Sikap Ekstrem (Ghuluw) dalam Beragama

Al-Ghuluw : Sikap Berlebihan Dalam Beragama

Ahmad Hermawan, Lc., M.A.[1]

 

  1. Islam Sebagai Ummah al-Wasathiyah

Islam adalah agama yang dibangun di atas landasan keseimbangan yang proporsional. ajarannya menyelaraskan antara kebutuhan jasmani dan ruhani, urusan duniawi dan uhkrawi[2]. Aspek keseimbangan Islam inilah yang menjadi identitas agama ini sebagai umat yang disebut wasathan[3] dan khairu ummah[4].

 

 

Allah menurunkan Islam sebagai agama yang berjalan di atas manhajalqawim[5],yang mudah[6] dan sesuai dengan fitrah manusia[7].

Berbagai aspek syariat dalam ajaran Islam dari masalah aqidah, ibadah dan mu’amalah semuanya dibangun sesuai dengan porsinya sebagai ajaran yang sesuai dengan kehidupan umat manusia.Islam menyeru manusia untuk memurnikan aqidah dengan bertauhid hanya kepada Allah, meninggalkan segala bentuk kemusyrikan yang mendudukkan mahkluk sebagai sesembahan[8].

 

Segala bentuk ibadah telah diatur sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kadar kemampuan manusia[9]. Ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji diperintahkan bagi mereka yang secara syar’i telah memenuhi syarat pelaksanaan. Oleh karena itu, ibadah dalam Islam tidaklah menjadi beban yang tidak sanggup dikerjakan oleh manusia. Orang yang tidak mampu shalat dengan berdiri dapat shalat dengan duduk atau berbaring, orang yang sakit atau bepergian ketika puasa dapat mengantinya di hari lain dan bahkan membayar fidyah. Orang yang belum cukup dewasa dan tidak berakal(gila) tidak diwajibkan baginya shalat, puasa dan ibadah lainnya. Gambaran itu menunjukkan bahwa taklif ibadah yang telah ditetapkan Islam sesuai dengan fitrah umat manusia.

Kehidupan manusia yang berkaitan dengan urusan muamalah juga diatur sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dalam hal perekonomian misalnya, Islam bukanlah agama yang cenderung pada sistem kapitalis yang hanya memihak golongan tertentu dalam peredaran harta namun, bukan pula yang cenderung pada sistem sosialis yang menghilangkan hak-hak kepemilikan harta manusia. Islam menjamin hak-hak kepemilikan harta dengan mengharamkan riba, judi, penipuan dan lainnya.

Mu’amalah dalam makna yang luas termasuk di dalamnya masalah pernikahan juga  menjadi bagian yang telah diatur sedemikian rupa. Islam tidak melarang umatnya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis selama itu berada pada garis yang telah diatur syariat. Penciptaan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan yang ditanamkan pada keduanya rasa cinta kasih adalah tabiat dasar manusia yang tidak dapat dihalangi. Atas dasar itu tidak dibenarkan seseorang Muslim hidup seperti para rahib atau para biarawan dan biarawati Nasrani yang membujang dalam hidupnya dengan alasan ibadah. Pernikahan bahkan bernilai ibadah sebagai sarana dalam melabuhkan rasa cinta dan kasih sayang antara pria dan wanita dalam upaya mewujudkan kebahagian hidup dunia dan akhirat.

 

  1. Al-Ghuluw, Makna dan Cakupannya

Berlebihan dalam agama dengan berbagai macam dan bentuknya memiliki istilah yang beragam. Beberapa istilah itu antara lain “al-ghuluw, al-Ifrath,at-tafrith”. Istilah-istilah itu meski berbeda lafadz namun pada dasarnya memiliki makna yang saling berkaitan.

Para ahli bahasa mendefinisikan makna al-ghuluw sebagai perbuatan melampaui batas, Ibnu Faris mengatakan bahwa kata ghuluw yang terdiri dari al-ghainlamhuruf mu’tal adalah kata yang maknanya menunjukkan pada perbuatan meninggi dan melampaui kadar.  Sebagaimana meningginya harga barang yang melampaui batasannya.

Ibnu Taimiyah mendefinisikan sebagai berikut:

الغلو: مجاوزة الحد , مجاوزة بأن يزاد فى الشيء فى حمده أو ذمه على ما يستحق و نحو ذلك.

Ghuluw yaitu malampaui batas,melampaui batas dengan menambah-nambahkan dalam memuji atau mencela sesuatu lebih dari apa yang menjadi haknya dan yang semisal.[10]

 

Definisi yang sama dikemukakan Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

الغلو : المبالغة فى الشيء و التشديد فيه يتجاوز الحدّ.

Berlebih-lebihan dalam sesuatu dan berlaku keras sehingga melewati batas.[11]

Berdasarkan dari definisi-definisi itu, jelaslan bahwa al-ghuluw yaitu melampaui batas dalam perkara yang ditetapkan syara’ yang hal itu dengan menambah-nambahkannya atau melewati batas sehingga mengeluarkannya dari sifat yang menjadi kehendak dan tujuan dari Sang Pembuat syariat yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Istilah berikutnya yaitu al-Ifrath, secara etimologi yaitu mendahului, dan melampaui batas. Ibnu Faris menyebut, afrataha: apabila melampaui batas dalam perkara, apabila melampaui kadar maka menjauhkan sesuatu dari tujuannya.

قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَن يَطْغَىٰ

Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas”.[12]

 

At-Thabari menyebut makna ifrath sebagi berikut:

الإفراط : فهو الإسراف و الإشطاط و التعدى يقال منه : أفرطت فى قولك إذا أسرف و تعدى..

Ifrath yaitu berlebihan, menyimpang, dan melanggar batas, dari itu dikatakan: engkau telah berlebihan dalam berbicara apabila berlebihan dan melampaui batas.[13]

 

Kesimpulannya bahwa al-ifrath adalah melampaui batas dan mendahului kadar yang diperlukan, lawan dari tafrith.

Makna tafrith secara etimologi  adalah menyia-nyiakan atau melalaikan itulah yang tercermin dari ungkapan Rasulullah SAW  berikut ini:

أما إنه ليس فى النوم تفريطإِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ

Adapun orang yang ketiduran itu tidak dikatakan meremehkan. Sesungguhnya yang dinamakan meremehkan adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai datang waktu shalat berikutnya[14]

Berdasarkan hal itu maka tafrith  makna asalnya secara umum adalah menganggap mudah dan remeh. Merujuk pada pengertian tersebut, masing-masing dari kata al-ghuluw dan Ifrathkeduanya saling melengkapi. Orang yang berkeras diri dalam mengharamkan beberapa hal yang baik serta mencegah dirinya dari itu disebut ghuluw,  adapun menghukumi orang yang memusuhi dengan hukuman yang malampaui batas itu adalah ifrath.

al-Qur’an secara tegas menunjukkan larangan perbuatan al-ghuluw ini dalam dua ayat  yang disebut di surat An-Nisa’ dan al-Maidah dengan lafadz yang jelas, Allah berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ…..

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar….[15]

Menurut Imam at-Thabari, makna ayat itu janganlahkalian melampaui kebenaran dalam agamamu sehingga kamu melalaikan apa yang ada padanya, asal al-ghuluw dalam segala sesuatu adalah melampaui batas yang menjadi batasannya. Perbuatan melampaui batas dalam agama adalah seperti yang dilakukan umat Nasrani yang mengatakan bahwa Isa Al-Masih itu Allah, atau anak Allah, atau Allah adalah salah satu dari yang tiga.

Ibu Katsir mengatakan, Allah SWT melarang Ahlul kitab dari perbuatan yang melampaui batas sebagaimana yang terjadi pada umat Nasrani. Mereka melampaui batas dalam hal mengangkat derajat Isa Al-Masih pada tingkat ketuhanan lebih dari apa yang Allah berikan kepadanya. Menempatkan posisi kenabian menjadi tuhan sesembahan sebagaimana menyembah Allah.

Laranganal-ghuluw ini juga disebutkan dalam firman Allah berikut ini:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus“.[16]

Al-Ghuluw menurut Abdurrahman ibn Ma’la Al-Luwaihiq dibagi menjadi beberapa bagian[17]:

  1. Ghuluw berdasarkan asalnya ada dua macam
  2. Memaksakan diri sendiri dan orang lain terhadap apa yang tidak diwajibkan Allah dalam beribadah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَالَ مَا هَذَا الْحَبْلُ قَالُوا هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حُلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ

Dari Anas bin Malik R.A. berkata: Nabi SAW memasuki masjid ternyata seutas tali terikat diantara dua tiang, beliau bertanya: Tali apa ini ? jawab mereka: ini tali Zaenab, apabila penat ia bergantung padanya, maka Nabi SAW bersabda: lepaskanlah hendaknya salah seorang dari kalian sampai pada ketekunannya, apabila penat hendaknya ia berbaring.[18]

Menurut Ibnu Hajar dalam menjelaskan Hadist ini: hadist ini menganjurkan untuk sederhana dalam beribadah, dan larangan terlalu bertekun diri (memaksakan diri) dalam ibadah .

  1. Mengharamkan sesuatu yang baik yang diperbolehkan Allah karena untuk ibadah, atau meninggalkan beberapa kebutuhan dasar manusia.

Perkara seperti ini  telah Allah peringatkan dalam al-Qur’an berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا  إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.[19]

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir meriwayatkan  apa yang telah diriwayatkan Ali ibn Abi Talhah dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa ayat itu diturunkan berkaitan dengan segolongan orang dari sahabat Nabi yang mengatakan, “kita kebiri diri kita, tinggalkan nafsu syahwat duniawi dan mengembara di muka bumi seperti yang dilakukan para rahib di masa lalu, ketika berita itu sampai pada Nabi SAW, maka beliau mengirim utusan untuk menanyakan hal tersebut kepada mereka.  Mereka menjawab, “benar”. Maka Nabi bersabda:

لكني أصوم وأفطر وأصلي وأنام وأنكح النساءفمن أخذ بسُنَّتِي فهو مِنِّي ومن لم يأخذ بسنتي فليس مني. رواه ابن أبي حاتم.

Tetapi aku puasa, berbuka, salat, tidur, dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang mengamalkan sunnahku (tuntunanku), berate dia termasuk golonganku; dan barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.

 

  1. Ghuluw yang bekaitan dengan penghakiman atas orang lain.

Perkara ini seperti yang dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok yang memuji dengan cara berlebihan atau terlalu keras dalam mencela orang lain. Dengan cara itu maka terjadilah pensifatan (labelisasi) terhadap seseorang atau golongan tertentu dengan sifat yang tidak semestinya, seperti pernyataan  bahwa seseorang sebagai nabi, wali atau tuduhan bahwa si fulan atau kelompok ini dan itu kafir, fasiq, dan sesat. Pemberian sifat yang tidak semestinya (pengkultusan) dapat menjerumuskan seseorang pada perbuatan ghuluw yang mengantarkan seseorang pada perbuatan dosa dan kemusyrikan. Perilaku umat Nasrani dalam pengkultusan terhadap Nabi Isa As sebagai Allah atau putra Allah telah mengantarkan mereka kedalam perbuatan syirik yang menyesatkan. Pengkultusan syiah terhadap Ali bin Abi Thalib, Ahmadiyah terhadap Mirza Ghulam Ahmad juga telah membawa mereka ke perbuatan ghuluw yang merusak akidah.

Perbuatan yang termasuk ghuluw diantaranya menghakimi seseorang dengan sebutan kafir, sesat dan yang serupa.Seorang Muslim yang berpegang pada prinsip manhaj al-washatiyah hendaknya berhati-hati, dan penuh perhitungan dalam masalah ini. Rasulullah mengingatkan hal ini dalam hadist berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata,” Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang shalat seperti shalat kami, mengahadap kiblat kami dan makan sembelihan kami, maka dia seorang muslim yang baginya dzimmah(perlindungan)  Allah dan dzimmahRasul-nya. Oleh sebab itu, janganlah kalian mengkhianati atas dzimmah-Nya’.”[20]

Para ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah mereka berhati-hati dalam menetapakn kekafiran seseorang. Hal itu seperti pernyataan mereka berikut ini:

قال الإمام مالك: من صدر عنه ما يحتمل الكفر من تسعة و تسعين وجها و يحتمل الإيمان من وجه واحد حمل أمره على الإيمان

Barang siapa terindikasi padanya terdapat sembilan puluh sembilan sisi kekafiran dan terindikasi hanya satu sisi keimanan maka perkara itu membawa pada keimanan.[21]

وقال الإمام الشافعى : لا أردّ شهادة أحد من أهل الأهواء إلا الخطابية فإنهم يعتقدون حلّ الكذ ب.

Aku tidaklah menolak kesaksian salah seorang dari ahlul qiblat kecuali al-Khotobiyah, mereka meyakini halalnya berdusta.[22]

وورد عن الإمام أبى حنيفة أنه لم يكفر أحدا من أهل القبلة.

Disampaikan dari Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau tidak mengkafirkan seseorang dari ahlul qiblah.

  1. Al-Ghuluw tidak saja hanya perbuatan, namun adakalanya berupa meninggalkan sesuatu; meninggalkan hal yang halal seperti tidur dan makan atau yang semisal. Apabila peninggalan itu dilakukan dalam rangka ibadah dan mendekatkan diri pada Allah, seperti perilaku para sufi dan para vegetarian.
  2. Al-ghuluw dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu ghuluw I’tiqadi dan ‘amali

Ghuluw I’tiqadi  adalah perilaku berlebihan dalam hal yang berkaitan dengan masalah aqidah saja, seperti kultus terhadap imam secara berlebihan atau bahkan menyatakan kemaksuman mereka dari dosa. Mengkafirkan orang beriman dan memperlakukannya selayaknya orang kafir. Ghuluw dapat pula disebut sebagai ghuluw I’tiqadi kulli ketika perbuatan itu dilakukan pada seluruh aspek syariat yang mencakup semua pokok persoalan agama seperti akidah. Hal semacam itu dampaknya berbahaya karena terjadinya perpecahan umat seperti kelompok Khawarij dan Syiah yang secara terang telah keluar dari shiroth al-mustaqim.  Berbeda dari sebelumnya, al-Ghuluw al-juzi al-‘amali  adalah perilaku berlebihan yang dilakukan hanya berkaitan dengan bagian tertentu dari amalan-amalan syariah dan bukan perkara akidah, baik itu berupa perbuatan ataupun ucapan.

  1. Usaha untuk mencapai kesempurnaan ibadahpada dasarnya bukanlah hal yang dilarang, akan tetapi dalam mencapai kesempurnaan ibadah perlu juga memperhatikan batasan-batasannya seperti jenis amalan yang dilakukan, serta orang yang melaksanakannya. Misalnya dalam hal sedekah, seseorang perlu mempertimbangkan kadar kemampuan dirinya, kondisi orang yang diberi sedekah dan barang yang disedekahkan. Perhatian yang demikian, dimaksudkan agar suatu amalan sesuai dengan porsinya sehingga tidak menimbulkan hal yang diluar batas kewajaran atau dalam melakukan hal-hal yang sifatnya sunnah tidak menimbulkan rasa bosan yang justru berdampak pada peninggalan amalan yang wajib[23].
  2. Pernyataan bahwa suatu perbuatan termasuk dalam perkara ghuluw atau seseorang disebut gholat (bertindak melampaui batas) termasuk dalam hal yang rawan. Perkara itu tidaklah dapat ditetapkan kecuali oleh para ulama yang mengerti batasan-batasan suatu amalan dan mendalami ilmu aqidah dan cabang-cabangnya. Suatu perkara yang asalnya syar’i karena ketidaktahuan dapat saja dianggap sebagai sesuatu yang ghuluw ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, standar untuk menetapkan bahwa suatu amalan dapat dinyatakan sebagai ghuluw atau tidak adalah kembali pada sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah, dan bukan berdasar pada hawa nafsu, tradisi, kebiasaan atau akal semata.

 

  1. Al-Ghuluw, antara Fakta dan Propaganda

Pada era belakangan ini umat Islam cukup diresahkan dengan munculnya istilah atau label-label seperti ekstrimis Islam, Islam garis keras, Islam radikal, Islam terorris, Islam fundamentalis yang ditujukan atau dilabelkan pada Islam baik sebagai individu atau kelompok. Istilah-istilah yang dalam pandangan penulis terus mengalami metamorphosis itu tidak hentinya terus membayangi kehidupan umat Islam dan bahkan tak jarang menyudutkan agama Islam sebagai agama yang dianggap tidak toleran atau agama yang mengajarkan teror.

Berbagai label seperti di atas, apakah kemudian dapat dipersamakan dengan istilah ghuluw yang dimaksud oleh agama Islam ataukah istilah-istilah itu tak lebih dari labelisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam melakukan propaganda merusak citra Islam menjadi tanda tanya besar yang harus ditelusuri.

Dinamika kehidupan umat manusia yang terus berkembang menjadi realita yang harus dihadapi umat manusia. Fenomena al-ghuluwdalam fakta sejarah kehidupan manusia khusunya umat Islam sendiri memang telah terjadi. Peristiwa tahkim (arbitrase) antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah adalah salah satu fakta sejarah yang menunjukkan cikal bakal terjadinya perilaku ghuluw dalam tubuh umat Islam dalam skala besar. Munculnya kelompok Syiah dan Khawarij yang dipicu masalah politik  mengantarkan perilaku ghuluw yang merusak unsur-unsur aqidah bahkan ibadah dan muamalah.

Perilaku berlebihan Syiah berupa kultus terhadap Ali bin Abi Thalib dan para imam serta perilaku keras kelompok Khawarij dalam mengkafirkan para sahabat dan kelompok lain telah mengantarkan kelompok tersebut pada perbuatan ghuluwyang keluar dari identitas ajaran Islam yang lurus dan washatan.

Pada era belakangan ini, khususnya pasca peristiwa 11 September di WTC indikasi terjadinya perilaku-perilaku ghuluw (extrim) sebagian kelompok orang yang disebut sebagai kelompok teroris, ekstrimis dan radikal juga menjadi pemberitaan hangat di media. Peristiwa kekerasan bersenjata berupa pengeboman ataupun peperangan atas nama jihad yang meresahkan umat karena sering diidentikkan dengan Islam.

Pada prinsipnya ajaran Islam yang washatan adalah ajaran yang berpegang pada prinsip cinta damai[24]dan menempatkan segala persoalan pada porsinya[25]. Islam sebagai agama dan ajaran bukanlah yang membenarkan perilaku kekerasan dan terror, bukan pula agama dan ajaran yang tanpa aturan dalam membangun kehidupan manusia. Prinsip-prinsip hubungan antar agama dan bahkan hukum peperangan telah diatur sedemikian rupa. Masalah yang muncul dalam kehidupan nyata adalah pemahaman segolongan umat Islam terhadap prinsip hubungan antar agama dan hukum perang itu tidak dipahami secara untuh sehingga terjadi perilaku ghuluw yang menimbulkan dampak negatif, baik terhadap individu dan kelompok yang bersangkutan ataupun pada Islam sendiri.

Esposito menyatakan:

Islam and Islamic law have consistently condemned terrorism (the killing of noncombatans). Like the members of all religious faiths, Muslims have had to deal with religious extremism and terrorism from their earliest days. The response of the mainstream majority to groups like Kharijites and the Assassins and more contemporary groups like Islamic Jihad in Egypt or al-Qaeda has been to condemn, combat, and marginalize them[26].

Dalam kasus seperti itu Islamlah yang pada akhirnya harus menjadi yang tertuduh dan disudutkan, padahal menurut Esposito, tindakan ekstrim dan terror tidak hanya ada pada Islam namun juga terdapat pada agama lain. Hal sulit selanjutnya yang menjadi pertanyaan; terletak pada masalah legitimasi yang melatarbelakangi munculnya perilaku itu. Apakah perbuatan terror dan ekstrim itu dibenarkan apa tidak. Apabila benar, benar menurut  apa dan siapa masih menjadi hal yang diperdebatkan.

Pada era kepemimpinanOrde Baru istilah-istilah yang cenderung bernuansa politis dan mendiskreditkan kelompok tertentu seperti Islam muncul dengan sebutan “ ekstrim kanan”  sebagai Islam separatis yang dipandang menjadi bahaya laten yang mengancam stabilitas keamanan negara khususnya para penguasa militer di Indonesia waktu itu.[27] Istilah ekstrim yang digunakan oleh rezim Orde Baru  itu bila dikaji secara seksama sejatinya tidaklah menunjukkan bahwa Islam yang diberi label seperti itu termasuk pada perilaku ghuluw, Melainkan labelisasi yang lebih bersifat propaganda dalam mencitrakan Islam sebagai agama yang keras dan anti-pemerintah.

Perkembangan labelisasi Islam dengan nama-nama yang berkonotasi negatif itu ternyata terus mengalami metamorphosis dari satu periode ke periode lain. Selain istilah ekstrimis ada istilah lain yang disebut fundamentalis. Istilah ini juga menjadi label yang sering digunakan untuk mendiskreditkan sekelompok umat Islam. Armstrong menyebut bahwa istilah “fundamentalist” digunakan Media Barat untuk menunjuk pada bentuk keagamaan yang saling bertentangan dan diwarnai kekerasan yang ada pada fenomena Islam[28].

Menurut Armstrong, kesan seperti itu adalah salah besar karena dalam agama lain seperti Yahudi, Kristen dan Hindu juga terdapat fundamentalis, bahkan istilah itu muncul pertama di Amerika pada awal abad ke-20. Kemunculan fundamentalis disebabkan kekecawaan pada arus modernisasi yang mengerus nilai-nilai agama dengan munculnya sekularisasi yang dipaksakan di dunia Muslim.[29] Fundamentalis dalam makna kembali untuk memurnikan ajaran agama dan menegakkan ajaran Islam dalam koridor syariat pada dasarnya adalah hal yang baik. Maududi misalnya, dapat disebut sebagai fundamentalisyang menentang sekulerisme dan menyerukan jihad melawan kolonialisme di Pakistan. Namun fundamentalis yang menggunakan cara kekerasan dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip ajaran Islam dapatlah disebut perbuatan ghuluw sebagaimana pengeboman hotel dan bahkan tempat ibadah.

Fenomena isu teror yang terjadi hampir diberbagai belahan dunia baik di negara berpenduduk Muslim ataupun berpenduduk non-Muslim setidaknya telah mengubah pandangan orang terhadap Islam. Lebelisai teroris terhadap kelompok Islam oleh Barat khususnya Amerika Serikat pada masa rezim George W. Bush sering dijadikan sebagai alat propaganda dalam menyudutkan umat Islam. Hal seperti itu selanjutnya diperparah dengan sikap sebagian orang yang dangkal pengetahuannya tentang Islam ikut terlibat kasus-kasus kekerasan berupa gerakan bersenjata ataupun pemboman. Akibat hal seperti itu pihak-pihak yang tidak suka dengan Islam menjadikan kasus itu sebagai alat untuk mengeneralisasi bahwa Islam identik dengan terror dan terorisme. Salah satu buku yang begitu mendiskreditkan Islam dan Nabinya adalah buku yang ditulis Robert Spencer dengan judul The Truth about Muhammad founder of the World’s most intolerant religion  buku itu dari judulnya secara jelas menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang cinta damai namun agama yang mengajarkan pada perilaku kekerasan.[30] Hal itu seperti pernyataan berikut ini: “Muhammad will continue toinspire his followers to wield the sword in his name”.[31]

Ungkapan seperti itu menunjukkan bahwa masih ada orang yang  beranggapan bahwa Islam sebagai agama yang menjadi sumber kekerasan. Padahal tidak pernah ada bahwa al-Qur’an maupun Hadist secara terang mengajarkan kekerasan seperti itu kepada umatnya kecuali karena kecerobohan dalam memahami  ayat atau hadist.[32]

Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa tidak setiap label negatif seperti ekstrim, radikal, teroris, fundamental dan yang semisal yang dihubungakan dengan Islam seperti belakangan ini, selalu dapat disebut sebagai sifat ghuluw kecuali bila orang atau kelompok  yang disebut seperti itu benar-benar telah melanggar batasan-batasan al-Qur’an atau as-Sunnah[33].Selama ini labelisasi Barat ataupun rezim penguasa khusunya di Indonesia dalam beberapa kasus yang telah terjadi tak lebih sebagai propaganda dalam melangengkan kekuasaan dan bahkan upaya pelemahan terhadap nilai-nilai aqidah dan kesempurnaan agama Islam. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa pasca tragedi WTC, Amerika dan sekutunya telah mencabik-cabik negaraIslam di beberapa wilayah Timur tengah dengan dalih perang terhadap terorisme.  Mereka juga menetapkan standarganda kepada Israel yang selama ini jelas-jelas melanggar HAM dan menjajah Palestina tanpa embel-embel teroris. Adapun organisasi seperti Hamas justru dilabeli sebagai organisasi teroris padahal mereka berjuang terhadap penjajah. Kasus seperti itu setidaknya menjadi pertimbangan bahwa apa yang menurut Amerika atau Barat sebagaighuluw (ekstrim) tidaklah menjadi standar untuk menjastifikasi bahwa setiap yang dilakukan oleh individu atau kelompok Islam disebut ghuluw dengan berbagai istilah yang dibuatnyaMengingat ghuluw dalam Islam adalahsegala bentuk perbuatan yang melampaui batas dan keluar dari batasan ajaran agama Islam yang telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an, maupun apa yang telah Rasul ajarkan dan contohkan dalam hadist, sebagai sumber utama agama Islam.Wallahu a’lam

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Armstrong, Karen Islam A Short History “terj. Ira Puspito Rini, New York: 2000.

Asqalani al-, Ibnu Hajar, Fathul Barri , Kairo: Dar al-Hadist, 2004.

Bukhari al- ,Ismail, al-Jami’as- Sahih lil Bukhari, “Kitab Shalat, Bab. Keutamaan

Menghadap Kiblat,Menghadap dengan ujung-ujung (Jari) kakinya”, Kairo:

Maktabah as-Salafiyah, 1400 H.

Esposito, John L. What Everyone needs to know about Islam, New York: Oxford

University Press, 2002.

Hefner, Robert W. Civil Islam : Muslims and Democratization In Indonesia,

New Jersey: Pricenton University, 2000.

Luwaihiq al-,‘Abdurrahman ibn Ma’la, al-Ghuluw fi ad-Din fi hayati al-Muslimin

al-Mu’ashirah, cet-I, Beirut: Mu’assah al-Risalah, 1992.

Nawawi, Imam,  Sahih Muslim Syarh NawawiKitab al-Masajid, Bab Qadha’

as-Sholat, Kairo: Maktabah as-Shofa, 2003.

Shalabi al-, Ali Muhammad, al-Wasathiyah fi al-Qur’an, Mansurah: Maktabah

al-Iman,2005.

Spencer, Robert The Truth about Muhammad founder of the World’s most intolerant

 religion,Wasington, DC, Regnery Publishing, 2006.

Sabiq,Muhammad Sayid, Fiqhu Sunnah, cet-9, Kairo: Dar al-Fathi, 1999.

Thalib, Muhammad, Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah

Al-Qur’an  Kemenag RI, Yogyakarta: Ma’had An-Nabawy,2012.

Taimiyah, Ibnu, Daru at-T’arudh al-‘aqlu wa an-Naqlu, Jamiah Ibn Su’ud, 1991.

_____________Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Nashir Abdul Karim al-‘Aql, (ed),

Riyadh: al-‘Abikan, 1404 H.

[1] Tim Asistensi Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Dosen Tetap pada Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) FAI Universtas Muhammadiyah Yogyakarta

[2]Q.S. al-Qashash[28]:77.

[3] Q.S. al-Baqarah [2]: 143. Makna al-washt dalam ayat ini menurut riwayat  at-Thabari dalam hadist Imam Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda: “al-washt”  yaitu adil, dan dalam takwilnya disebut adil karena yang “terpilih” diantara manusia adalah yang adil. Lihat.Ibn Jarir,  Tafsir Thabari,  II / 627. Menurut Ibnu Katsir makna “al-washt” dalam ayat ini adalah yang pilihan dan yang  terbaik, seperti dikatakan bahwa orang Quraish merupakan orang Arab yang paling baik keturunan dan kedudukannya.Rasulullah adalah orang terbaik dikalangan kaumnya.

[4][4] Q.S. Ali-Imran [3]: 110., Makna al-khairiah dalam ayat ini adalah sifat wasathiyah-nya sebagai umat pilihan yang berlaku adil, memerintahkan perbuatan ma’ruf dan mencegah kemungkaran  dilandasi dengan keimanan sehingga membedakannya dari umat yang lain. Lihat.  Ali Muhammad al-Shalabi, al-Wasathiyah fi al-Qur’an (Mansurah: Maktabah al-Iman,2005), hlm.65-66.

[5]المنهج : من مادة نهج-ينهج نهجا , الطريق البين الواضح و يطلق على الطريق المستقيم

Al-Manhaj: jalan yang terang dan jelas, yaitu jalan yang lurus.  لكل جعلنا منكم شرعة و منهاجا (المائدة: 48)   makna ayat itu menurut riwayat Mujahid, Ikrimah, dan Hasan Basri dari Ibn Abbas yaitu jalan dan tuntunan  adapun riwayat yang lain dari ibnu Abbas dari Mujahid dan Ata’ sebaliknya, yaitu tuntunan dan jalan. Ibnu Katsir merajihkan bahwa makna manhaj adalah tuntunan. Lihat .  Tafsir Ibnu Katsir, III,/154.

[6]“إن الله إنما أراد بهذه الأمة اليُسْر، ولم يرد بهم العُسْر”

Imam Ahmad,  al-Musnad, V/32 dari jalur Hamad dari al-Jariri dari Abdullah ibn Syaqiq dari Mahjan seperti itu.

[7]Q.S. ar-Rum [30]:30.

[8] Q.S. an-Nisa’ [4]:80.

[9] Q.S. al-Baqarah [2]: 286.

[10] Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Nashir Abdul Karim al-‘Aql, (ed) ( Riyadh: al-‘Abikan, 1404), jilid I, hlm.289.

[11]Ibnu Hajar al-‘Asqalani,Fathu al-Barri, (Kairo: Dar al-Hadist, 2004), XII/316.

[12] Q.S. Thoha [20]:45.

[13]Shalabi, al-Washatiyah…., hlm. 45.

[14]Imam Nawawi  Sahih Muslim Syarh Nawawi, Kitab al-Masajid, Bab Qadha’ as-Sholat (Kairo: Maktabah as-Shofa, 2003), V: 150.

[15]Q.S. an-Nisa’ [4]:87.

[16] Q.S. al-Maidah [5]:77.

[17] ‘Abdurrahman ibn Ma’la al-Luwaihiq, al-Ghuluw fi ad-Din fi hayati al-Muslimin al-Mu’ashirah, cet-I (Beirut: Mu’assah al-Risalah, 1992), hlm.83.

[18] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Tahajud, Bab Perkara yang dibenci dalam berkeras diri dalam ibadah (II/61 no. 1150)

[19] Q.S. al-Maidah [5]:87.

[20]Ismail al- Bukhari, al-Jami’as-Sahih lil Bukhari, “Kitab Shalat, Bab. Keutamaan Menghadap Kiblat,Menghadap dengan ujung-ujung (Jari) kakinya” (Kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), I/145.

[21] Sayid Sabiq, Fiqhu Sunnah (Kairo: Dar al-Fathi, 1999), II/ 288.

[22]Ibnu Taimiyah, Daru at-T’arudh al-‘aqlu wa an-Naqlu,(Jamiah Ibn Su’ud, 1991), I /94.

[23] Ibnu Hajar, Fathul Barri, “Kitab al-Iman(Kairo: Dar al-Hadist, 2004), I /118.

[24]Lihat. QS. al-Anfal [8]:61

[25] Lihat QS. al-Qomar [54]:49.

[26] John L. Esposito, What Everyone needs to know about Islam (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 129.

[27] Robert W. Hefner, Civil Islam : Muslims and Democratization In Indonesia(New Jersey: Pricenton University, 2000),hlm. 95.

[28] Karen Armstrong, Islam A Short History “terj. Ira Puspito Rini (New York: 2000), hlm. 193.

[29]Ibid., hlm. 194.

[30]Lihat, Robert Spencer, The Truth about Muhammad founder of the World’s most intolerant religion (Wasington, DC, Regnery Publishing, 2006).

[31]Ibid., hlm 194.

[32] Terjemah versi  Kemenag pada QS. al-Baqarah:191 “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” berpotensi disalah tafsirkanoleh orang yang tidak bertangung jawab.  Oleh karena itu , Al-Ustadz Muhammad Thalib dalam Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyahnya mengoreksi ayat itu dengan  menambahkan kata “medan perang dan dalam masa perang” pada kata  “ di mana saja kamu jumpai mereka “. Dengan begitu potensi salah tafsir dapat diminimalkan. Lihat, Muhammad Thalib, Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur’an  Kemenag RI(Yogyakarta:Ma’had An-Nabawy,2012).hlm.36.

[33]Pelanggaran yang dimaksud adalah perbuatan  yang mengarah pada sifat ghuluw bahkan  mengara pada kekafiran, berupa: ingkar pada prinsip-prinsip dasar akidah seperti rukun iman, menghalalkan sesuatu yang  dalam ijma’  umat Islam telah diharamkan Allah atau sebaliknya mengharamkan apa yang dihalalkan, mencela dan merendahkan nama atau sifatAllah, serta menghina salah satu dari Nabi dan Rasul-Nya, mencela agama, kitab dan sunnah, mengaku bahwa seseorang mendapat wahyu, mengutamakan hukum manusia dari hukum Allah.Lihat Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah,  II/288-289.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *