Surga yang Tak Diinginkan


Oleh: Dr. Aji Damanuri, M.E.I. Wakil dekan 1 FEBI IAIN Ponorogo. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung.

Kabartabligh.com – Sungguh aneh memang prilaku manusia di dunia ini. Ada sebagian orang menolak ditawari sesuaru yang nikmat, tetapi malah memilih sesuatu yang sengsara. Umat Muhammad ditawari surga, namun ada sebagian yang mengabaikannya, tidak tertarik, bahkan mungkin tidak menginginkannya. Surga tidak menarik bagi orang yang enggan memasukinya.

Hal ini disampaikan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis sahih. Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى. 

Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Ditanyakan kepada Rasulullah, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku, ia akan masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka ia telah enggan.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari, No. 7280, dari sahabat Abu Hurairah ra.

Hadis ini menjelaskan bahwa semua umat Nabi Muhammad saw memiliki potensi untuk masuk surga, kecuali mereka yang “abai” atau enggan mengikuti ajaran beliau. Kata “abai” (أَبَى) berarti menolak atau enggan, yang dalam konteks ini merujuk pada orang yang menolak untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan ini mencakup pelaksanaan perintah agama, menjauhi larangan, dan mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Sikap “abai” atau enggan bisa dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap tanggung jawab moral dan spiritual. Manusia memiliki kecenderungan untuk memilih jalan yang mudah atau sesuai dengan hawa nafsu, sehingga mereka yang abai mungkin mengalami konflik internal antara keinginan duniawi dan tuntutan spiritual. Penolakan ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti kesombongan, keengganan untuk berubah, atau ketidakmampuan mengendalikan nafsu.

Dalam perspektif tasawuf, “abai” dapat dikaitkan dengan penyakit hati seperti ujub (bangga diri), takabur (sombong), dan ghurur (tertipu oleh dunia). Tasawuf menekankan pentingnya membersihkan hati (tazkiyatun nafs) untuk mencapai ketaatan yang tulus kepada Allah. Orang yang abai adalah mereka yang hatinya tertutup dari cahaya hidayah, sehingga mereka lebih memilih kesenangan dunia yang sementara daripada kebahagiaan akhirat yang abadi.

Prilaku “abai” dalam konteks sosial bisa dipahami sebagai bentuk penyimpangan sosial dalam konteks keagamaan. Masyarakat yang abai terhadap ajaran agama cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual, yang dapat menyebabkan degradasi moral dan kerusakan sosial. Sebaliknya, masyarakat yang taat kepada ajaran agama akan menciptakan tatanan sosial yang harmonis dan penuh kasih sayang.

Jangankan dalam hal ketaatan terhadap aturan agama, orang yang abai terhadap system social juga dikecam dalam Masyarakat. Norma dan nilai social dibuat agar Masyarakat mentaatinya sehingga terjadi kedamaian. Namun sebaliknya jika sering diabaikan akan menjadi konflik. Terhadi kekacauan sosial, kriminalitas, pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan kecelakaan, dan dampak buruk lainnya.

Dalam alQuran terdapat beberapa ayat yang menerangkan agar kita tidak abai terhadap norma-norma kehidupan apa lagi norma agama. Meskipun disampaikan secara implisit namun pesan yang terkandung di dalamnya bisa dipahami. Seperti pada surat Az-Zumar (39): 53, Allah SWT berfirman:  
   قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ 

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Melampaui batas ini biasanya terjadi karena mengabaikan aturan-aturan hukum sehingga menimbulkan madharat.

Di ayat lain Allah menegaskan bahwa ketaatan kepadaNya dilakukan dengan mentaati para rasulnya. Dalam surat An-Nisa (4): 80, Allah SWT berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ 
 
“Barangsiapa yang taat kepada Rasul, sesungguhnya ia telah taat kepada Allah.”

Banyak contoh dalam sejarah keengganan sebuah kaum menerima kebenaran meskipun sudah mengetahui ajaran yang disampaikan Allah lewat para nabinya. Kaum Nabi Luth abai terhadap peringatan Nabi Luth untuk meninggalkan perbuatan homoseksual dan kemaksiatan lainnya. Akibatnya, mereka dihancurkan oleh azab Allah. Firaun dan Pengikutnya abai terhadap seruan Nabi Musa untuk menyembah Allah dan justru menyombongkan diri dengan kekuasaannya. Akhirnya, mereka ditenggelamkan di laut Merah. Orang-orang kafir Quraisy abai terhadap dakwah Nabi Muhammad saw dan memilih untuk tetap dalam kekafiran. Meskipun demikian, Rasulullah tetap berdoa untuk hidayah mereka.
Hadis ini mengingatkan kita bahwa pintu surga terbuka lebar bagi semua umat Nabi Muhammad saw, asalkan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. “Abai” bukan hanya sekadar penolakan fisik, tetapi juga penolakan hati dan pikiran terhadap kebenaran. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa introspeksi diri, membersihkan hati, dan meningkatkan ketaatan agar terhindar dari sifat abai yang dapat menjerumuskan kita ke dalam kesengsaraan dunia dan akhirat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *