Pluralisme Agama

Tabligh

Pluralisme Agama

Dalam Timbangan Keyakinan Muhammadiyah

Fathurrahman Kamal

 

Pendahuluan

Arus globalisasi dalam bentuknya yang kita saksikan pada masa ini memberikan ruang dan fasilitas yang sangat memadai untuk transformasi terorisme dari bentuknya yang tradisional menuju format baru yang bersifat global. Hal ini tak lepas dari potret suram globalisasi yang diciptakan oleh neo-liberalisme, sarat dengan kekerasan, ketimpangan, dan ketidak-adilan global. Politik globalisasi telah mengkibatkan gelombang marginalisasi ekonomi di berbagai Negara dan keterasingan sosial yang semakin mendorong komunitas multi-budaya di Negara-negara berkembang untuk merumuskan counter-ideology terhadap globalisasi untuk mempertahankan dan mengekspresikan budaya dan identitas mereka. Di sinilah kemudian kita dapatkan wajah fundamentalisme yang tidak tunggal, tetapi terstruktur sebagai sesuatu yang lintas agama, etnis dan negara. Sejatinya, yang kita saksikan saat ini bukanlah benturan antar peradaban tetapi benturan antar fundamentalisme; fundamentalisme global Amerika berhadapan secara diametral dengan ekstrimisme Islam (tertentu) yang mengekspresikan perlawanannya dengan mekanisme teror.[1]

Fundamentalisme juga disinyalir sebagai kegagalan sebagian muslim dalam berkomunikasi dengan tantangan-tantangan globalisasi yang penuh paradoks. Ini pula yang membuat mereka mengalami suasana keterasingan baik secara individu maupun sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih besar. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama,tetapi lebih sebagai respon panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip-prinsip kehidupan global. Resistensi diri termanifestasikan dalam sikap religiusitas yang berlebihan (baca: al-ghuluw) dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar.[2]

Mengamati kenyataan tersebut, Marc Gopin dalam bukunya Religion,Violence and  Conflict Resolution menyatakan demikian;

Religion plays the central role in the inner life and social behaviour of millions of human beings. But, as a faith-based commitment to peace, religion is a complex phenomenon. While some believers creatively integrate their spiritual tradition and peace-making, many others engage in some of the most destabilizing violence confronting the global community today[3]

Dalam pandangan Nurcholish Madjid (selanjutnya Cak Nur), konflik di atas tidak hanya disebabkan oleh faktor keagamaan melainkan faktor kebangsaan, kesukuan, kebahasaan, kesenjangan ekonomi, dan yang lainnya. Namun jelas sekali bahwa, nuansa dan warna keagamaan tidak dapat diabaikan begitu saja, dan setiap konflik yang bernuansa keagamaan selalu melibatkan agama formal  (organized religion). Dengan kata lain, fundamentalisme keagamaan berjalan secara paralel dengan realitas yang mengitarinya. Fundamentalisme merupakan wajah artifisial yang otentik dari rasa keterasingan (alienasi) dan sok secara kultural. Gejala sosial-psikologis negatif seperti ini merupakan akibat perubahan sosial yang cepat, bahkan teramat cepat di segala bidang, khususnya informasi dan transportasi. Gejala dislokasi kejiwaan, disorientasi (kehilangan pegangan hidup karena runtuh atau goyahnya nilai-nilai lama) dan deprivasi relatif (perasaan teringkari atau tersingkirkan dalam bidang-bidang kehidupan tertentu) selalu menyertai perubahan sosial seperti ini, sekaligus merupakan sumber krisis.

Mengapa jalan “pintas” ini menjadi sangat populer? Para sarjana menjelaskan bahwa, dalam suasana tidak siap mental, orang mudah terjebak pada jawaban-jawaban yang instan dan bersifat klaim “pertolongan dari langit”, dan sangat tergantung kepada “pemimpinnya”, atau tepatnya dalam aksi terorisme, sang pendoktrin (pen.). Inilah sebuah kultus atau fundamentalisme dijalankan dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolistik, dan kurang toleran terhadap orang lain. Kultus berpusat pada ketokohan pribadi yang menarik, retoris dan memukau, pandai menghasut untuk pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional, sederhana, penuh keteguhan serta menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan.  Gejala semacam ini disebut oleh Erich Fromm sebagai Escape from Freedom (Lari dari Kebebasan). Inilah salah satu basis sosial-psikologis bagi munculnya totalitarianisme, “Freedom can be frightening; totalitarinism can be temting” (kebebasan dapat menakutkan; totalitarianisme dapat menggiurkan). Oleh karenanya, kata Nurcholish Madjid, bagaimanapun juga kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya dan hanya memberi hiburan ketenangan semu atau palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama bahayanya dengan narkotika.[4] Cak Nur berpandangan bahwa sikap ekslusif dan menutup diri dari realitas global melahirkan sikap hidup yang terjebak pada kultus dan fundamentalisme, fundamentalisme melahirkan kekerasan dan terorisme atas nama agama, yang semua ini akan berakhir pada kehancuran manusia.

Pandangan Cak Nur tersebut terinspirasi dari A. N Wilson, seorang novelis dan wartawan dari Inggris, penulis buku berjudul Against Religion : Why We Should Try to Live Without It. Meskipun dalam posisi merisaukan fakta keras kehidupan dan peradaban Barat, tampak Cak Nur mengadopsinya tanpa sikap kritis, dan bahkan menyamakannya dengan apa yang terjadi di kalangan atau dunia Islam. Kegelisahan atau kerisauan tersebut disebut  sebagai “dilema Wilson”. Berikut kutipannya,

Dalam Al-Kitab (BIBEL) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu; tetapi agama jauh lebih berbahaya dari candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesama.[5]

Tak berbeda dengan  “dilema Wilson” di atas, Cak Nur pun mengalami kegelisahan intelektual (sense of crisis) ini,  lalu menggagas cara pandang Islam yang inklusif.[6] Beberapa pengamat menyebutnya sebagai “teologi inklusif”[7] yang merupakan manifestasi dari “monoteisme Islam yang inklusif”.[8] Berikut penuturan Cak Nur,

“Pandangan-pandangan inklusifistik seperti dikemukakan Ibn Taymiyyah, amat relevan untuk dikembangkan pada zaman sekarang, yaitu zaman globalisasi, membuat umat manusia hidup dalam sebuah “desa buwana” (global village). Dalam desa buwana itu, seperti telah disinggung, manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tapi sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung. Karena itu sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian dan paham, dengan kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan atau kalimatun sawâ’ seperti diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.”[9]

Justifikasi Cak Nur terhadap “dilema Wilson” dan menurunkannya dalam struktur pandangan alam Islam merupakan suatu konfirmasi otentik bagi pengaruh globalisasi terhadap pemikiran keagamaan dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu secara teologis, bahkan sampai pada tataran dekonstruksi konsep dan makna.

Lebih lanjut, Adnan Aslan, seorang peneliti pada Turkish Religious Foundation-Center for Islamic Studies menegaskan  bahwa dalam konteks pengaruhnya terhadap agama-agama, globalisasi telah melahirkan sedikitnya tiga dampak yang sangat serius; pertama, menimbulkan perubahan dalam suatu agama. Dalam konteks ini, respon agama terhadap fenomena tersebut berbeda-beda sesuai dengan karakteristik teologis dan doktrinalnya; kedua, menimbulkan interaksi antar agama dan komunitas beragama. Hal ini berakibat pada kesadaran untuk “membaca” kembali doktrin-doktrin tradisional mereka dan juga membuka identitas historis mereka; ketiga,  menciptakan konteks baru bagi berbagai teori pluralisme agama yang merupakan akibat dari interaksi agama yang sangat pesat.[10]

Dalam konteks inilah kemudian terdapat problem akademis yang perlu dijelaskan;  apakah diskursus pluralisme agama berorientasi secara autentik  kepada terwujudnya kehidupan dalam suasana harmoni dan ko-eksistensi seperti yang diklaim oleh umumnya pemikir pluralis muslim di tanah air, ataukah justeru mengandung makna sekaligus seruan afirmasi kesamaan Agama-Agama dalam perspektif relativisme murni atau sinkretisme agama, yang kemudian melahirkan respon negatif dari para tokoh-tokoh  dan teolog dari berbagai Agama itu sendiri.[11]

Pengertian Pluralisme Agama

Dalam wacana dan kajian-kajian ilmiah tentang pluralisme agama terdapat dua kata yang seringkali diungkapkan oleh para ahli dan terkesan tumpang tindih; pluralitas dan pluralisme. Secara etimologis, kedua kata tersebut berasal dari kata dasar ‘plural’ dan masing-masing merupakan terjemahan dari dua kata dalam bahasa Inggris ‘plurality’ dan ‘pluralism’. Kata ‘plurality’ (pluralitas) dalam kamus berarti “kondisi majemuk atau berbilang”.  Sedangkan kata ‘pluralism’ (pluralisme) dalam Oxford Dictionary  bermakna ganda; (a) the existence in one society of a number of groups that belong to different races or have different political or religious beliefs (keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi etnis, politik dan keyakinan agama dalam suatu masyarakat) dan (b) the principle that these different groups can live together in peace in one society (suatu prinsip atau pandangan yang manyatakan bahwa kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat hidup dengan damai dalam suatu masyarakat).[12]

Jika dilihat dari makna asal (etimologis) kedua kata ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’ tampak tidak terdapat permasalahan perbedaan mendasar. Kedua kata ini merujuk kepada sesuatu yang menyatakan dan mengakui adanya realitas kemajemukan dan keragaman unsur  masyarakat yang hidup berdampingan dengan damai. Tidak berbeda dengan makna pluralisme yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (‘keadaan masyarakat yang majemuk dari sisi sistem sosial dan politiknya’).[13] Tetapi jika dihubungkan dengan kata ‘agama’, lalu menjadi ‘pluralitas agama’ dan ‘pluralisme agama’ maka kedua kata tersebut membentuk konsep yang masing-masing memiliki aksentuasi dan referensi makna yang berbeda. Pluralisme, merupakan pandangan yang berupaya membenarkan keberagaman filsafat, dengan menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif, dan menganggap semua keyakinan filosofis dan religius dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.[14]

Menelaah diskursus pluralisme agama di Indonesia, pada umumnya bermuara pada gagasan mengenai “kalimatun sawa’”,atau “common flatform” Agama-Agama yang bersumber pada teori “The Trancendent Unity Of Religions” yang digagas oleh

Frithjof Schuon.[15] Schoun dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional. Pemikirannya dipuja dan diikuti oleh para intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. Schoun mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris  dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap konsep Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru manusia agar dekat kepada-Nya.[16]

Huston Smith[17], dalam “kata pengantar”nya pada buku yang ditulis oleh Schoun, “The Trancendent Unity of Religions” menggambarkan gagasan kesatuan transenden agama-agama sebagai berikut :

Teori Kesatuan Transendental Agama-Agama (KTAA) selanjutnya diadopsi  oleh Cak Nur dengan mengkonstruksi argumentasi teologis. Ia merumuskan tesisnya tentang kesatuan agama-agama terdapat  pada tingkatan tertinggi yakni “sikap pasrah” (islam dalam maknanya yang generic). “Islam” (pasrah kepada Tuhan) menurutnya, menjadi titik pertemuan antara agama-agama, khususnya Islam, Yahudi dan Nasrani. Pemikiran Cak Nur tentang Islam inklusif dapat penulis gambarkan sebagai berikut :

Berdasarkan pada keyakinan bahwa agama-agama tersebut berasal dari sumber yang satu, dan semua Nabi dan Rasul membawa ajaran yang sama, yaitu Islam (pasrah kepada Tuhan) maka, semua umat pengikut mereka adalah umat yang satu, tunggal (ummatan wâhidah). Konstruksi Islam inklusif di atas setidaknya dijustifikasi oleh Cak Nur dengan mengandaikan “esoterisme” sebagai “kalimatun sawa’”, dan “eksoterisme” sebagai “al-Islâm al-khâsh” (Islam par-excellent) yang diklaim sebagai pandangan teologis Ibnu Taymiyah.

Konsep kesatuan dasar ajaran, menurut Cak Nur membawa kepada kesatuan umat beriman. Jika diteliti dengan seksama gagasan Cak Nur persis sama dengan kesimpulan seorang teolog liberal Proffesor John Hick berikut ini:

“…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competeting claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to the one ultimate, mysterious divine reality.” [18]

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa klaim kebenaran pluralis ini memberikan afirmasi dan penegasn bahwa semua agama, yang teistik maupun    yang non-teistik dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakekat ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.[19]

Latar Belakang & Sejarah Pluralisme Agama

Dari perspektif sejarah, pada abad ke-18 M, pluralisme agama dan dinamika pemikiran eropa berada fase pencerahan (enlightment period). Masa ini menjadi titik tolak perubahan fundamental dalam sejarah pemikiran manusia secara global. Ditandai dengan dominasi dan pemujaan terhadap akal pikiran manusia, serta berlepas diri dari berbagai belenggu dogma keagamaan (Gereja) kecuali yang selaras dengan akal dan eksperimental (scientific). Fakta sejarah tersebut merupakan konsekuensi logis dan titik puncak kulminasi dari ‘perseteruan’ antara gereja Kristiani yang akhirnya melahirkan “liberalisme”, sebuah aliran baru dalam wacana sosial yang menyerukan kebebasan, toleransi, persamaan dan pluralisme.

Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan suatu tatanan yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang dimaksudkan untuk mem-fasilitasinya harus bermuara pada suatu tatanan sosial yang menempatkan agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benar dan sama relatifnya, atau yang lebih dikenal sebagai ‘pluralisme agama’. Oleh karena itu tidaklah asing jika pluralisme agama muncul dalam kemasan pluralisme politik yang tidak lain adalah produk dari liberalisme politik itu sendiri.[20] Pada tataran ini tidaklah berlebihan jika wacana pluralisme agama yang diusung oleh para penganjurnya lebih bersifat sebagai gerakan politik daripada gerakan agama.

Seperti halnya Legenhausen dalam bukunya Islam and Religious Pluralism menegaskan bahwa, berkembangnya liberalisme politik pada abad ke-18 di Eropa umumnya disulut oleh penolakan terhadap intoleransi beragama yang ditunjukkan melalui perang-perang sektarian pada periode Reformasi. Dengan mengetahui historical background lahirnya “liberalisme” tersebut dapat dipahami bahwa “pluralisme agama” merupakan upaya pemberian suatu landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap agama non-Kristen.[21] Pada tataran ini pluralisme agama diidentifikasi sebagai gerakan internal Gereja  untuk melakukan reformasi dalam doktrin dan ajaran agama Kristen pada abad ke-19 yang kemudian populer sebagai “Protestanisme Liberal” yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834).[22] Meskipun ia sendiri membela superioritas Kristen di atas agama-agama lain, namun Schleiermacher menganggap bahwa agama itu secara esensi bersifat personal dan privat. Ia juga menyatakan bahwa esensi dari agama terletak pada jiwa manusia yang melebur dalam perasaan dekat dengan Yang Tak Terbatas, bukan pada sistem-sistem doktrin keagamaan, tidak juga pada penampakan-penampakan lahiriah semata. Pemikiran-pemikiran Schleiermacher tampak kemudian sangat berpengaruh pada penggagas pluralisme religius kontemporer, John Hick.[23]

Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Beberapa tokoh terkemuka yang menyokong gagasan-gagasan ini secara lebih serius dan sistematis adalah:  Ernst Troelsch[24]  menyatakan bahwa, semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agamapun yang memiliki kebenaran mutlak dan konsep ketuhanan itu adalah beragam, tidak tunggal; William E. Hocking dalam bukunya “Re-thinking Mission” (1932) kemudian “Living Religions and a World Faith” memprediksi munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan aliran pemerintahan global; dan sejarawan Inggris ternama Arnold Toynbee (1889-1975) dalam bukunya yang dipublikasi pada tahun 1956 “ An Historian’s Approach to Religion” dan karya terakhirnya “Christianity and World Religions” (1957) juga dengan jelas mengusung gagasan-gagasan yang sama dengan Ernst Troelsch tentang pluralisme agama yang disebut sebagai fase pembentukan wacana.

Fase berikutnya adalah ketika gagasan-gagasan tersebut mengalami perkembangan yang cukup sempurna dalam pemikiran seorang teolog dan sejarawan Kanada Wilfred Cantwell Smith. Dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1981 dengan judul “Towards A World Theology”, ia menegaskan perlunya menciptakan sebuah konsep teologi universal/global yang bisa dijadikan pijakan bersama (common ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis (al-ta’âyusy al-silmȋ). Tampak karyanya ini menjadi sebuah resume dan konklusi dari rentetan penelitian dan pergumulan pemikirannya tentang pluralisme agama dalam karya-karya intelektual sebelumnya yaitu “The Meaning and End of Religion” (1962) dan “Questions of Religious Truth” (1967).[25]

Pada dua dekade terakhir abad ke-20 pluralisme agama telah mencapai masa kematangannya dan menjadi sebuah diskursus pemikiran tersendiri pada tataran teologi dan filsafat agama modern. Kehidupan antar umat beragama dewasa ini, dan khususnya di tanah air, tampak sebagai penjabaran atau juga ‘dampak’ dari gagasan pluralisme agama. Pada fase ini pluralisme agama, dalam kerangka teoritis telah berhasil dimatangkan dengan konsepsi yang lebih sempurna oleh John Hick, seorang teolog Presbiterian dan filosuf agama modern. Ia tampil dengan ketekunan yang luar biasa untuk menulis gagasan-gagasannya dalam karya intelektual yang tak kurang dari 30 buah, baik yang berbentuk buku maupun karangan lainnya. John Hick telah berhasil merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan popular yang melekat dengan namanya sendiri. Bukunya yang berjudul “An Interpretation of Religion : Human Responses to the Trancendent” yang berasal dari serial kuliahnya yaitu Gifford Lecture di Edinburg University pada tahun 1986-1987 merupakan inti utama dari gagasan-gagasannya sebelumnya.[26]

Teori Hubungan Agama-Agama dalam Kemajemukan

Paparan historical background terbaca di atas menggambarkan secara jelas bahwa wacana pluralisme agama memiliki pijakan yang sangat kuat dan tak dapat dipisahkan dari problema teologi Kristen di Barat.[27] John Hick, seorang tokoh terpenting religious pluralism merumuskan lima model pluralisme agama; (1) Pluralisme Religius Normatif(Normative Religious Pluralism) yaitu, terdapat imbauan dan kewajiban moral dan etis untuk menghargai para pemeluk agama yang berbeda-beda, terutama ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan sikap umat kristiani terhadap kalangan pemeluk agama non-Kristen; (2) Pluralisme Religius Soteriologis[28] (Soteriological Religious Pluralism) yaitu, ajaran umat non-Kristen juga bisa memperolah keselamatan Kristiani. Model ini diketengahkan oleh Hick untuk mengefektifkan pluralisme-normatif secara psikologis; (3) Pluralisme Religius Epistemologis (Epistemological Religiuos Pluralism) yaitu, klaim bahwa umat Kristen tidak memiliki pembenaran (justification) yang lebih mantap atas keimanan mereka dibandingkan dengan penganut agama lain. Atau dapat pula didefinisikan sebagai klaim bahwa para pengikut agama-agama besar di dunia memiliki kedudukan yang sama dalam kontek justifikasi keyakinan religius yang menurut Hick dapat ditemukan pada religious experience.

Berikutnya, (4) Pluralisme Religius Aletis (Alethic Religious Pluralism) yaitu, kebenaran religius harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama. Meskipun ada fakta dan konsep yang kontradiktif diantara agama-agama tersebut mengenai Relitas, halal dan haram, jalan keselamatan, sejarah dan sifat manusia. Dalam pandangan pluralisme aletis, semua itu menjadi benar jika ditinjau dari dunianya masing-masing; (5) Pluralisme Religius Deontis[29] (Deontic Religious Pluralism) yaitu, pelaksanaan dan dipenuhinya kehendak Tuhan atau perintah-perintah Ilahiyah tidak harus dengan mengimani keimanan Kristen. Karena memang, dalam pandangan pluralisme ini, pada beberapa daur sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wahyu untuk umat manusia melalui seorang nabi dan Rasul. Namun menurut Legenhausen, pemikiran pluralisme agama ala John Hick  tidak menjelaskan rumusan terakhir ini secara terperinci.[30]

Merujuk kepada pendapat-pendapat ahli dalam bidang ini, misalnya Hendrik Kraemer (“Christian Attiude toward Non-Christian Religions”), Karl  Rahner (“Christianityand the Non-Christian Religions”) dan John Hick (God and the Universe of Faith), Budhy Munawar-Rachman – seorang pluralis muslim Indonesia- mencatat tiga sikap dalam teologi agama-agama; (1) Sikap eksklusif. Pandangan ini menyatakan Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun yang datang ke Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Juga ada ungkapan,” Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab dibawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” [Kisah Para Rasul 4, 12]. Sehingga istilah No Other Name, menjadi symbol tentang tidak ada jalan keselamatan di luar Yesus Kristus. Pandangan ini telah popular sejak abad pertama dalam lintasan sejarah Gereja, yang kemudian mendapat perumusan seperti extra ecclessiam nulla salus dan extra ecclessiam nullus propheta; (2) Sikap inklusif.  Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Atau dalam ungkapan yang lbih teknis “menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada kristus”. Pandangan ini kemudian mendapatkan justifikasinya pada dokumen Konsili Vatikan II tahun 1965. Dokumen ini terdapat pada “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama Non-Kristiani” (Nostra Aetate). Teolog terkemuka dalam gagasan ini adalah Karl Rahner[31] yang kemudian memunculkan wacana dan istilah the Anonymous Christian (Kristen anonim) artinya bahwa, orang-orang Kristen anonim (non-Kristiani) akan mendapatkn keselamatan sejauh mereka hidup dalam ketulusan terhadap Tuhan, karena karya tuhanpun ada pada mereka; dan (3) Sikap paralelisme. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif) haruslah ditolak, demi alas an-alasan teologis dan fenomenologis. Tokoh terkemuka wacana ini adalah John Harwood Hick dalam karyanya God and Universe of Faith (1973).[32]

Demikianlah beberapa teori dan gagasan tentang pluralisme agama dan hubungan antar umat beragama yang disampaikan oleh para ahli. Terlepas dari setting dan akar sejarah diskursus pluralisme yang sarat dengan nuansa dan muatan problematika kosepsi teologi Kristen-Barat yang telah penulis paparkan pada bagian terdahulu, penulis menyimpulkan bahwa berbagai rumusan tipologi respon umat beragama terhadap realitas kemajemukan agama-agama tersebut di atas, secara substansial dapat disederhanakan menjadi tiga kategori, yaitu; ‘eksklusifisme’ yang mengklaim kebenaran mutlak pada agama sendiri, ‘inklusifisme’ yang mengklaim kebenaran permanen ada pada agama sendiri dan pada saat bersamaan menyatakan pengakuan adanya kebenaran parsial pada agama lain, dan ‘pluralisme’ yang mencoba merumuskan adanya kebenaran pada semua agama karena masing-masing merupakan jalan-jalan yang berbeda menuju kepada kebenaran atau Tuhan yang sama. Berbeda dengan gagasan A. Mukti Ali yang lebih mencerminkan pemikiran solutif terhadap keberagaman dan kemajemukan agama-agama yang sangat elegan, rasional dan sekaligus proporsional karena menuntut adanya “kebesaran hati” setiap pemeluk agama.

Menuju Kesamaan Agama-Agama

Dalam konteks perkembangan diskursus pluralisme agama di Barat terdapat dua aliran besar yang berbeda satu sama lainnya; paham yang dikenal dengan program Teologi Global (Global Theology) dan paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kadua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik dan cenderung saling menyalahkan.[33]

Meskipun kedua model pemikiran tersebut muncul di Barat dan menjadi pusat perhatian mereka, namun kedua-duanya memiliki motif dan tawaran solusi yang berbeda. Aliran pertama (Global Theology) yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis, dan motif terpentingnya adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi. Berangkat dari asumsi pentingnya agama di era globalisasi maka, hubungan agama dan globalisasi menjadi tema yang sangat penting dan sentral dalam kajian Sosiologi Agama. Dalam paham ini tampak agama diposisikan sebagai “ancaman” bagi program globalisasi. Dengan mind-sett seperti ini tidaklah asing jika kajian-kajian ilmiah, seminar tentang dialog antar-agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lainnya marak diseluruh dunia, termasuk di Indonesia.[34]

Aliran ini (Global Theology) menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis, kultur, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Pendekatan yang digunakan oleh aliran teologi ni terhadap agama-agama lain lebih bersifat sosiologis, kultural dan ideologis.[35] Kelompok ini meyakini bahwa semua agama sedang ber-evolusi, saling mendekat dan pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan-perbedaan antar yang satu dengan lainnya, dan kemudian melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi ini maka John Hick, salahsatu tokoh terpentingnya, memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang disebut global theology. Selain Hick, tokoh terpenting lainnya adalah  Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies[36]

Adapun aliran kedua yaitu, paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions) didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat. Berbeda dengan aliran pertama, para filosof dan teolog dalam aliran ini menolak modernisasi dan globalisasi yang cenderung menepikan agama dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama. Solusi yang ditawarkan oleh aliran ini adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini, agama tidak dapat diubah begitu saja lalu mengikuti globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu sendiri. Agama tidak dapat dilihat hanya dari perspektif sosiologis ataupun histories dan tidak pula bisa dihilangkan identitasnya. Berikutnya kelompok ini memperkenalkan pendekatan tradisional  dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salahsatu konsep utamanya adalah Sophia Perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai al-Hikmah al-Khalidah. Diantara tokoh-tokoh terpentingnya; René Guénon (w. 1951), Titus Burkhardt (w. 1984), Martin Ling, Fritjhof Schoun (w. 1998), Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Henry Corbin, E.F. Schumacher, William C. Chittick dan lain-lain.[37]

Pertentangan antara kedua aliran tersebut di atas hanyalah bersifat artifisial atau permukaan semata, namun secara substantif mengkerucut kepada gagasan kesamaan Agama-Agama sampai pada level terdalam (teologis). Inilah problem krusial dalam diskursus pluralisme agama dalam perspektif Agama-Agama di dunia. Demikian pula berbagai trend pemikiran pluralisme pada umumnya bertemu di satu titik yang sama yaitu semua agama itu sama. Tidak ada yang lebih baik atau benar antara yang satu dengan yang lainnya. Kesimpulan ini diungkapkan oleh Proffesor John Hick, yang dikenal sebagai sosok teolog modern yang memberikan perhatian sangat mendalam terhadap masalah pluralisme agama.[38] Ia menyatakan demikian:

“…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competeting claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to the one ultimate, mysterious divine reality.”[39]

Klaim kebenaran pluralis ini menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun yang non-teistik dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakekat ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.[40]

Pemikir muslim di tanah air seperti Budhy Munawar-Rachman mengafirmasi gagasan pluralis di atas. Baginya perbedaan antara Kristen dan Islam misalnya, hanyalah pada skala prioritas dalam meletakkan rumusan dan pengalaman iman terhadap Tuhan yang sama.[41]

Pada bagian lain dari bukunya “Islam Pluralis”, Budhy Munawar-Rachman menegaskan bahwa pluralism theology atau teologi pluralis adalah melihat agama-agama lain dibanding dengan agama sendiri dalam rumusan: “Other religions are equally valid ways to the same truth” [Agama-Agama lain adalah merupakan jalan yang sama benar menuju Kebenaran Yang Sama](John Hick), “Other religions speak of different but equally valid truth” (John B. Cobb Jr.) atau “Each religion expresses an important part of the truth [Setiap agama mengekspresikan bagian penting dari kebenaran] (Raimundo Panikkar).[42]

Gagasan pluralis lainnya dapat dicermati pada tulisan Ulil Abshar Abdalla bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”. Menurutnya, semua agama adalah benar sesuai dengan kadar penghayatan pemeluk agama dalam menempuh jalan religiusitas tersebut, apapun agamanya. [43]   Munir Mulkhan pada bukunya berjudul, “Kesalehan Multikultural, Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global”menegaskan kesamaan Tuhan-Tuhan bagi pemeluk semua agama.[44] Sebagai solusi teologis atas pertikaian dan konflik antar-umat manusia, Mulkhan menyatakan perlunya mendekonstruksi konsep berketuhanan.[45] Lebih tegas lagi, Sukidi menyatakan pandangannya tentang ragam kebenaran dalam Agama-Agama, dan bersebabnya semua agama adalah benar.[46]

Dalam upayanya untuk menemukan titik temu agama-agama, Sukidi menyodorkan argumentasi dengan paradigma dan metodologi berpikir para teolog liberal Kristen. Menurutnya, menjadi muslim pluralis, mutlak untuk menerjemahkan iman yang mengakui kebenaran dan keselamatan agama-agama demi pembebasan terhadap yang tertindas.[47] Sementara mengenai perbedaan ritual umat beragama, Zuly Qadir berpendapat bukanlah hal prinsip yang perlu dipertentangkan. Sebab, ritual hanyalah perbedaan yang bersifat lahir yang tak lebih dari sekedar simbol bagi umat beragama.[48]

Gagasan dalam diskursus pluralisme agama yang berorientasi kepada kesamaan Agama-Agama lebih lanjut dapat dirujuk kepada Said Aqiel Siradj dalam tulisannya bertajuk “Laa Ilaha Ilallah”. Menurutnya, keyakinan Kristen Ortodoks Syria dengan Islam (sunni) walaupun berbeda dalam peribadatan (syari’ah), pada hakekatnya memiliki persamaan yang sangat substansial dalam bidang Tauhid.[49] Sementara dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Khamami Zada menyatakan perlunya dekonstruksi atas konsep-konsep kunci dalam sistem keimanan seorang muslim agar tidak menganggap agama lain salah dan tidak memperoleh keselamatan.[50]

Cak Nur, dalam berbagai tulisannya, mempopulerkan istilah ‘teologi universal’, yang diarab-kannya menjadi “kalimatun sawâ”, “titik persamaan” atau “ teologi kesatuan agama-agama”. Pernyataan ini, sejatinya adaptasi dari gagasan yang diusung oleh Frithjof Schuon dalam rumusannya The Transcendent Unity of Religions (kesatuan transendental Agama-agama).[51] Wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris. Jika ditelaah dengan seksama, tidaklah terdapat perbedaan mendasar antara kedua gagasan tersebut; hanya saja Cak Nur sangat kental dengan penggunaan idiom-idiom Islam sementara Schoun menggunakan sebuah perangkat yang ia sebut sebagai ‘filsafat Perennial’ (philosophia perennis) yang kemudian  oleh Sayyed  Hossein Nasr – muridnya Schoun diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi al-hikmah al-khâlidah).[52]

Beberapa Catatan Kritis

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting, yaitu: Arus deras globalisasi yang melanda dunia sejagat, melahirkan respon berupa fundamentalisme keagamaan yang pada tataran tertentu berakibat langsung pada lahirnya terorisme sebagai counter-ideology terhadap ketimpangan multidimensi sebagai akibat langsung dari globalisasi. Dalam konteks ini Fundamentalisme juga disinyalir sebagai kegagalan sebagian muslim dalam berkomunikasi dengan tantangan-tantangan globalisasi yang penuh paradoks. Hal ini berakibat pada suasana keterasingan dan kepanikan yang ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip-prinsip kehidupan global. Resistensi diri termanifestasikan dalam sikap religiusitas yang berlebihan (al-ghuluw) dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar. Dalam konteks pengaruhnya terhadap agama-agama, globalisasi telah melahirkan sedikitnya tiga dampak yang sangat serius; Pertama, menimbulkan perubahan dalam suatu agama. Dalam konteks ini, respon agama terhadap fenomena tersebut berbeda-beda sesuai dengan karakteristik teologis dan doktrinalnya; kedua, menimbulkan interaksi antar agama dan komunitas beragama. Hal ini berakibat pada kesadaran untuk “membaca” kembali doktrin-doktrin tradisional mereka dan juga membuka identitas historis mereka; ketiga,  menciptakan konteks baru bagi berbagai teori pluralisme agama yang merupakan akibat dari interaksi agama yang sangat pesat. Ketiga hal ini kemudian termanifestasikan pada sekelompok elit intelektual di dunia Islam untuk menyelaraskan diri dengan mengadopsi diskursus pluralisme agama yang telah lebih dahulu muncul dan berkembang di masyarakat Barat.

Meskipun pluralisme agama ditujukan untuk membangun sebuah pemahaman agama yang baru demi penyesuaian diri umat Islam terhadap tuntutan-tuntutan globalisasi dan terwujudnya global village dalam bingkai harmoni dan toleransi sesama umat manusia tanpa sekat sosial, budaya, ras, dan agama, tampak bahwa diskursus ini justeru bergulir sampai pada tataran mengeliminasi batas-batas sakral keyakinan masing-masing Agama. Dari data-data yang penulis paparkan ditemukan bahwa diskursus pluralism agama “gagal” menjembatani antara tuntutan doktrinal keagamaan yang baku di masing-masing Agama dan arus globalisasi yng sangat dinamis. Pada tataran tertentu pluralisme agama justeru menegasikan kekhasan masing-masing Agama, lalu meletakkannya dalam frame relativisme, sinkretisme, dan berujung pada afirmasi kesamaan Agama-Agama.

Melalui telaah kritis dan mendalam atas gagasan-gagasan para pluralis muslim khususnya, dapat ditemukan beberapa kelemahan yang sangat mendasar baik dari segi metodologi maupun substansi, diantaranya; Pertama, Inkonsistensi. Terutama yang terlihat secara mengesankan dari alur nalar paham ‘persamaan agama’ ini adalah adanya inkonsistensi teks-teks suci (nushush) yang dijadikan sebagai dalil legitimasinya dengan teks-teks suci (nushush) lainnya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Terduga kuat bahwa teks-teks tersebut sengaja dipilih sedemikian rupa secara fragmentatif dan berada di luar konteksnya. Atau hal ini terjadi semata-mata diluar kesadaran (ketidaktahuan). Namun demikian, kedua-duanya secara metodologis adalah cacat. Cacat ini secara tak terhindarkan berakibat negatif pada integritas subtansi pemikiran atau teori itu sendiri, sehingga akan mengesankan adanya teori yang sangat dipaksakan dan mengada-ada.

Kedua, Reduksi. Permasalahan utama yang sering dilontarkan dalam wacana pluralisme agama dan dianggap sangat potensial menyulut konflik adalah absolute truth claim (klaim-klaim kebenaran absolut), sehingga seluruh perhatian dan upaya dicurahkan kepadanya saja. Padahal, truth claim ini selalu berbuntut pada apa yang disebut oleh Ninian Smart “practice-claims” (dimensi praktis agama) sebagai perwujudannya. Paham ‘persamaan agama’ pada umumnya dan paham ‘persamaan agama’ versi pluralis muslim Indonesia khususnya, berhenti pada upaya mencari penyelesaian bagi truth-calim tersebut. Sementara practice-claims yang merupakan bagian lain agama yang tak terpisahkan, terabaikan atau malah samasekali tak terpikirkan. Dan inlah apa yang disebut sebagai pereduksian atas hakekat agama.[53]

Ketiga,Intoleransi. Pluralisme agama tidak menghendaki adanya klaim-klaim agama yang mutlak. Semua klaim-klaim agama adalah relatif. Yang unik adalah pada saat yang sama pluralisme agama hendak mengungguli dan mengatasi klaim-klaim tersebut, atau dapat disebut sebagai klaim “kebenaran relatif” yang absolut.[54] Dengan demikian hanya klaim pluralisme agama saja yang benar. Pada saat pluralisme agama ditawarkan sebagai suatu teologi toleransi, ternyata terbukti tidak toleran pada perbedaan-perbedaan agama yang benar-benar nyata.[55]

Keempat, basis paradigma yang problematis. Barangkali ini menjadi pokok permasalahan yang sangat serius  dalam wacana pluralisme agama.[56] Tidak sulit untuk menemukan bahwa pluralisme agama yang saat ini berkembang sedemikian rupa -seiring dengan kampenye globalisasi dan pasar bebas- telah dipahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal dan logical positivism­ Barat yang menolak segala hal yang ‘berbau’ metafisis dengan alasan tidak mungkin dibuktikan secara empiris. Oleh karena itu “agama’ dianggap sebatas “human response” (respon manusia), atau apa yang dikenal dewasa ini di kalangan para ahli perbandingan agama (religionswissenschaft), filsaafat agama, sosiologi, antropologi dan psikologi sebagai “religious experience” (pengalaman keagamaan) serta menafikan agama sebagai produk wahyu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala.[57] Selain itu bahwa pluralisme yang dikembangkan saat ini dapat dipahami sebagai bentuk lain dari universalisasi teologi Kristen yang problematis[58] yang pada saat bersamaan sedang berupaya meletakkan landasan teoritis untuk dapat  berinteraksi secara toleran dengan agama-agama lain.[59]

Konsep Islam Menurut Muhammadiyah

Membaca tulisan dan gagasan sejumlah intelektual muslim tertulis di atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wacana pluralism agama yang semarak di”pasarkan” di Indonesia, dan khususnya di internal Persyarikatan sebagai propaganda untuk merusak akidah umat Islam yang sepadan dengan tindakan “teror teologis” dan memporakporandakan sendi-sendi keimanan mereka yang selama ini dipegang teguh. Menyeru kepada kesatuan dan penyamaan agama-agama di dunia menjadi semacam cetak biru atau warna dasar pluralism agama itu sendiri. Wajar, atau bahkan “wajib” jika kemudian pluralisme agama dinyatakan sebagai sesuatu yang “haram” dalam berbagai fatwa para ulama di dunia Islam, bukan saja melalui fatwa MUI di Indonesia. Pluralisme semacam inilah yang hendak kami tegaskan kepada umat. Jika ada yang “bermain kata” dengan istilah ini dan secara ikhlas-jujur ia bermaksud menegaskan pluralisme agama sebagai afirmasi atas sikap toleransi dan saling menghormati, hidup damai dan ko-eksistensi antar pemeluk agama-agama, tentunya yang bersangkutan tidak masuk dalam apa yang penulis jelaskan.

Muhammadiyah, dikenal sebagai organisasi modernis yang kokoh mempertahankan akidah dan konsep keimanannya serta tidak mudah bersikap kompromis dalam perkara-perkara fundamental keagamaan, tentunya telah memiliki pijakan-pijakan teologis dan ideologis yang tersebar dalam dokumen-dokumen resmi seperti Mukaddimah Anggaran Dasar beserta syarah­nya, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH), Jati Diri dan Kepribadian Muhammadiyah, Keputusan Tarjih, Khittah (langkah) Perjuangan Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islam (PHI) dan lain-lain, yang kesemua itu tentunya telah mendarah daging dalam alam pikiran, prilaku dan tindakan seluruh warga Muhammadiyah, yang secara sistematis membentuk pandangan hidup Islam (wordview)dalam paham Muhammadiyah. Beberapa waktu yang lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikan Kader tingkat pusat telah berupaya menyatukan semua sumber otentik Muhammadiyah dan dijadikan satu kesatuan yang utuh yang diberi nama “Manhaj Gerakan Muhammadiyah : Ideologi, Khittah, dan Langkah”. Karenanya penting bagi kita untuk merujuk kepada“apa kata” sumber-sumber otentik tersebut tentang wacana pluralism agama agar “sanad” (transmisi) ke-Muhammadiyahan kita “muttashil” (tersambung) dengan ajaran dan paham Muhammadiyah itu sendiri, tidak malah sebaliknya menjadi “munqathi” (terputus), apalagi kemudian “kesasar” lalu “hilang”, na’udzubillah!.

Sejak semula, Muhammadiyah secara bulat hati, lisan dan perbuatan menyatakan Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Ikrar keyakinan ini terpatri sejak awal kelahiran Muhammadiyah, tertulis jelas setelah surat Al-Fatihah dalam naskah Mukaddimah AD berikut ini :

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا. وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُولاً

“Saya ridla: Ber-Tuhan kepada ALLAH, ber-Agama kepada ISLAM dan ber-Nabi kepada MUHAMMAD RASULULLAH Shalallahu ‘alaihi wassalam “. AMMA BAD’U, bahwa sesungguhnya ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata.Ber-Tuhan dan ber’ibadah serta tunduk dan tha’at kepada Allah adalah satu-satunyaketentuan yang wajib atas tiap-tiap makhluk, terutama manusia.”

Pada penjelasan pokok pikiran pertama Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah diterangkan bahwa “tauhid” merupakan esensi ajaran Islam :

“Ajaran Tauhid adalah inti/esensi ajaran Islam yang tetap, tidak berubah-ubah, sejak agama Islam yang pertama sampai yang terakhir.وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ (al-Anbiya’:25). Seluruh ajaran Islam bertumpu dan memanifestasikan kepercayaan tauhid. Berdasarkan Tauhid sepenuh-penuhnya dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, berarti berdasarkan Islam.”

“Kepercayaan Tauhid mempunyai tiga aspek; 1) kepercayaan dan keyakinan bahwa Allahlah yang kuasa mencipta, memlihara, mengatur dan menguasai alam semesta; 2)kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allahlah Tuhan yang Haq; dan 3) kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allahlah yang berhak dan wajib dihambai (disembah). [al-A’raf:54, Muhammad :19 dan al-Isra’ :23].”[60]

Pengertian “Islam” sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridlai Allah SWT, disebutkan pada penjelasan pokok pikiran ketiga Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an berikut ini :[61]

“Agama Islam adalah mengandung ajaran-ajaran yang sempurna danpenuh kebenaran, merupakan petunjuk dan rahmat Allah kepada manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup yang haqiqi di dunia dan akhirat.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (QS Alu Imran/3:19)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”( QS Alu Imran/3:85)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”(QS Al-Ma’idah/5:3)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(QS Al-Anbiya’/21:107)

Tentang konsep dan terminologi agama, Muhammadiyah merumuskannya sebagai berikut :

الدين (أي الدين الإسلامي) هو ما شرعه الله على لسان أنبيائه من الأوامر والنواهي والإرشادات لصالح العباد دنياهم وأخراهم.(قرار مجلس الترجيح)

“Agama (Agama Islam) adalah apa yang telah disyari’atkan Allah dengan perantaraan Nabi-Nabi-Nya berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hamba-hambaNya di dunia dan akhirat.” (Putusan Majelis Tarjih)

الدين الإسلامي المحمدي هو ما أنزله الله فى القرآن وما جاءت به السنة الصحيحة من الأوامر والنواهي والإرشادات لصالح العباد دنياهم وأخراهم.(قرار مجلس الترجيح)

“Agama (Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad) ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hamba-hambaNya di dunia dan akhirat.” (Putusan Majelis Tarjih)

“Dari ta’rif agama seperti tersebut di atas dapatlah diketahui, Muhammadiyah berpendirian bahwa dasar hukum/ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah (hadits) shahih…[62]

Penjelasan lebih lanjut tentang Islam dalam paham agama menurut Muhammadiyah dijelaskan dalam kitab Pedoman Hidup Islami (PHI) di bawah ini :

“Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul, sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq,ibadah, dan mu’amalah duniawiyah.”

“Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah, Agama semua Nabi-nabi, Agama yang sesuai dengan fitrah manusia4, Agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, Agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.” “

Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup Tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, dan menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih Ridha serta Karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benarbenar diimani, difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama:

 

  1. Kepribadian Muslim, b. Kepribadian Mu’min, c. Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan d. Kepribadian Muttaqin.”[63]

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH)[64] pada point 1-4 menegaskan sebagai berikut :

  • Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah s.w.t. untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khaifah Allah di muka bumi.
  • Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada RasulNya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
  • Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan; Al-Qur’an,  Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.; Sunnah Rasul, Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
  • Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang; Aqidah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; Akhlak, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; Ibadah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; Muamalah Duniawiyah, Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalat dunyawiyah (pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat) berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.

Pada tahun 1969, KH Ahmad Azhar Basyir, MA menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta. Kuliah yang beliau paparkan  di hadapan Jamaat Katolik ditulis dalam sebuah buku kecil bertajuk “Misi Muhammadjah Sebagai Gerakan Islam”. Pada halaman 5-6 beliau menjelaskan (nukilan sesuai dengan tulisan aslinya) : “Mengapa Muhammadijah bekerdja untuk menjebar luaskan adjaran2 Islam jang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul?. Djawabnya : Karena Muhammadijah jakin sejakin-jakinnja, bahwa agama Islam merupakan mata rantai jang terachir dari rentetan agama Allah jang dibawakan oleh para Rasul Allah jang terdahulu dan benar2 merupakan suatu agama jang sanggup diudji. Agama jang terbuka untuk dihadapkan kepada siapapun djuga, Agama jang memberikan kepada umat manusia, hak untuk mempertimbangkan sendiri setjara bebas pilihan sikap hidupnja, setelah kepadanja dihadapkan tawaran2 kebenaran jang dibawakan oleh Al-Qur’an. Agama jang menempatkan manusia jang beridentitas. Agama jang menghormati sepenuhnya hak2 asasi manusia.Agama jang memberikan pintu pemetjahan bagi problim2 kehidupan setjara menjeluruh.”

Lebih lanjut, pada halaman 7-9, setelah menyebutkan ayat berikut ini,

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

“Allah telah mengatur agama bagi kamu, sebagaimana jang diwasiatkan kepada Nuh dan diwahjukan kepada engkau (Muhammad), serta telah diwasiatkan pula kepada Ibrahim, Musa dan Isa, jaitu :hendaklah kamu tegakkan agama, dan djanganlah kamu bertjerai-berai dalam beragama; kaum jang mensekutukan Allah (berkejakinan Tuhan berbilang) amat berat menerima seruan kebenaran jang engkau adjakkan kepada mereka (untuk men-Esakan Allah setjara mutlak); Allah memilih siapa jang dikehendakinja dan memberi petundjuk kepada siapa sadja jang mau kembali kepadaNja.’

mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang integritas dan keulamaannya diakui oleh dunia Islam, menegaskan sebagai berikut : “Dalam hubungan kejakinan umat Islam bahwa agama Islam adalah matarantai terachir dari rentetan agama Allah jang dibawakan oleh para Rasul Allah jg ( yang, pen.) terdahulu sebagaimana dimaksud dalam ajat Al-Qur’an di tsb. di atas, Nabi (saw) mengatakan :

مَثَلِى وَمَثَلُ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِى كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا فَأَكْمَلَهَا وَأَحْسَنَهاَ ُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَدْخُلُوْنَهَا وَيَتَـعَجَّـبُوْنَ وَيَقُولُونَ لَوْلاَ مَوْضِعُ اللَّبِنَةِ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّين

“Perumpamaanku dibanding dengan para Nabi sebelum aku, ibarat orang jang mendirikan sebuah rumah jang dibangun sedemikian sempurna dan amat indah, tetapi masih tertinggal sebuah batu bata pada salah satu sudutnya. Ketika orang banjak berkesempatan memasuki rumah tersebut, merekapun amat kagum melihat rumah jang demikian indahnja itu. Tetapi setelah mereka melihat tempat jang masih tertinggal sebuah batu bata itu, merekapun menjajangkan, seraja mengatakan:alangkah baiknja rumah ini, bila batu bata jang tertinggal itu disempurnakan. Kata Nabi Muhammad selandjutnja : Akulah batubata jang tertinggal itu, dan aku adalah penutup para Nabi.” (HR Bukhari dan Muslim)

Al-Qur’an 3:19 (Alu ‘Imran : 19, pen.) memberikan penegasan : “sungguh agama disisi Allah adalah Islam.” (إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ). Lebih tandas lagi Al-Qur’an 3:8 (Alu ‘Imran : 85, pen.) memperingatkan, “Barangsiapa mentjari pegangan agama selain Islam, ia samasekali tidak akan diterima oleh Allah, kelak diacherat ia akan termasuk orang2 jang rugi.”( وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ). Al-Qur’an 5:3 (Al-Ma’idah:3, pen.) mengatakan :” Pada hari inilah aku telah sempurnakan agama kamu. Akupun telah penuhi nikmat-Ku kepadamu, dan Aku telah ridla bahwa Islam mendjadi agama kamu semua.” (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا).

Dalam konteks strategi gerakan Muhammadiyah, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, dalam bukunya Ideologi Gerakan Muhammadiyah, menulis beberapa komponen ideologis yang semakin menegaskan Islam sebagai satu-satunya jalan kehidupan (way of life) dalam ber-Muhammadiyah :

  • Meyakini,memahami, mengamalkan, dan mengoperasionalisasikan Islam sebagai sistem ajaran, nilai, norma dan konsep yang kaffah (menyeluruh) dengan tuntutan berujud komitmen sikap yang pasti, istiqamah, cerdas, dan sepenuh hati sehingga menjadi pedoman bagi kehidupan umat pemeluknya dan diperluas kepada seluruh umat manusia menuju keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
  • Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam berkewajiban menjadikan Islam sebagai landasan, acuan, pedoman, dan orientasi seluruh gerakan dan aktivitasnya yang diwujudkan dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar baik ke dalam maupun ke luar di berbagai bidang kehidupan, sehingga Islam yang didakwahkan Muhammadiyah membawa rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh umat manusia.
  • Dalam mewujudkan Islam sebagai pedoman bagi kehidupan manusia maka Gerakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah secara menyeluruh itu haruslah dioperasionalisasikan atau diaktualisasikan dengan nyata melalui proses dan usaha yang tepat sasaran sehingga mencapai tujuan yang dicita-citakan yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”…[65]

Sikap Resmi Muhammadiyah tentang Kemajemukan Agama

Dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta) yang dimuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah No. 01/2010-2015, halaman 139-140 tentang kemajemukan Agama (pluralitas) dan pluralisme dinyatakan sebagai berikut :

“Kemajemukan agama adalah realitas obyektif dalam kehidupan sosial-keagamaan sebagai sunnatullah. Penolakan terhadap kemajemukan agama berdampak sikap yang tidak toleran, menafikan eksistensi pihak lain sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat dan masyarakat.

Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme, dan relatifisme. Karena itu, umat Islam diajak untuk memahami kemajemukan agama dan keberagamaan dengan mengembangkan tradisi toleransi dan ko-eksistensi (hidup berdampingan secara damai) dengan tetap meyakini kebenaran agamanya masing-masing. Setiap individu bangsa hendaknya menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Pemerintah diharapkan memelihara dan meningkatkan kehidupan beragama yang sehat untuk memperkuat kemajemukan dan persatuan bangsa.”

Ikhtitam

Membaca, mencermati dan memahami berbagai sumber autentik dalam Muhammadiyah yang penulis kemukakan di atas, tampak tak terbuka peluang dan ruang sekecil apapun untuk memberikan tafsiran-tafsiran “liar” atas makna Islam dalam paham Muhammadiyah sebagaimana wacana pluralisme agama yang dikembangkan oleh sebagian pemikir muslim. Sebagai catatan penutup, penulis tegaskan beberapa hal berikut ini :

Pertama, pluralisme agama tidak sama dengan pluralitas agama yang dijunjung tinggi dan dihormati dalam sistem keyakinan Islam; Pluralisme agama menafikan semua sistem keyakinan yang ada, tetapi ia menegaskan eksistensinya sebagai agama baru, di atas semua agama; Dengan demikian ia bertentangan dengan hak asasi manusia untuk meyakini agama yang dipeluknya. Kedua, Kelemahan yang sangat mendasar baik dari segi metodologi maupun substansi pluralisme agama : inkonsistensi, reduksi, intoleransi dan basis paradigma yang sangat problematis;

Ketiga, dari perspektif sejarah, pluralisme agama merupakan suatu bentuk liberalisasi agama yang secara kronologis muncul sebagai respon teologis terhadap pluralisme politik yang digulirkan oleh para peletak dasar-dasar demokrasi di permulaan abad modern. Keempat, Wacana pluralisme agama yang diusung oleh para penganjurnya lebih bersifat sebagai gerakan politik daripada gerakan agama/pemikiran keagamaan. Kelima, pluralisme agama, dengan berbagai aliran dan tema yang diusungnya, sejatinya ialah pergolakan internal teologi Kristiani yang sama sekali tidak ada pijakannya dalam tradisi Islam; Pergolakan masyarakat Barat di abad Pertengahan dengan agamanya meninggalkan trauma sejarah yang berkepanjangan.

Berikutnya, keenam, Terbukti secara akademik, dalam mengusung gagasan-gagasannya, kaum pluralis melakukan reduksi dan distorsi atas konsep-konsep kunci dalam Islam seperti makna Islam, Keselamatan, Ahli Kitab dan lain-lain. Pluralisme agama, dengan demikian,  tidak lebih dari sekedar “racun” peradaban Barat yang materialis-sekularistik, cenderung berorientasi hegemonik dan destruktif serta bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu hukumnya HARAM. Ketujuh, basis paradigm Pluralisme Agama yang problematik pada dirinya sendiri, kontradiktif dan bertentangan dengan Matan keyakinandan Cita-cita Hidup Muhammadiyah pada point pertama : “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah s.w.t. untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khaifah Allah di muka bumi.

Kedelapan, Pluralisme Agama dengan segala wacana turunannya, kontradiktif dan bertentangan dengan MKCH kita, khususnya pada point ke-2 : “Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada RasulNya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.”  Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam artian haram mencampuradukkan antara akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain.[66]

قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ. وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (سورة الكافرون : 1-6)

Kesembilan, Untuk mewujudkan kedamaian dan kerukunan dalam realitas bangsa yang majemuk dan pluralistik, pedekatan “setuju dalam perbedaan” (agree in disagree) yang digagas oleh Prof. A Mukti Ali lebih tepat dijadikan pilihan. Pendekatan ini cukup ideal karena akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati. Dalam menjalankan berbagai kegiatan dakwah dan tabligh di Muhammadiyah, tentunya, kita sangat menjunjung prinsip tabsyir, islah dan tajdid. Bagi sementara pihak di internal umat kita yang tak kenal lelah melakukan propaganda “agama baru” pluralisme agama ataupun wacana-wacana liberalisasi Islam, dekonstruksi syari’ah dan desakralisasi Al-Qur’an, pada umumnya, tak pernah lepas dari dua kemungkinan : (1)tertipu (maghrur), terserang penyakit syubuhat akut karena tidak melengkapi diri dengan niat ikhlas dan keterampilan intelektual untuk melakukan integrasi dengan warisan klasik Islam; (2)menipu (ittiba’ al-syahawat). Dalam tidak sedikit keadaan seseorang dengan kapasitas intelektual yang terhormat dapat terjebak pada perkara-perkara pragmatis.Wallahu A’lamu bi al-shawab.

[1] Sayyid Yasin, “Al-Irhab ka Dhahirah ‘Alamiyah”  dalam Koran Al-Ahram, edisi : 21 April 2004.

[2] Abdul Hakim & Yudi Latif (Penyunting), Bayang-Bayang Fanatisime : Esai-Esai Untuk Mengenang Cak Nur (Jakarta: PSIK Paramadina, 2007), hal. 181. Bandingkan dengan, ‘Abd al-‘Athy Ahmad al-Shayyad, “al-Irhab Bayna al-Asbab wa al-Nata’ij fi ‘Ashr al-‘Awlamah : Tasa’ulat Tabhatsu ‘an Ijabah” dalam, Nayef Arab Academy for Security Sciences, Al-Irhab wa al-‘Awlamah (Riyad : Markaz Dirasat wa al-Buhuts, 2002), hal. 157-159

[3] Marc Gopin, Religion, Violence and  Conflict Resolution, dalam Peace & Change. Vol. 22, No. 1, January, 1997, hal. 1 sebagaimana dikutip oleh Elga Sarapung pada “Pengantar” dalam, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, Studi Bersama Antar-Iman (Yogyakarta: Interpidei, 2002), Cet. 1, hal. xvii-xviii

[4] Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang”dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Nomor 1, Vol. IV, Tahun 1993, hal. 8-11

[5] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta : Paramadina, 1995), Cet. I, hal. 121

[6] Budhy Munawar-Rachman, Kesatuan Transendental Dalam Teologi:Perspektif Islam tentang Kesamaan Agama-agama dalam Dialog:Kritik & Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei ), Cet. I, hal. 121

[7] Ciri lain dari teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama terbuka (open religion). Prinsip Islam sebagai agama terbuka adalah bahwa Ia menolak ekslusifisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. (Ulumul Qur’an, No. 1, Vol. IV, 1993, hal. 52)

[8]Budhy Munawar-Rachman, Kesatuan Transendental hal. 121

[9] Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan... 16

[10] Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran; Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick (Bandung: Alifya, 2004), cet. I, hal. 147-148.

[11] Lebih lanjut, baca, Adian Husaini, Pluralisme Musuh Agama-Agama :Pandangan Katolik, Protestan,Hindu, dan  Islam Terhadap Pluralisme Agama (Jakarta: Dewan Dakwah Islam Indonesia, 2010), Cet. 1

[12] Paul Procter (Editor in Chief), Longman Dictionary Of Contemporary English, (Beirut: Librairie Du Liban, 1990), hal. 836, lihat juga, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1995), Fifth Edition, hal. 889

[13] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. IV, hal. 777

[14] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. II, hal. 855

[15]Schoun lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya keturunan Jerman, ibunya dari ras Alsatia. Ia dikabarkan telah masuk Islam dan dikenal dengan nama Isa Nuruddin Ahmad Al-Syadzily al-Daruwy al-Alawy al-Maryamy. Pada tahun 1932 ia pergi ke Al-Jazair.Jika dilihat dari namanya, besar kemungkinan ia masuk Islam di negeri ini melalu guru sufinya. Schoun dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional. (Lihat, Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schoun tentang Titik-Temu Agama-Agama dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 9-12)

[16] Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schoun tentang Titik-Temu Agama-Agama dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 9-12

[17] Huston Smith, “Pengantar”, dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. Saafroeddin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 11

[18] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), hal. 15

[19]Syamsul Hidayat (Ed), Pemikiran Muhammadiyah : Respon Terhadap Liberalisasi Islam (Surkarta: Muhammadiyah University Press, 2005), hal. 322

[20] Anis Malik Thoha, Ittijâhât al-Ta’addudiyat al-Diniyah… hal. 9-10.

[21] M. Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama Kajian Tentang Liberalisme dan Pluralisme Agama, Terj. Arif Mulyadi, Jakarta : Lentera, 2002, Cet. I. hal. 17-19

[22]Ibid., hal. 20-21

[23]Ibid., hal. 28

[24]seorang teolog Protestan Liberal (1865-1923), dalam makalah “The Place of Christianity among the World Religions” yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Oxford University menjelang wafatnya tahun 1923.

[25] Anis Malik Thoha, Ittijâhât al-Ta’addudiyat al-Diniyah… hal. 11-12

[26]Ibid., hal. 12-13

[27] Lebih lanjut baca, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kriste ke Domiasi Sekular-Liberal (Jakarta: GIP, 2005)

[28] Soteriologi merupakan bidang kajian dalam teologi Kristiani yang mempelajari penderitaan Yesus (Lihat, Muhammad Legenhausen, Satu Agama… hal. 9)

[29] Kata ‘deon’ bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban untuk mematuhi kehendak Tuhan (Ibid., hal. 10)

[30] Lihat, Musa Kazhim, “Pengantar” dalam Ibidhal. 8-11 dan analisis kritis atas kelima rumusan ini  pada hal. 43-92. Legenhausen mengakhiri diskripsinya tentang religious pluralism  Hick dengan sebuah afirmasi bahwa Islam menganut sebuah paham pluralis yang ia sebut sebagai Pluralisme Agama Deontis-Diakronis (التعددية الدينية الأخلاقية المتكررة /Diacrhronic Deontic Religious Pluralism) yaitu, paham yang menyatakan bahwa perintah dan kehendak Ilahi ini terus mengalami proses penyempurnaan serta melahirkan keragaman tradisi agama. Ditetapkannya Islam Muhamamd álaihissalam sebagai risalah terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama-agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu yang terakhir ini. (Ibid., hal. 46-47. Lihat pula edisi bahasa Arabnya dengan judul Al-Islam wa Al-Ta’addudiyah, Terj. Mukhtar Al-Asady [Iran: Muassah al-Huda, 2000], Cet. I, hal. 43-47)

[31] Pandangang-pandangan inklusifnya termuat dalam karyanyaThe Theological Investigation (20 jilid) “Christianity and The Non-Christian Religions”, jilid ke-5. Problem yang dikemukannya adalah, bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum karya penyelamatan itu hadir, atau orang-orang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh oleh Injil? (Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis… hal. 46)

[32] Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, hal. 44-48

[33] Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 6

[34] Majalah Islam Sabili, edisi No. 20 TH. XII 21 April 2005/12 Rabi’ul Awal 1426 umpamanya, dengan data yang dapat dipertanggungjawaban melaporkan tentang kucuran pendanaan asing yang sangat significant dalam kaitannya dengan berbagai kampanye liberalisme untuk menyiapkan umat dengan suatu teologi (baca: baru) memasuki peradaban modern. Laporan dan pemberitaan sejenisnya dapat ditemukan dalam berbagai majalah, Koran dll.

[35] Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia harus disesuaikn dengan kondisi social budaya masyarakat modern yang plural. Ideologis, sebab ia telah menjadi bagian dari program globalisasi yang jelas-jelas ‘memasarkan’ ideology Barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya.Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideology baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideology dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekulerisme. (Lihat, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 4, hal. 5-6)

[36] Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 6-7

[37]Ibid., hal. 7

[38] Anis Malik Thoha, Ph.D, Pluralisme Agama Ditilik dari Nalar Kritis, dalam Media Indonesia, Jum’at 29 Juni 2002.

[39] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), hal. 15

[40]Syamsul Hidayat (Ed), Pemikiran Muhammadiyah : Respon Terhadap Liberalisasi Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005), hal. 322

[41] Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. I, hal. 48-49

[42] Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis…., hal. 51;  lihat juga, Adian Husaini, Pluralisme, Kafir dan Toleransi Catatan Untuk Budhy Munawar-Rachman, http://www.insistnet.com/ currentdiscourse4-3.htm)

[43] Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, dalam Kompas, edisi Senin, 18 Nopember 2002

[44]  Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global [Jakarta : PSAP, 2005], hal. 182-183)

[45] Ibid.hal. 188-189

[46] Jawa Pos, edisi 11 Januari 2004. Lihat, Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, hal. 16-17)

[47]  Ibid. 422-427).

[48]  Zuly Qadir, Agama Dalam Bayang-Bayang Kekuasaan (Yogyakarta : Interfidei,  2001), Cetakan 1, hal. 12-13)

[49]  Said Aqiel Siradj, “Laa Ilaha Ilallah Juga”, dalam Bambang Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001), hal. 165-166)

[50] Khamami Zada, “Membebaskan Pedidikan Islam : Dari Eksklusifisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme” dalam Jural Tashwirul Afkar, edisi No. 11 tahun 2001

[51] Huston Smith, “Pengantar”, dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. Saafroeddin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003)

[52] Lihat Budhy Munawar-Rachman, Menguak Batas-batas Dialog Antar Agama dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan ‘Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. IV Th. 1993, hal. 8-15

[53] Lihat Anis Malik Thoha, Ph.D, Pluralisme Agama…(Media Indonesia, Jum’at 29 Juni 2002.). Bandingkan dengan Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama Kajian Tentang Liberalisme dan Pluralisme Agama, Terj. Arif Mulyadi (Jakarta: Lentera, 2002), Cet. I, hal. 92-96

[54]Anis Malik Thoha, Wacana Kebenaran agama… hal. 10

[55]Muhammad Legenhausen, Satu Agama… hal. 95

[56] Anis Malik Thoha, Wacana Kebenaran agama… hal. 14

[57]Anis Malik Thoha, Ittijâhât al-Ta’addudiyat al-Diniyah… hal. 123-124

[58]Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen, Seyyed Hossein Nasr-John Hick [Bandung: Alifya, 2004], Cet. I, hal. 150-151).

[59] Muhammad Legenhausen, Satu Agama… hal. 19

[60] Majelis Pendidikan Kader, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta : SM, 2010), Cet. II, hal. 17-18

[61] Majelis Pendidikan Kader, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta : SM, 2010), Cet. II, hal. 17-18

[62]Manhaj Gerakan Muhammadiyah: ..hal. 18. Lihat pula, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta : PP Muhammadiyah, tt), hal. 276

[63]Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), hal. 9-11

[64]Manhaj Gerakan Muhammadiyah…hal. 51-53

[65] Haedar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), Cet. Pertama, hal. 104

[66] Lihat, Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia (Jakarta : MUI, 2005), hal. 58-66

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *