Hukuman Anak Dilarang, Begini Cara Rasulullah Ajarkan Kedisiplinan Tanpa Pukulan atau Kekerasan

Oleh: Imam Sapari, S.HI., M.Pd.I.

KABARTABLIGH.COM -Hukuman fisik atau verbal sering kali dianggap sebagai cara instan untuk mendisiplinkan anak. Padahal, studi psikologi dan ajaran Islam menunjukkan bahwa pendekatan ini justru bisa merusak psikologis anak dan memutus komunikasi.

Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam mendidik dengan kelembutan, dan ajarannya sangat relevan dengan teori parenting modern. Mari kita bedah tiga poin utama yang saling berkaitan antara ajaran Islam dan parenting zaman sekarang.

Allah berfirman dalam QS. Luqman ayat 13

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di saat ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Ayat di atas bila kita galih dalam perspektif Pendidikan anak, maka akan mengandung 3 prinsip yang harus ditanamkan ketika mendidik anak.

1Prinsip Komunikasi Positif dan Kelembutan (Positive Discipline)

Pada ayat di atas, mengandung aktivitas komunikasi seorang ayah kepada anaknya bahkan terekam jelas komunikasi yang dilakukan mengandung makna penuh kelembutan penuh kasih saying bukan paksaan atau bentakan, yakni tatkala Luqman memanggil anaknya dengan sebutan “yaa bunayya” (wahai anakku sayang).

Hal ini menggambarkan sebuah rumus “Jika yang tua menyayangi yang muda, tentunya yang muda akan hormat kepada yang tua”. Pendekatan ini membangun ikatan yang kuat (secure attachment), membuat anak merasa nyaman dan lebih mudah menerima arahan.

Di zaman sekarang, para ahli parenting menekankan pentingnya komunikasi positif dan menghindari hukuman fisik. Ajaran ini sudah ada dalam Islam jauh sebelum teori-teori modern muncul. Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang lemah lembut. Beliau tidak pernah memukul atau memarahi anak-anak, bahkan saat menasihati kesalahan.

Sebagai Contoh :

Saat anak menolak membereskan mainannya, orang tua dapat berjongkok agar mata sejajar dan berkata dengan lembut, “Nak, kalau mainannya dibereskan bersama, nanti kamarnya jadi rapi dan kita bisa main lagi. Mau kita bereskan sama-sama atau kamu bereskan sendiri?”

Pendekatan ini mengajarkan kemandirian, kerja sama dan tanggung jawab tanpa merusak otak, jiwa dan hubungan diantara keduanya.

Prinsip Pendidikan Aqidah dan Karakter (Nilai / Character Education)

Nasihat Luqman di atas adalah tentang ketauhidan, yaitu larangan mempersekutukan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa fondasi utama dalam mendidik anak adalah menanamkan nilai-nilai aqidah (keimanan) dan akhlaq (Jiwa) sejak dini. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia.”

Di era digital, anak-anak mudah terpapar berbagai informasi, doktrin dan berbagai budaya. Oleh karena itu, pendidikan aqidah dan karakter menjadi benteng penting. Islam menempatkan akhlak mulia sebagai fondasi utama pendidikan, di mana nilai-nilai seperti kejujuran dan rasa hormat diajarkan melalui teladan.

Ini sangat relevan dengan teori Character Education dan Social Learning Theory. Teori ini menyatakan bahwa anak belajar melalui observasi dan imitasi. Anak-anak akan meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya. Keteladanan orang tua menjadi metode pendidikan yang paling efektif, sebagaimana diajarkan oleh Islam.

Sebagai contoh Ketika anak menemukan uang jatuh, orang tua bisa menjelaskan dengan lembut bahwa mengambil barang yang bukan haknya adalah perbuatan yang tidak disukai Allah. Kemudian, ajak anak untuk menitipkan uang tersebut kepada penjaga masjid. Tindakan ini mengajarkan nilai kejujuran secara langsung dan memberikan contoh nyata tentang akhlak mulia.

Prinsip Keterlibatan Anak dalam Ibadah (Empowerment)

Prinsip yang ketiga adalah Islam mengajarkan agar anak-anak dilibatkan dalam ibadah secara bertahap, sesuai usianya, untuk menumbuhkan rasa cinta dan tanggung jawab. Perintah untuk mengajak anak salat sejak usia 7 tahun, bukanlah pemaksaan, melainkan fase pembiasaan.

Pendekatan ini sejalan dengan konsep empowerment dalam psikologi, di mana anak diberikan peran dan tanggung jawab. Ketika anak merasa dipercaya, mereka akan termotivasi dan merasa menjadi bagian penting dari keluarga.

Konsep ini mirip dengan Sense of Belonging, di mana anak merasa menjadi bagian penting dari suatu kelompok. Dengan melibatkan anak dalam ibadah, mereka tidak hanya merasa memiliki tanggung jawab spiritual, tetapi juga membangun ikatan emosional yang kuat dengan keluarga dan agamanya.

Contoh : Nabi Ibrahim melibatkan Nabi Ismail dalam membangun kembali bangunan ka’bah. Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari. Daripada memarahi anak yang malas salat, orang tua bisa membangun sense of belonging dengan berkata, “Nak, Papa butuh bantuan kamu untuk membangunkan Adik salat. Kita salat berjamaah sama-sama, ya.” Setelah salat, berikan pujian yang tulus. Pendekatan ini menumbuhkan kesadaran spiritual tanpa tekanan.

Mendidik anak adalah tugas mulia. Ajaran Rasulullah SAW telah memberikan panduan yang lengkap, yang ternyata sangat relevan dengan kajian psikologi modern. Dengan menerapkan komunikasi yang penuh kelembutan, Positif, penuh keteladanan dalam pendidikan karakter, dan melibatkan anak dalam tanggung jawab spiritual, kita dapat membentuk generasi yang berakhlak mulia dan memiliki ikatan yang kuat dengan orang tuanya, tanpa harus menggunakan kekerasan. (*)

Editor Wildan Nanda Rahmatullah 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *