Aliran Kepercayaan

ALIRAN KEPERCAYAAN

(Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa)

Oleh : H. Mohammad Damami

 

  1. Pengertian dan sejarah

Berbicara tentang “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” (untuk seterusnya kita sebut Kepercayaan (TME),kalau dilihat dari sudut sejarah penemuan dan pemakaian “nama” dari kepercayaan TME, maka akan terdapat 3 (tiga) sebutan, yaitu “klenik”, kebatilan, dan kepercayaan. penemuan dan pemakaian pada setiap sebutan berbeda-beda latar belakangnya.

Pada rentang waktu antara awal abad ke-20 sampai dengan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1945), istilah atau sebutan yang populer adalah “kebatina”. Pada rentang waktu ini, terdapat 2 (dua) segmen sosial di kalangan masyarakat Indonesia waktu itu yaitu, pertama, segemen masyarakat luas (grass-root). Dalam segmen masyarakat jenis ini ada 2 (dua) kecenderungan pula, yaitu dalam masyarakat pesantren (kaum santri) ada gejala menyukai amalan tarekat dan dalam masyarakat tani serta dengan kecil-kecilan (kaum abangan) ada gejala menyukai renungan dan gerakan kebatinan. Amalan tarekat dan renungan serta gerakan kebatinan ini tampaknya bertujuan untuk “penyucian rohani”. Di pesantren tokoh

 

penuntunnya disebut “romo kyai” atau “mursyid”, sementara itu dikalangan kaum abangan disebut bermacam-macam, sesuai dengan sosialisasi nama setiap renungan dan gerakan kebatinan (untuk selanjutnya kita sebut (“kebatinan” saja) yang bersangkutan. Tampaknya belum ada penelitian khusus tentang hubungan antara “tarekat” dan “kebatinan” ini dalam praktik kejiwaan antara kalangan pesantren dan abangan tersebut. Ada yang mencoba untuk menduga, bahwa kecenderungan menyukai kebatinan adalah disebabkan meneruskan tradisi yang diajarkan Syekh Siti Jenar dan kelompoknya. Sementara itu kecendurungan menyukai tarekat karena memang meneruskan tradisi tarekat di dunia Islam, antra lain yang berasal dari Timur Tengah terutama, yang kemudia ditradisikan di lembaga-lembaga pesantren di bawah bimbingan “romo kyai” atau para “mursyid”. Dengan memperhatikan isi dari ajaran berbagai macam Kepercayaan TME desawa ini, boleh diduga bahwa muatan ajaran yang kemudian diteruskan berupa amalan-amalan, patut diduga isi dan amalan kebatinan adalah dari proses akulturasi antaragama (Hidu, Buddha, Islam terutama) atau akulturasi antara agama dan religi setempat.

Kedua, segmen masyarakat khusus (elite). Mereka terdiri dari orang-orang terpelajar kebanyakan. Untuk kalangan elite ini, paling tidak sejak permulaan abad ke-20, ada gerakan internasional yang disebut “Theosofi”. gerakan ini pertama kali didirikan oleh New York (1875) oleh seorang bangsawan Rusia yang bernama Helena Petrova Blavatsky, yang kalangan orang waktu itu menganggapnya sebagai orang yang berbakat memahami jejadian-kejadian gaib (Nugraha, 2001: 7). Gerakan ini wacananya adalah sebagai sarana perlawan yang bersifat kultural terhadap pemerintahan kolonial. oleh karena itu, karena pada masa wal ke-20 mulai bertumbuh kesadaran berbangsa di kalangan para kaum terpelajar Indonesia, maka geraka theosofi ini mulai mendapat perhatian dan simpati di kalangan mereka. Menurut hasil penelitian Daivd Reeve seperti dikutip oleh Iskandar P. Nugraha, ternyata organisasi nasionalis Boedi Oetomo (BO) dan organisasi bercorak politik Indoshe Partij (IP), ada keterkaitan erat dengan gerakan theosofi yang mulai laku di Indonesia (Nugraha, 2001: 2). Sudah banyak tokoh-tokoh terpelajar waktu itu yang pernah terlibat, aktivis, atau bahkan menjadi tokoh gerakan theosofi ini, misalnya Goenawan Mangoenkoesoemo, Tjipto Mangoenkoesoemo, H. Agus Salim, Amir Sjarifoedin, H. Mutahar (pencipta lagu), termasuk ayahnya Soekarno, R. Soekemi, juga penganut theosofi (Nugraha, 2001: 2, 3). Tegasnya, gerakan theosofi berhasil memikat banyak kaum terpelajar Indonesia, khususnya kalangan kaum priyayi Jawad an kalangan bangsawan lainnya (Nugraha, 2001: 3). Di sinilah nanti antra segmen masyarakat luas (yang diwakili kalangan abangan) dan segmen kaum elite atau kaum terpelajar akan bertemu dan tampaknya lalu bersama-sama berjuang untuk eksistensi Kepercayaan TME pada masa-masa menjelang proklamasi kemerdekaan Repoblik Indonesia dan masa-masa seterusnya.

Selanjutnya pada rentang waktu antara 1945-1950-an, mulai popular sebutan “klenik-kebatinan” sebagai imbas dari perjuangan revolusi fisik pescakemerdekaan. Demi untuk mempertahankan kemerdekaan dari penguasaan kembali para penjajah (Belanda/NICA terutama), maka masyarakat luas menggunakan berbagai macam cara untuk meperkuat diri dalam rangka untuk menghalau para penjajah yang ingin bercokol kembali ke bumi Indonesia. Maka, “klenik” (gerakan menggunakan magihitam), menjadi popular yang kemudian dikaitkan dengan usaha-usaha spiritual yang lain. Lalu muncullah istilah “aliran kebatinan”. Semulanya istilah “aliran kebatinan” ini dianggap istilah yang baik, namun setelah tercampur dengan “klenik” tersebut, maka istilah “aliran kebatinan” menjadi nama yang mulai dihindari (“disiriki”, kata dalam Bahasa jawa). Tampaknya pengaruh suasana kemasyarakatan berpengaruh pula pada pergeseran tekanan nama kebatinan tersebut.

Selanjutnya lagi, pada rentang waktu antara 1950-970-an, sebutan “kebatinan” (yang dirumuskan dengan istilah “kebatinan, kejiwaan, kerohanian”) menjadi lebih popular. Apalagi hal itu diperkuat dengan dilaksanakannya sebuah symposium dengan nama symposium Kepercayaan (Kebatinan), Kejiwaan, Kerohanian) pada tanggal 7-9 November 1970 di Yogyakarta (Damami, 2011: 110). Dalam rentang tahun-tahun 1950-1970-an, tampaknya masyarakt luas haus akan ketenangan dan kedamaian. Sebab, pada rentang waktu 2 (dua) decade tersebut pertikaian paham dan praktik politik sangat luar biasa, apalagi setelah Presiden Sukarno melibatkan negara Republik Indonesia dalam percanturan politik dunia antara “Blok Barat” di bawah pimpinan Amerika yang kapitalistis dan “Blol Timur” di bawah pimpinan Uni Soviet yang sosilistis-komunistis. Masyarakat luas mengalami kebingungan tentang arah politik yang seharusnya dilakukan, disamping dera penderitaan ekonomi masyarakat makin menjadi-jadi. Dalam kondisi bingung dan pengap-politik seperti itulah maka masyarakat luas haus ketenangan dan kedamaian. Karena itu wajar kalau kebatinan menjadi popular dan lau dalam masyarakat.

Sejarah masih belanjut, yaiut pasca- 1970 dan seterusnya. Pada tahun 1973 dilangsungkan siding Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai hasil Pemilihan Umum I pada Zaman Orde Baru. Dalam SU-MPR 1973 tesebut perjuangan legalisasi lebih ditekankan dengan mengusung sebutan “kepercayaan” dan dalam SU-MPR 1973 tersebut kalangan kebatinan berhasil membakukan namanya menjadi “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Selanjutnya, dalam SU-MPR tahun 1978 kalangan Kepercayaan TME meperoleh penegasan jati dirinya dengan rumusan sebagai berikut (Damami, 2011: 208-209):

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agamaPembinaan /kursif dari penyalin/ terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan:

  • Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru /kursif dari penyalin/.
  • Untuk mengefektifkan pengambilan langah yang perlu agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar sesuia dengan dasar Ketuahan Yang Mahas Esa /kursif dari penyalin/ menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

 

  1. Macam Jenis Kepercayaan TME

Kalau dilihat dari perspektif antropologi agama, maka jenis “kepercyaan TME” dapat dipecah menajdi 2 (dua) jenis. Pertama, kepercayaan TME yang basisnya kearifan local (local genius) yang sudah ada berates-ratus tahun lamanya. Barangkali yang masuk kategori ini misalnya religi Permalin di kalangan Batak, religi Kaharingan di Kalimantan, religi Toani Tolotang di Sulawesi, religi Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan sebagainya. Diperkirakan kearifan local (local genius) seperti ini sudah ada sebelum datang agama-agama besar dunia. Itu puola sebabnya ajarannya mungkin relative sangat terbatas dipengaruhi atau dicampuri oleh agama-agama bear yang masuk kemudian.

Kedua, kepercayaan TME yang basisnya berupa wadah-wadah sosial yang kelahirannya diperkirakan pada awal abad ke-20 dan seterusnya. Kepercayaan TME jenis terakhir ini bisa muncul dikalangan rakyat jelata (grass root) dan bisa pula muncul di kalangan elite, misalnya dari kalangan intelektual atau memiliki darah biru (bangsawan), paling tidak dalam “gelar keningrata” (misalnya Budi Luhur didirikan oleh Prof. Dr. Bendara Baden Mas (BRM) Tjokrodiningrat /10 Mei 1946/. Ilmu Sedjati didirikan oleh Raden (R) Soedjono Prawirosocdarso /10 Oktober 1925 di Caruban, Madiun/, Paguyuban Sumarah didirikan oleh Raden Ngabehi (R. Ng.) Soekirnohartono, seorang pewagai Kasultanan Yogyakarta /8 September 1935/, Paguyuban Ngosti Tunggal (Pangestu) didirikan oleh Raden ® Soenarto Mertowardoyo /20 Mei 1949/, Susila Budi Dharma (Subud) didirikan oleh Mohammad Subuh Sumodidjojo /19 Oktober 1964 di Jakarta/, Aliran Perjalanan didirikan oleh Mohammad Kartawinata, Mohammad Rasid dan Sumitra /17 September 1927 di Kampung Cimerta, Subang, Jakwa Barat/, dan sebagainya) (Nurdjana, 2009: 74-108). Seperti telah disinggung di atas, bahwa di kalangan elite ini ada nuansa terpengaruh oleh gerakan theosofi yang mulai marak di Indonesia, yaiut sejak kepemimpinan Helena Petrova Blavatsky digantikan oleh Dr. Annie Besant pada tahun 1895 di tingkat kepemimpinan dunia (Nugraha, 2001: 9-19.

Dengan adanya 2 (dua) jenis Keprcayaan TME di atas, akan teruji nanti mana yang  lebih tahan hidup dari kedua jenis Kepercayaan TME tersebut. Hal ini mengingat bahwa Kepercayaan TME jenis kedua (yang rata-tata lahir setelah abad ke-20) tampaknya lebih terfokus pada kewibawaan tokoh-tokoh pendirinya. Bahwa bila kaderisasi ketokohan dari Kepercayaan TME tersebut kurang bagus, maka nasib hidup Kepercayaan TME mesti gampang terancam. Terdapat juga kesan, bahwa daya tahan hidup Keprcayaan terehadap TME teresebut lebih banyak tergantung pada daya-vital keorganisasiannya. Jadi, militansi keorganisasiannya menjadi tumpuan.

Lain halnya dengna Kepercayaan TME yang berbasis karifan lokal (local genius) yang diperkirakan umurnya telah ratusan tahun (yang biasanya telah mengendap dalam adat suku setempat), maka dimungkinkan nasib umurnya hanya ditentukan oleh : apakah ajarannya yang bersifat turun-temurun tesebut mampu menghadapi tantangan kemajuan zaman yang terus-menerus berubah dan pengaruh peradaban dunia yang tidak bisa dibendung dan dihindari lagi. Mungkin yang menjadi persoalan untuk jenis Kepercayaan TME ini adalah ada atau tidak lembaga yang diberikan wewenang untuk merevitalisasi ajaran Kepercayaan TME tersebut.

Ada satu hal lagi yang patutu dicatatkan di sini bahwa apakah dari kedua jenis Kepercyaan TME ini ada kerjasama yang baik  untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan perbedaan yang ada dan mungkin akan terjadi di internal mereka. Sebab dengan begitu banyaknya sekte, yang di kalangan Kepercayaan TME disebut “wadah sosial”, yaitu tak kurang dari 245 sekte/wadah sosial, barangkali tidak akan begitu mudah untuk menyatukan  pendapat di Kalanga  mereka itu. Mungkin saja perbedaan dalam hal bangunan ajaran, bisa juga dari segi pengaturan keorganisasian di bawah nama “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.

Masalah Perbedaan dengan “Agama”

Harus diakui, bahwa Indonesia memang mengikuti cara berpikir bahwa negara ikut mengatur lalu-lintas pergaulan agama dan kepercyaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini antara lain disebabkan dalam Pencasila terdapat butir sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, mau tak mau, negera ikut mengatur dalam urusan agama ini, walaupun tidak sampai mengintervensi samapi tingkat “ajaran” dari agama yang bersangkutan.

Sebagai realisasi  keikutsertaan negara dalam hal pengaturan lalu-lintas pergaulan antaragama di atas, maka ada agama yang disebut “resmi” dilindungi negera, seperti Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Protestan, dan Katolik. Masih dimungkinkan untuk diterima juga agama Yahudi, zarasusstrian, Shinto dan Taoisme (Damami, 2018: 348). Lalu ada pertanyaan, apa sebenarnya yang disebut “agama”, atau paling tidak apa kisi-kisi yang dianggap baku untuk menilai bahwa hal itu “agma” atau bukan? Di sinilah orang mulai sukar untuk menjawabnya. Sungguhpun begitu, tuntutan pertanyaan tersebut secara terus-menerus meminta jawaban. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluar secara lebih adil. Salah satu alat pemecahannya adalah perlu “ilmu agama” (Science of Religion) dan studi tentang agama (The Study of Religion) menjadi bidang keilmuan yang berlu dilembagakan dan disosialisasikan di negera Republik Indonesia. Sebab dengan ilmu-ilmu semacam itu akan mudah diketahui mana ajaran intii setiap agma yang tidak boleh diganggu-gugat, sekalipun amat besar perbedaannya dengan agama-agama lainnya. Pengaturan agama dari aspek politik hanya diberlakukan kalau samapai ada penghinaan dan penodaan agama, bukan ikut pengitervensi muatan ajaran agama yang ada.

Sama halnya dengan Kepercayaan TME. Di sinipun tidak diperbolehkan terjadi penodaan atau penghinaan terhadapnnya. Bahwa Kepercayaan TME adalah “budaya spiritual”. Sebab, kebanyakan Keprcayaan TME lebih bernuansa yang menjurus kea rah corak mistisisme. Sementara itu agama-agama besar yang dilindungi negara diatas memiliki 3 (tiga) komponen pokok meliputi : teologi (ilmu yang membahas tentang di selingkar yang disebut  “Tuhan”), eskatologi (ilmu yang membicarakan tentang kehidupan setelah mati), dan dogma keslamata (salvation). Bahkan alam agama Islam ada ajaran-ajaran yang meliputi : (1) teologi (ilmu kalam); (2) fikih/hukum; (3) tasawuf/mistik (termasuk akhlak); (4) falsafat; (5) politik/khilafah/syuro; (6) ekonomi; (7) pendidikan; (8) dakwah; (9) kebudayaan/tamaddun; (10) sains; (11) seni; dan (12) pembaharuan pemikiran. Dalam “teologi Islam” dibahas di dalamnya sangat detail tentang “keimanan” (terhadap Allah, kitab Allah, utusan Allah, malaikat llah, hari akhirat dan termasuk di dalamnya tentang “keselamatan” /eskatologi/, dan takdir atau ketetapan Allah yang tidak bisa diganggu-gugat oleh makhluk-Nya (Damami, 2011: 83). Dengan demikian, bila Kepercayaan TME dibandingkan dengan muatan agama Islam, sungguh sukar untuk dapat menyamakannya. Bedanaya terlalu besar.

Apa Wujud Pelayanan Negara?

Kalau menlihat sejarah, ternyata proses implementasi Undang-undang dasar 1945 Bab XI di bawah judul “Agama” Fasal  29 ayat 1 dan 2, dalam ranah eksukutif yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk Kementrian/Departemen dalam susunan cabinet pemerintahan, ternyata tidak mudah. Hal ini terbukti ketika lembaga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membicarakan akan didirikan/diadakan “Kementrian Agama”, maka dalam siding yang menentang ada 27 orang, sedangkan yang setuju 6 orang. Lalu, ketika cabinet Sjahrir I (14 November 1945 – Jnuni 1946) akan dibentuk, maka atas usul KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) berdasar prakarsa Kyai Hani Abudardiri, Kyai Haja Saleh Su’aidy, dan M. Sukoso Wiryosaputro serta didukung penuh oleh Mohammad Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo, dibentuklah “Departemen Agama Republik Indonesia” secara resmi dalam cabinet tersebut dan Menteri Agama pertamanya adalah H.H. Rasjidi, B.A. Kecurigaan-kecurigaan kaum nasionalis-sekuler terhadap kemungkinan-kemungkinan didirikan Departemen Agama dalam susunan cabinet-kabinet di negara Indonesia, ternyata da, tentu saja berdasar dalih-dalih versi kaum nasionalis-sekuler. Patut dicatat, pada masa-masa awal Departemen Agama ini didirikan, belum ada gejala kalangan “kepercayaan” ingin disetarakan dengan “”agama”.

Dalam rumusan UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 dikatakan: “Negara menjamin /kursi dari penyalin/ kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam kata “menjamin” ini dalam praktiknya dijabarkan dalam wujud melindungi hak pilih keyakinan penduduk (warga negara), melindungi keberadaan agama yang diyakini/dipeluk penduduk (warga negara), dan melindungi keamanan dalam peribadatan penduduk (warga negara), serta “melayani” agar nyaman dalam menjalankan hidup keberagamannya.

Dalam praktiknya, berdasarkan Tap-MPR 1978, karena Kepercayaan TME ditegaskan “tidak merupakan agama”, maka wujud pelayanan negara terhadap Kepercayaan TME tidak di bawah Depertemen Agama Republik Indonesia, melainkan di bawah departemen lain yang dianggap relevan, misalnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Sebab, Kepercayaan TME dianggap sebagai “kebudayaan spiritual” dalam perbahasaan admisitrasi negaranya.

Mengingat isi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2008 tentang Administrasi Kependudukan dalam pasal 61, dan apalagi dalam Keputusan Mahkaman Konstitusi yang membolehkan Kepercayaan TME dituliskan dalam kolom Kartu Tanda Penduduk, mala pelayaan terhadap Kepercayaan TME tetap tak berubah. Artinya, Kepercayaan TME tidak disamakan dengan “agama”, walaupun tetap dilayani oleh negara berdasar undang-undang yang relevan untuk itu. Tuntutan mereka, disamping identitas resmi dalam kolom KTP, juga sistem pernikahan, sistem upacara kematian, dan sistem sumpah/janji dalam pelantikan jabatan.

Dalam konteks masa depan, begaimanapun kisi-kisi yang jelas barangkali sangat diperlukan untuk menyaring mana-mana yang layak diterima sebagai “Kepercayaan TME” dan mana-mana pula yang tidak layak diterima. Ini sangat penting, agar di kemudian hari tidak terjadi pertumbuhan yang tidak terkendali dan akan membuat repot semua pihak, termasuk kalangan “agama”. Hal ini mengingat dalam berita dalam surat kabar, tabloid, majalah, teve, dan sebagainya kadang-kadang ada berita munculnya tokoh yang mengaku dirinya mendapat wangsit, suara gaib, dan sebagainya yang kemudian membentuk sistem ajaran dan kegiatan/gerakan tersendiri yang tidak jarang masyarakat luas merasa terusik kenyamanan pergaulan sosialnya.

Lebih lanjut, khususnya kalangan islam, bahwa karena nuansa yang cukup menonjol yang diperlihatkan dalam tampilan wadah-wadah sosial dalam Kepercayaan TME, antara lain Kepercayaan TME untuk jenis kedua, adalah nuansa mistisisme atau mungkin renungan-renungan atau filsafat kehidupan, yang tampaknya tujuannya adalah untuk pembersihan rohani dan penghayatan moralitas, maka apakah kalangan umat Islam tidak perlu menegok kembali potensi tasawuf positif dan amalan tarekat yang dimodifikasi lebih menarik serta produktif untuk menghadapi kompleksitas kehidupan sehari-hari yang mungkin mengancam ini? Wallahu a’lam.

 

 

 

Referensi

 

Anonym, 2005. Piagam Jakarta, Undang-Undang Dasar 1945. Bandung: Penerbit “Citra Umbara”.

Anonym, 2007. Administrasi Kependudukan, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006. Bandung: Fokus Media.

Al Makin, 2017. Nabi-Nabi Nusantara, Kisah Lia Eden dan lainnya. Yogyakarta: Suka-press.

Arta Wijaya, 2010. Gerakan Theosodi di Indonesia, menelusuri jejak aliran kebatinan Yahudi sejak zaman Hindia Belanda hingga Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Damami, Mohammad, 2011. Kepercayaan terhadap Tuhan Maha Esa pada Periode 1973-1983: Sebuah Sumbangan Pemahaman tentang Proses Legislasi Konstitusional dalam Konteks Pluralitas Keberagaman di Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama RI.

Damami, Mohammad, 2018. Kepercayaan terhadap Tuhan Maha Esa Dewasa Ini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nugraha, Iskandar P. 2001. Mengikis Bats Timur dan Barat, Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.

Nurdjana, IGM. 2009. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpoang di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

One thought on “Aliran Kepercayaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *