Fenomena Pengkafiran (Takfir) dan Kaidah-Kaidah Takfir

Masalah Takfîr

(Mengkafirkan Sesama Muslim)

 

Fathurrahman Kamal

 

  1. Pendahuluan

Ikrar syahadatain yang diyakii secara jujur dalam qalbu dan diwujudkan secara nyata dala perbuatan fisiknya merupakan pintu gerbang seseorang dinyatkan masuk ke dalam Islam. Sebabnya,  siapapun jua yang menunaikan sholat, sujud, dan rukuk’ bersama kaum muslimin, wajib dihukumi sebagai seorang ‘muslim’, yang melekat padanya berbagai haqq al-Islam; diberikan loyalitas (wala’), harta benda, jiwa, kehormatan, dan raganya dilindungi oleh Islam. Inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah ‘alaihissalam dalam sabdanya :

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ[1]

Syahadat muslim tidak boleh dinista kecuali dengan melakukan sesuatu yang membatalkan keimanan tersebut secara nyata dan meyakinkan, seperti riddah dan kufur kepada Allah Ta’ala :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلا[2]

Demikian pula dalam Ayat berikut ini :

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا [3]

Rumusan keyakinan tersebut, saat ini mengalami pembiasan makna, bahkan dekonstruksi  yang mengkhawatirkan. Sebab, dilakukan oleh sebagian orang yang mengklaim diri sebagai muslim sejati. Inilah fenomena yang disoroti oleh Muhammadiyah dalam kenyataan hidup masa kini. Dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang satu Abad dijelaskan kehidupan manusia modern yang semakin paradoks. Di antaranya ialah lahirnya ekstrimisme baru berupa fanatisme keagamaan yang berlebihan. Fanatisme semacam ini, jika tidak dikelola dan diarahkan dengan ilmu dan adab yang baik, akan melahirkan sikap merasa benar sendiri, dan kemudian mudah menyesatkan, membid’ahkan, bahkan sampai latah mengkafirkan orang lain, hanya karena perbedaan paham keagamaan dalam ranah keragaman yang bersifat variatif. Fenomena pengkafiran semacam ini semakin membuat fitnah, kekacauan, dan bahkan perpecahan dan saling tuding di tengah-tengah umat, yang pada akhirnya semakin meruntuhkan kohesivitas intra umat Islam. Dari luar, keadaan semacam ini dijadikan sebagai amunisi untuk semakin memperlemah posisi dan daya tawar perjuangan kita.

Inilah salahsatu isu keummatan yang dibahas secara mendalam dan menyeluruh oleh Persayarikatan Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 di Makassar, dan telah di-tanfidz oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai berikut :

“Perkembangan mutakhir menunjukkan gejala meningkat­nya perilaku keberagamaan yang ekstrim antara lain kecen­derungan mengkafirkan pihak lain (takfiri). Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanam­kan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, dan liberal. Ke­cenderungan takfiri bertentangan dengan watak Islam yang menekankan kasih sayang, kesantunan, tawasuth, dan toleransi. Sikap mudah mengkafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak faktor antara lain cara pandang keagamaan yang sempit, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah.”

“Mencermati potensi destruktif yang ditimbulkan oleh kelompok takfiri, Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya warga Persyarikatan, untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung perkembangan kelompok takfiri melalui pendekatan dialog, dakwah yang terbuka, mencerahkan, mencerdaskan, serta interkasi sosial yang santun. Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman sebagai sunnatullah, rahmat, dan khazanah intelektual yang dapat memperkaya pemikiran dan memperluas wawasan yang mendorong kemajuan. Persatuan bukanlah kesatuan dan penyeragaman tetapi sinergi, saling menghormati dan bekerjasama dengan ikatan iman, semangat ukhuwahtasamuh, dan fastabiqu al-khairat. Dalam kehidupan masyarakat dan kebangsaan yang terbuka, Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap beragama yang tengahan (wasithiyah, moderat), saling mendukung dan memperkuat, serta tidak saling memperlemah dan meniadakan kelompok lain yang berbeda.”[4]

Permasalahan takfir merupakan sesuatu yang teramat berat dalam timbangan ajaran Islam yang sebenar-benarnya, berimplikasi jauh di dunia dan akherat. Sebab itu siapapun juga, terlebih para da’i dan muballigh hendaklah memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya, serta meletakkannya di atas mizan syariah seadil-adilnya, dengan mempertimbangkan segala kaidah yang terkait dengan masalah keimanan dan kekufuran. Sebab bisa saja, satu kaidah tertentu yang bersifat global akan dijelaskan oleh kaidah lainnya yang terperinci, dan seterusnya. Pendek kata, pengetahuan mendalam tentang berbagai kaidah syari’ah dalam masalah takfir seharusnya dipahami dan dijadikan sebagai sudut pandang dalam suasana kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab.

 

  1. Pengertian dan Pembagian Takfîr

Secara etimologis, “takfîr” (تكفـــير) merupakan kata benda yang berasal dari kata “kaffara” (كَــفَّــــرَ), bentuk kata kerja transitif dari “ka-fa-ra” (ك – ف – ر  ) yang berarti, “menutup sesuatu”. Sebagaimana waktu malam dalam tradisi bahasa Arab disebut “kâfir” sebab ia menutupi mata dari melihat seseorang. Demikian pula seorang petani disebut seperti itu sebab ia menutupi biji-bijian atau benih ke dalam tanah. Secara mutlak, kata “kafir” (كافـــر) dikenal dan disematkan bagi seseorang yang mengingkari keesaan Allah, kenabian atau syariah.[5]

Dalam pandangan para ahli, “kufur” dan “riddah” tak terpisahkan dari konteks pengingkaran seorang hamba terhadap pokok-pokok ajaran islam atau mendustakannya; atau melakukan suatu perbuatan yang diyakini sebagai salahsatu pembatal keimanan dan keislaman.[6]

Dalam terminologi agama, “kufr”, kata Ibnu Hazam, merupakan sifat bagi seseorang yang mengingkari sesuatu dengan lisan ataupun hati dan sebaliknya,  ataupun dengan kedua-duanya, dari apa-apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala untuk mengimaninya, setelah tegaknya hujjah pada diri orang tersebut dengan sampainya kebenaran kepadanya. Atau ia melakukan sesuatu yang diterangkan oleh nash sebagai perbuatan yang mengeluarkannya dari makna keimanan.[7]

Kufur sebagaimana penjelasan di atas ialah kufur setelah masuk Islam dan menyatakan beriman dengannya, bukan kufur yang asal seperti halnya orang yang memang belum atau tidak beriman dengan Islam. Kufur setelah berislam dalam terminologi Al-Qur’an disebut “riddah” :

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ  هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ[8]

Dengan penjelasan di atas, “takfir” sebagai kata benda dari kata kerja transitif “kaffara” dapat dipahami sebagai tindakan pengkafiran seorang muslim. Atau menisbatkan seorang muslim dan siapa saja dari ahli Kiblat kepada kekufuran (al-kufr al-akbar).

Al-kufr al-akbar berakibat fatal, sebab dapat mengeluarkan pelakunya dari lingkaran iman dan Islam. Seperti ayat 39 pada surah al-Baqarah : (وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ), “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”

Juga yang terdapat dalam hadits dari sahabat Junadah bin Abi Umayyah berikut ini,

عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ: ” دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا: أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ  قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ  فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ[9]

Berbeda dengan “kufr ashghar”. Kufur jenis ini tidak mengakibatkan pelakunya keluar dari iman dan Islam. Contohnya ialah lafadh kufr pada Ayat : (وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْكَفَرْتُمْإِنَّعَذَابِيلَشَدِيدٌ) “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“.[10]

Atau dalam hadits Nabi ‘alaihissalam, dari Ibnu Abbas RA :

…وَأُرِيتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ مَنْظَرًا كَالْيَوْمِ قَطُّ أَفْظَعَ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ قَالُوا: بِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ قِيلَ: يَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “[11]

Dari sudut pihak yang terkena (obyek) pengkafiran, dapat dibagi menjadi dua :

  • Takfîr muthlaq : mengkafirkan secara general, tanpa menyebut personal tertentu, atas suatu perkataan, perbuatan, maupun keyakinannya yang bertentangan dengan pokok ajaran Islam dan membatalkannya.
  • Takfîr mu’ayyan: mengkafirkan seorang muslim tertentu secara personal. Ini harus beradasarkan pada hujjah yang jelas, terpenuhinya persyaratan takfir, dan ketiadaan penghalang pengkafirannya.[12]

 

  1. Geneologi Takfîr: Klasik dan Manifestasi Kontemporer

Para ulama menisbatkan sikap ekstrim dalam beragama kepada sekte Khawarij dalam Islam. Mereka memisahkan diri dan memberontak secara demonstratif terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, setelah beliau menerima tahkim (arbitrase) dalam perselisihannya dengan Mu’awiyah Ibnu Abi Sufyan pada peristiwa Siffin tahun 37 H. Sekter Khawarij berpandangan bahwa tahkim tersebut dapat membawa kepada kekafiran. Sesaat setelah arbitrase mereka keluar memisahkan diri dari Khalifah ali bin Abi Thalib dan bermarkas di sebuah desa bernama “Harura’” di wilayah Irak. Bersebab itu pula mereka dikenal pula sebagai sekte “Al-Haruriyah”.

Sebagian ahli lainnya berpendapat, sekte Khawarij merupakan sekte tersendiri dalam Islam, dan bukan lahir seketika setelah peristiwa Shiffin maupun tahkim. Peristiwa ini hanyalah momentum yang dimanfaatkan oleh para Mutatharrif (ekstrimis) dan pemimpin Khawarij untuk mendeklarasikan eksistensinya.[13] Misalnya,Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Husain al-Ajuri (wafat tahun 360 H), dalam karyanya, Kitab Al-Syari’ah, menegaskan bahwa Khawarij merupakan kelompok yang buruk, durhaka kepada Allah dan RasulNya, meskipun mereka menunaikan shalat, puasa, dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Semua itu tidak bermanfaat bagi mereka. Meskipun mereka demonstarif dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, namun juga tak bermanfaat. Sebab mereka adalah sekelompok orang yang mentakwil Al-Qur’an sesuka hawa nafsu, dan memalsukan kebenaran kepada kaum muslimin… Khawarij dan siapapun yang mengikuti madzhab ini merupakan  orang-orang yang bersikeras dalam hawa nafsu, mereka mewarisi madzhab ini sejak dahulu hingga sekarang. Mereka adalah kelompok yang suka melakukan pemberontakan kepada para imam dan pemerintah yang sah, serta  menghalalkan darah (pembunuhan) kaum muslimin.[14]

Teologi kekerasan dan serba-absolut ini menjerumuskan sekte Khawarij kepada sikap memberontak dan membuat kekacauan di Madinah atas nama menegakkan kebenaran (amar ma’ruf-nahi munkar), yang berakhir dengan pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Selanjutnya mereka memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib dan tidak menerima keputusannya menerima arbitrase (tahkim), kemudian membuat slogan “tidak ada hukum selain hukum Allah,” yang direspon oleh sang Khalifah dengan pernyataannya yang terkenal, “ucapan kalimat yang haq tapi mereka maksudkan untuk memebela kebatilan,” maka Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pun memerangi mereka.[15]

Bahkan, embrio sikap ekstrim kaum Khawarij dinisbatkan kepada seseorang yang berlaku latah dan menuduh Rasulullah ‘alaihissalam tidak berlaku adil dalam membagi harta rampasan perang sebagaimana terbaca dalam riwayat berikut ini :

أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ e وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ: ” وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ” فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ: ” دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ يُنْظَرُ إِلَى نَصْلِهِ فَلَا يُوجَدُ فِيهِ شَيْءٌ ثُمَّ يُنْظَرُ إِلَى رِصَافِهِ فَمَا يُوجَدُ فِيهِ شَيْءٌ ثُمَّ يُنْظَرُ إِلَى نَضِيِّهِ وَهُوَ قِدْحُهُ فَلَا يُوجَدُ فِيهِ شَيْءٌ ثُمَّ يُنْظَرُ إِلَى قُذَذِهِ فَلَا يُوجَدُ فِيهِ شَيْءٌ قَدْ سَبَقَ الْفَرْثَ وَالدَّمَ آيَتُهُمْ رَجُلٌ أَسْوَدُ إِحْدَى عَضُدَيْهِ مِثْلُ ثَدْيِ الْمَرْأَةِ أَوْ مِثْلُ الْبَضْعَةِ تَدَرْدَرُ وَيَخْرُجُونَ عَلَى حِينِ فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ ” قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَأَشْهَدُ أَنِّي سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ e وَأَشْهَدُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ قَاتَلَهُمْ وَأَنَا مَعَهُ فَأَمَرَ بِذَلِكَ الرَّجُلِ فَالْتُمِسَ فَأُتِيَ بِهِ حَتَّى نَظَرْتُ إِلَيْهِ عَلَى نَعْتِ النَّبِيِّ e الَّذِي نَعَتَهُ[16]

Sekte Khawarij, kata Ibnu Taimiyah, akan terus muncul dan eksis hingga akhir zaman, dan tidak terbatas pada sekelompok pengacau pada masa awal Islam sebagaimana telah dijelaskan.[17] Demikian pula isyarat dalam hadits berikut ini :

قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ[18]

Fenomena dan manifestasi teologi Khawarij kontemporer dapat digolongkan menjadi dua[19] :

  1. Kelompok yang berada di atas manhaj dan konsisten berpedoman pada pokok-pokok keyakinan Khawarij, termasuk dalam perkara hukum dan sikap mereka terhadap kelompok lain, seperti Jama’ahTakfir wa al-Hijrah.[20]
  2. Kelompok yang secara ideologis berafiliasi kepada, atau setidaknya menampakkan beberapa pokok keyakinan dan karakter-karakter dasar Khawarij, namun tidak cukup syarat untuk mendudukkan mereka sebagai firqah Khawarij secara total. Contohnya, Jama’ah al-Tawaqquf wa al-Tabayyun,[21] dan sejenisnya.

 

 

  1. Sebab-sebab Terjerumus pada Takfîr/ buku rabithah
  • Teologis
  1.  

Pemahaman yang dangkal mengenai dalil-dalil syara’ dan hukum-hukum syari’ah merupakan karakter dasar Khawarij yang  mengawali fitnah takfir di tengah-tengah umat Islam dengan mengkafirkan para sahabat, dan bahkan bersikap latah terhadap Rasulullah ‘alaihissalam.

… يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ …[22]

 

Demikian pula isyarat dari hadits di bawah ini :

 

قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ…[23]

 

  1. Sikap ghuluw dan mengabaikan prinsip hikmah dan wasathiyah dalam beragama
  2. Beragama secara emosional, dan mengabaikan aspek rasionalitas
  3. Kekeliruan pada metode dakwah kontemporer
  4. Kurangnya pemahaman mengenai fikih ikhtilaf
  5. Putus asa

 

  • Sosial politik
  1. Berkurangnya wibawa Ulama dan delegitimasi lembaga formal
  2. Penistaan Islam
  3. Kemunkaran yang merajalela
  4. Kemiskinan dan ketidak-adilan
  5. Ketimpangan politik global
  6. Distorsimedia massa dan media sosial

 

  1. Takfir dalam Perspektif Syari’ah
  • Beberapa Masalah Pokok dalam Takfîr
  1. Sunnah merupakan penjelas bagi hukum-hukum yang tertera dalam Al-Qur’an dengan segala cakupan dan batasan-batasannya, tak terkecuali perkara keimanan dan kekafiran seseorang, kemusyrikan dan ketauhidan dan seterusnya. Memahami segala pesan dan ajaran Al-Qur’an tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan sunnah dan hadits Nabi.
  2. Iman merupakan sebuah “pokok” (ashl) yang memiliki berbagai “cabang” (syu’bah), di mana setiap cabang tersebut dikategorikan sebagai “iman”. Yang tertinggi ialah “kalimat syahadat” dan yang terendah, menyingkirkan duri dari jalan. Di antara cabang-cabang tersebut, ada yang jika ia tiada, maka hilanglah keimanan dari diri seseorang secara totalitas. Contohnya, cabang “syahadat”. Namun ada pula yang sebaliknya, tiadanya satu cabang tidak berdampak pada hilangnya status keimanan totalitas pada diri seorang mukmin, seperti menyingkirkan duri dari jalan. Di antara tingkat keimanan tertinggi dan terendah tersebut terdapat berbagai macam cabang, di mana setiap cabang memiliki konsekwensi hukum tersendiri, dan tidak dapat digeneralisir begitu saja. Mesti ditimbang secara adil sesuai dengan petunjuk dalil-dalil syari’at.Demikian pula perkara kekafiran, kemaksiatan, dan dosa. Semua cabang-cabangnya merupakan bagian dari kekafiran itu sendiri, namun sesuai dengan kadar dan tingkatannya masing-masing.
  3. Keimanan merupakan keterkaitan antar tiga-dimensi sekaligus; pembenaran dengan qolbu, pernyataan verbal dengan lisan, dan perbuatan dengan organ tubuh. Jika keyakinan dan pembenaran dengan hati itu lenyap dari diri seseorang maka hilanglah keimanan pada dirinya. Berbeda dengan perbuatan organ tubuh, jika ada sesuatu yang luput dari seseorang, maka permasalahan ini harus dijelaskan secara terperinci.
  4. Sebagaimana kesyirikan, ada yang ashghar dan akbar, demikian pula kekafiran; ada kufr ashghar dan kufr akbar. Keduanya merupakan dua hal yang berbeda, termasuk dampak dan segala konsekwensinya.
  5. Tidak otomatis menyematkan keimanan pada diri seseorang hanya karena adanya cabang keimanan yang tampak pada dirinya, demikian pula kekafiran. Sebagaimana seseorang yang mengetahui sedikit tentang masalah kedokteran tak mesti disebut sebagai “dokter”.[24]

 

 

  • Bahaya dan Peringatan Keras Terhadap Takfîr

Takfirmerupakan hukum agama yang sangat mendasar dan harus ditetapkan berdasarkan syara’, bukan berdasarkan pertimbangan aqliyah semata. Akal bisa saja menilai suatu pernyataan benar atau salah, namun tidak setiap kesalahan dapat divonis sebagai kekafiran dalm timbangan syara’. Sebagaimana halnya, tidak setiap sesuatu yang dinilai benar oleh akal, secara otomatis diakui oleh syara’.[25]

Keislaman seseorang yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak dapat dinistakan begitu saja dengan alasan-alasan yang bersifat dugaan (dhann). Sebab itu Al-Qur’an dan Sunnah memberikan peringatan yang sangat keras terhadap prilaku takfir. Firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا [26]

Rasulullah ‘alaihissalam bersabda :

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.[27]

عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ الأَنْصَارِيِّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ  وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِنًا  أَوْ مُؤْمِنَةً بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ …”[28]

Takfir dapat pula dikategorikan sebagai penghalalan (istibahah) atas sesuatu yang di haramkan oleh Allah, yaitu menjaga kehormatan dan kemuliaan seorang mukmin. Tentu pernyataan mengkafirkan seorang mukmin merupakan bagian dari penistaan atas kehormatan dirinya yang terbesar[29], sebagaimana ditegaskan oleh Nabi ‘alahissalam :

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا [30]

Pengkafiran (takfir) atas seorang muslim melahirkan beberapa konsekuensi hukum, di antaranya[31] :

  1. Tidak halal bagi suami ataupun isteri untuk berkumpul bila salahsatu dari keduanya dikafirkan, dan wajib dipisahkan.
  2. Berdasarkan pertimbangan maslahat, anak-anaknya tidak boleh berada di bawah asuhannya sebab dikhawatirkan orangtua yang sudah ditakfir akan mempengaruhi mereka.
  3. Kehilangan wilayah dan nushrah dari masyarakat muslim umumnya.
  4. Wajib diadili pada Pengadilan Syari’ah untuk mendapatkan ketetapan hukum sebagai orang murtadd.
  5. Jika meninggal dunia mendapatkan laknat Allah dan dijauhkan dari rahmatNya, serta kekal di neraka.
  6. Tidak boleh dido’akan dan dimohonkan ampunan kepada Allah berdasarkan FirmanNya :

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ[32]

 

 

  • Beberapa Perkara yang Menggugurkan (Mawâni’ al-Takfir)
  1. Kejahilan

ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ [33]

  1. Kesalahan (khatha’) dalam perkataan dan atau perbuatan yang berimplikasi pada kekafiran.

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ  وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا[34]

Hadits Nabi :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. [35]

 

  1. Suatu perkataan, dan atau perbuatan yang dilakukan secara terpaksa, dan bukan atas pilihannya sendiri (ikrah).

مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَٰنِهِۦ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّ بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[36]

 

  1. Keliru dalam ta’wil. Seseorang yang jatuh pada perkataan, dan atau perbuatan kekafiran secara tidak sengaja sebab takwil yang keliru terhadap dalil-dalil syara’.
  2. Seseorang yang jatuh pada perkataan, dan atau perbuatan kekafiran bersebab taqlid, dan ia tidak mempunyai ilmu serta pengetahuan mendalam tentang agama. Orang yang seperti ini, menurut Ibnu Taimiyah, dimaafkan hingga dilakukan iqamat al-hujjah.[37]

 

  • Kaidah-Kaidah Takfîr
  1. Takfir adalah hukum syara’ yang menjadi hak prerogatif Allah dan RasulNya. Kita tidak memiliki hak mengkafirkan seseorang atau kelompok tertentu kecuali dengan bukti-bukti nyata dan dalil-dalil yang meyakinkan, bukan berdasarkan pada dugaan dan spekulasi (dzann).
  2. Menghukumi keimanan seseorang secara dzahir

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنْ السِّلَاحِ قَالَ أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ قَالَ فَقَالَ سَعْدٌ وَأَنَا وَاللَّهِ لَا أَقْتُلُ مُسْلِمًا حَتَّى يَقْتُلَهُ ذُو الْبُطَيْنِ يَعْنِي أُسَامَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَقَالَ سَعْدٌ قَدْ قَاتَلْنَا حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَأَنْتَ وَأَصْحَابُكَ تُرِيدُونَ أَنْ تُقَاتِلُوا حَتَّى تَكُونُ فِتْنَةٌ[38]

  1. Sebagaimana keimanan, kekafiran juga bertingkat-tingkat.
  2. Berhati-hati melakukan takfir dengan memenuhi segala syarat (syuruth al-takfir ) dan meneliti perkara-perkara yang menggugurkannya (mawani’ al-takfir).
  3. Tidak mengkafirkan seseorang yang melakukan suatu dosa besar, selama ia tidak menghalalkannya.
  4. Membedakan antara takfir muthlaq dan takfir mu’ayyan.
  5. Tindakan, dan atau perbuatan yang berimplikasi kepada kekafiran tidak secara otomatis di-

[1] “Sesungguhnya Allah mengharamkan dari neraka, bagi siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah selain Allah) yang dengannya mengharap wajah Allah” (HR. Bukhari & Muslim).

[2] “Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman lagi, kamudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak pula menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus”(QS Al-Nisa’/4 : 137)

[3] “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi berperang di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu,”Kamu bukan seorang yang beriman” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia..”(QS al-Nisa’/4 : 94)

 

[4] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah, nomor 1/2015-2020/Zulhijjah 1436 H-September 2015 (Yogyakarta: Gramasurya, 2015), hlm. 112-113

 

[5] Raghib al-Ashfahany, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an (Makkah : Maktabah Al-Baz, tt.), II, hlm. 559-560

[6] Munqidz ibn Mahmud al-Saqqar, Al-Takfîr wa Dlawâbithuhu (Rabithah al-‘Alam al-Islami, tt.), hlm. 9-10

[7] Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, editor : Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Jilid I, hlm. 49-50. Lihat pula, ibid. Hlm. 10

[8] Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah/2 : 217)

[9] “Kami masuk menemui ‘Ubadah bin ash-Shomit (ketika beliau terlantar sakit), lalu kami pun berkata, ‘Semoga Allah memulihkan keadaan kamu, kabarkanlah kepada kami satu hadis yang dengannya Allah memberi manfaat kepadamu, yang telah engkau dengar dari Nabi ‘alaihissalam.’ Beliau pun berkata, “Nabi ‘alaihissalam mengajak kami, dan kami pun membai’atnya.” Kemudian ia berkata, “Di antara perjanjian yang diambil dari kami adalah supaya kami membai’atnya untuk mendengar dan taat di ketika senang dan ketika susah, ketika sukar dan ketika mudah, mengutamakan beliau (Nabi) daripada diri kami sendiri, tidak berebut (atau mempersoalkan) urusan kepimpinan dari para pemiliknya melainkan sekiranya melihat kekufuran yang nyata, di mana ada bukti (yang dapat dipertanggungjawabkan) untuk kamu kemukakan kepada Allah.” (HR Bukhari dan Muslim)

[10] QS. Ibrahim : 7

[11] “ …Dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya, “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?” Beliau ‘alaihissalam  menjawab, “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’(HR. Bukhari dan Muslim. Penjelasan lebih lanjut, lihat, Abu Al-Mun’im Musthafa al-Hulaymah, Qawa’id fi al-takfir, hlm. 11-15; Sa’id ibn Wahf al-Qahthani, Nûr al-Islâm wa Dhulumât al-Kufr (Riyadl : Muassasah al-Juraisi, 1421 H), hlm. 41-46)

[12]Abd al-Majid al-Masy’abi, Manhaj Ibn Taymiyah fi Mas’alat al-Takfir (Riyadl : Maktabah Adlwa’ al-Salaf, 1418 H), jilid I, hlm. 193-204

[13] Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di dunia Islam, Terj. Masturi Irham, dkk. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2015), hlm. 331-332

[14] Al-Imam al-Muhaddits Abu Bakr Muhammad bin Husain al-Ajuri, Kitab Al-Syari’ah, Tahqiq : Abdullah bin Umar al-Dumayji (Riyadl : Dar Al-Wathan, 1418 H), hlm. 325-326

[15]Ibid. Hlm. 327. Baca juga, Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Jilid XIII, hlm. 30-31; dan, Nashir bin ‘Abd al-Karim al-‘Aql, Al-Khawarij : Manahijuhum wa Ushuluhum wa Samatuhum Qadiman wa Haditsan wa Mawqif al-Salaf minhum (Riyadl : Dar al-Qasim, 1417), hlm. 27-32

[16] Bahwasanya Said Al-Khudri pernah berkata,“Ketika kami bersama Rasulullah, beliau sedang membagikan sesuatu. Tiba-tiba datanglah Dzul Huwaishirah yang merupakan salah satu penduduk Bani Tamim. Ia lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, berlakulah yang adil!’ Beliau pun menjawab, ‘Celakalah engkau! Siapa lagi yang bisa adil jika aku sudah (dianggap) tidak adil? Aku sungguh akan celaka dan rugi jika telah berlaku tidak adil.’Umar pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya!’ Beliau pun menjawab, ‘Biarkanlah, (sebab) ia punya kawan-kawan yang shalat kalian saja masih kalah dengan shalat mereka. Puasa kalian juga masih kalah dengan puasa mereka. Mereka rajin membaca Al-Qur’an, tapi tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya, dan besi panah itu tidak mengenai apapun. Dilihat ujung besinya, tidak ada bekas apa-apa. Dilihat gagangnya, tidak adaapa-apa. Dilihat bulu panahnya, juga tidak terdapat bekas apa-apa. Tidak ada bekas kotoran ataupun darah sama sekali di panah itu’.”Abu Said  kemudian berkata, “Saksikanlah bahwa aku mendengar hadits ini dari Rasulullah. Aku juga bersaksi bahwa Ali bin Abi Thalib atelah memerangi mereka saat aku bersamanya.Ia lalu mencari laki-laki—yang menjadi ikon mereka tersebut—hingga ketika jasad orang itu didatangkan, aku memandangnya persis dengan ciri-ciri yang disampaikan oleh Nabi.” (HR Bukhari dan Muslim)

[17]Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Jilid XXVIII, hlm. 495-496

[18] Ali bin abi Thalib berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah ‘alaihissalam bersabda”,  : “Pada akhir zaman nanti, akan datang suatu kaum yg muda usianya lagi bodoh. Mereka berkata-kata dgn kebaikan, akan tetapi mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari hewan buruan. Keimanan mereka tidaklah melewati batas tenggorokan (tidak meresap dalam hati). Karena itu, dimana pun kalian menemukannya, maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya membunuh mereka merupakan pahala, yakni pahala pada hari kiamat bagi yg membunuh mereka (HR. Bukhari)

[19] Nashir bin ‘Abd al-Karim al-‘Aql, Al-Khawarij : Manahijuhum…hlm. 83

[20]Jamaah ini tumbuh berawal dari penjara-penjara Mesir pasca penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh membangkang terhadap pemerintah tahun 1965 M, di mana tidak berselang lama setelah itu Sayyid Quthb dan rekan-rekannya dihukum mati atas perintah penguasa Mesir di zamannya, Jamal Abdun Nashir.

Kaum muslimin yang teguh beragama dan terciduk oleh pemerintah mengalami berbagai bentuk penderitaan dan penyiksaan di dalam penjara, tidak sedikit dari mereka gugur karena beratnya siksaan, di iklim yang sarat dengan teror dan penindasan seperti ini lahir pemikiran takfir dan ia pun mendapatkan respon dari sebagian kalangan.

Pada tahun 1967 M, pihak militer menuntut semua da’i dan kaum muslimin yang dipenjara supaya mereka mendukung penguasa Jamal Abdun Nashir, maka mereka terbagi menjadi tiga kelompok; Pertama, kelompok yang bersegera mendukung penguasa dengan harapan pembebasan dan kembali meraih pekerjaan mereka sebelumnya, mereka pun berani berbicara mengatasnamakan para da’i yang lainnya; Kedua, kelompok mayoritas dari para da’i yang dipenjara, mereka diam tidak menentang dan tidak mendukung, pertimbangan mereka adalah bahwa mereka dalam keadaan terpaksa; dan, ketiga: Kelompok anak muda penuh semangat, mereka menolak mendukung dan memproklamirkan bahwa pemimpin negara adalah kafir berikut aturannya, lebih dari itu dalam pandangan kelompok ini, siapa yang mendukung penguasa maka mereka adalah orang-orang murtad dari Islam dan siapa yang tidak mengkafirkan mereka maka mereka kafir.  (Lebih lanjut lihat, Mani’ bin Hammad al-Juhani, al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madhahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah (Riyadl: WAMY, 1420 H), Jilid I, hlm. 333-340)

[21]Secara spesifik, kelompok ini tidak menyebut diri dengan nama kelompok/jama’ah tertentu. Namun secara praktis merepresentasikan sebagian keyakinan firqah Khawarij. Di antaranya, mereka menyatakan tawaqquf (tidak bersikap) terhadap status keislaman, kekufuran, atau wala’ dan bara’ah dari seseorang , yang belum diyakini sebagai kelompok mereka. (Lebih lanjut lihat,  Nashir bin ‘Abd al-Karim al-‘Aql, Al-Khawarij : Manahijuhum…hlm. 97-98)

[22] “…salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).”(HR Bukhari)

[23] Ali bin abi Thalib berkata“Aku telah mendengar Rasulullah ‘bersabda”,  : “Pada akhir zaman nanti, akan datang suatu kaum yg muda alaihissalamusianya lagi bodoh. (HR Bukhari)

[24] Said bin Wahf al-Qahthani, Qadliyat al-Takfir fi Dlaw’ al-Kitab wa al-Sunnah, hlm. 31-34. Lihat pula, Abd Latief Hasan Alu Syaikh, Ushul wa Dlawabith fi al-Takfir, Editor: ‘Abd salam Nashir Alu Abd karim, hlm. 31-47

[25] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudl al-‘Aql wa al-Naql (), jilid I, hlm. 242

[26] Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang yang beriman” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(QS Al-Nisa’:40)

[27] “Siapa saja yang berkata kepada saudaranya,” Hai Kafir”. Maka akan terkena salah satunya jika vonisnya (pengkafiran) itu benar, dan jika salah, maka akan kembali kepadanya (yang mengkafirkan itu).( “Siapa saja yang berkata kepada saudaranya,” Hai Kafir”. Maka akan terkena salah satunya jika vonisnya (pengkafiran) itu benar, dan jika salah, maka akan kembali kepadanya (yang mengkafirkan itu).(HR Bukhari dan Muslim)

[28] Dari Tsabin bin Dlahhak al-Anshari, Rasulullah ‘alaihissalam bersabda,”Melaknat seorang mukmin sama dengan membunuhnya, dan menuduh seorang mukmin dengan kekafiran adalah sama dengan membunuhnya.”(HR. Muslim)

[29]Munqidz ibn Mahmud al-Saqqar, Al-Takfîr wa…hlm. 14

[30] Dari Tsabin bin Dlahhak al-Anshari, Rasulullah ‘alaihissalam bersabda,”Melaknat seorang mukmin sama dengan membunuhnya, dan menuduh seorang mukmin dengan kekafiran adalah sama dengan membunuhnya.”( HR Bukhari dan Muslim)

[31]Said bin Wahf al-Qahthani, Qadliyat…hlm. 41-42

[32] Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.(QS Al-Taubah:113)

[33] Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nahl/16:119)

[34] Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS Al-Ahzab:5)

[35] Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh ‘alaihissalam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Ta’ala memaafkan kesalahan yang tidak disengaja dan kesalahan yang dilakukan bersebab lupa dari umatku serta kesalahan yang dilakukan secara terpaksa.” (HR Ibnu Majah)

[36] “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”(QS Al-Nahl: 106)

[37] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Jilid II, hlm. 106/107

[38] Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kami pernah dikirim oleh Rasulullah dalam suatu peperangan, lalu kami sampai di Al Huruqat daerah Juhainah pada pagi harinya, tiba-tiba saya berjumpa dengan seorang laki-laki, dia berkata, ‘Laa Ilaaha Illallah,’ dan saya menikamnya. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya akan kejadian tersebut, lalu saya tuturkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bertanya, “Apakah dia telah mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallahu, lalu kamu membunuhnya?!” Usamah berkata, lalu saya berkata, “Wahai Rasulullah, bahwasanya dia mengucapkan kata tersebut karena takut pedang (dibunuh)!” Beliau bertanya kembali, “Kenapa kamu tidak membelah hatinya hingga kamu tahu apakah dia telah mengucapkannya atau tidak?!” Tak henti-hentinya Beliau mengulang-ulangi perkataannya itu pada saya, hingga seolah-olah aku berkeinginan masuk Islam. Usamah berkata, Sa’ad berkata, “Adapun saya, demi Allah saya tidak membunuh seorang muslim hingga ia dibunuh oleh Dzu al-Buthain yaitu Usamah.” Seorang laki-laki berkata, “Bukankah Allah berfirman, (Al Anfal, 39)? Lalu Sa’ad berkata, “Sungguh kami telah berperang sehingga tidak menimbulkan fitnah, adapun engkau (Usamah) dan para sahabatmu ingin memerangi sehingga menimbulkan fitnah!” (HR Muslim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *