] Al-Khashaaish Al-`Ammah Lil-Islam, DR. Yusuf Al-Qardhawi Hal:126.
[22] Khushushiyat al Hadrah Al Islamiyah, Dr. Ishom Al Basyir
[23] Bukhari, Kitab janaiz Bab: Man Qaama lijanazati yahudi no. hadits 1229
[24] Sunan Abu Daud Jilid 2 Hal: 83
[25] Khushushiyat al Hadrah Al Islamiyah, Dr. Ishom Al Basyir
[26] Cabang ilmu astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta; asal-usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan system matahari dengan jagat raya; yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yg beraturan.